Pelajaran dari Kisah Mantan Wonderkid Arsenal

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Pelajaran dari Kisah Mantan Wonderkid Arsenal

Pada umumya bagi pesepakbola usia muda, membela klub besar seperti Arsenal merupakan sebuah cita-cita. Siapa yang tidak mau berseragam The Gunners yang digandrungi oleh ribuan fans. Unjuk gigi di hadapan sekitar 60.000 pasang mata penonton Stadion Emirates, belum termasuk dengan para penikmat sepakbola yang menonton di layar kaca.

Ditambah kontrak dengan gaji selangit yang diberikan Arsenal serta pendapatan lainnya. Mesut Ozil misalnya dengan ditopang aparel adidas, memiliki pendapatan ke lima tertinggi di dunia. Walau begitu, tidak semua mantan pemain Arsenal sanggup memanfaatkan materi berlimpah tersebut dengan baik.

Alkisah di tanah Irlandia, ada seorang pemain muda berbakat bernama Stephen Bradley. Ia mewakili Tim Nasional Irlandia U-14 hingga U-16. Bradley juga pernah menantang Andres Iniesta di kualifikasi U-16 Championship UEFA 2001 saat timnya bersua dengan Spanyol.

Ternyata bakatnya tersebut sudah diintai oleh The Gunners sejak usianya 15 tahun. Bradley digadang-gadang memiliki gaya main mirip dengan Pablo Aimar. Seminggu setelah ulang tahunnya ke-17, pengidola Robbie Keane ini berjalan menuju ATM untuk mengamil uang tunai. Dirinya pun mengaku kaget karena baru pertama kali mendapatkan begitu banyak angka nol di rekeningnya. "Itu adalah titik balik dalam karir saya. terlalu banyak, terlalu cepat dan tidak tahu bagaimana menghadapinya," ujarnya kepada Independent.ie.

Rupanya sehari sebelumnya Arsenal sudah membujuknya untuk meninggalkan Tallaght, kawasan Dublin Selatan Irlandia untuk bergabung dengan tim asal London Utara tersebut. Bradley ditawari kontrak sekitar 50 ribu poundsterling ditambah iming-iming diberikan pendidikan sepakbola terbaik di Britania.

Tanpa banyak berpikir, Bradley pun mengiyakan tawaran tersebut dan pergi menuju Inggris. Apalagi saat itu sedang demamnya para pesepakbola meninggalkan Irlandia karena diiming-imingi ribuan poundsterling.

Sesampainya di London Utara, rupanya uang membuat pemain yang berposisi sebagai gelandang ini gelap mata. Dalam kata lain, Bradley boros menghabiskan uangnya. Dimulai dari membeli mobil mewah, sebuah kamar apertemen mahal The Penthouse Suite disewanya sebagai tempat tinggal, hingga jam tangan mewah melekat di tangannya.

Padahal sebelumnya, pria yang kini berusia 30 tahun ini sudah diperingatkan kerabatnya untuk lebih menabung uangnya. Akan tetapi Bradley tidak menggubris. "Aku mengabaikan Liam (kerabatnya) karena saya pikir saya punya segalanya " akunya seperti yang dikutip dari irrishmirror.ie.

Hingga sebuah kejadian kriminal membawa pelajaran untuk Bradley. Seorang penjahat mengikutinya ketika pulang ke apartemen. Sang pelaku datang dengan mendobrak pintu, kemudian menikam kepala pria kelahiran 19 November 1984 itu menggunakan pisau.

Rupanya perampok itu mengincar jam tangan mahal yang dimiliki Bradley. Setelah tergeletak di lantai, Dean Shield salah satu temannya, kebetulan datang untuk singgah. Bradley pun berhasil diselamatkan, sang manajer Arsene Wenger bahkan ikut turun tangan mengurusi segala birokrasinya.

Nasib sial pria kelahiran Dublin itu tidak berhenti disitu saja. Akibat terlalu jemawa oleh uang, membuat dirinya malas-malasan dalam berlatih. Sehingga tak terasa, waktu ke waktu semakin banyak pemain berkualitas didatangkan ke Highbury, markas Arsenal kala itu. Salah satunya adalah Cesc Fabregas yang memiliki posisi serupa dengannya.

Akibatnya Bradley kesulitan untuk menembus skuat utama junior Arsenal kala itu. Hingga akhirnya manajemen klub meminjamkannya ke Dunfermline Athletic, kompetisi di liga Skotlandia.

Naasnya karir teman dari Glenn Whelan, pemain Stoke City ini tidak bertahan lama di dunia si kulit bundar. Dirinya kehilangan nafsu bermain dan memutuskan pensiun di Limerick FC, klub asal Islandia ketika umurnya menginjak 29 tahun.

Akhirnya Bradley memilih untuk menjadi pemandu bakat di negeri kelahirannya. Karirnya yang lebih baik didapatkannya di profesi itu. Bahkan dirinya sangat dipercayai oleh FAI (Asosiasi Sepakbola Irlandia) untuk memandu bakat di Irlandia.

Kemudian pada bulan lalu, pria yang dibesarkan oleh single parent itu kembali menjadi bagian dari Arsenal. Namun bukan sebagai pemain, melainkan pemandu bakat. Bradley sendiri mengakui jika terbutakan oleh uang, merupakan akar kegagalan untuk mencapai potensinya.

Maklum, Bradley besar di lingkungan kelas pekerja. Pada saat itu kaum-kaum imigran dari Jerman dan Spanyol berbondong-bondong menetap di sana. Banyak kekerasan terjadi, begitu pula dengan tingkat kelaparan di Irlandia saat itu.

"Anda lupa tentang apa alasan untuk berada di sini (Inggris) untuk membuat karir menjadi pesepakbola profesional. Tapi karena anda berpikir memiliki uang," tuturnya kepada Irishtimes.









Sumber foto : Independent

Komentar