Dicari! Orang Sombong di Lapangan Hijau

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Dicari! Orang Sombong di Lapangan Hijau

Oleh Naqib Najah

Membuat sebuah brand sangatlah sulit. Orang-orang harus berlomba untuk mencitrakan produknya. Mulai dari kemasan, rasa, nama hingga cara menjualnya. Mereka yang bergerak di bidang bisnis tahu akan hal ini.

Elon Musk, seorang pengusaha sekaligus ahli di bidang teknologi, menganggap sebuah citra terbentuk oleh persepsi. Bagaimana orang memandang Anda, itulah yang dinamakan brand. Sementara persepsi, selalu berkaitan dengan tindakan sehari-hari.

“Brand hanya sebuah persepsi, dan persepsi akan sesuai dengan kenyataan dari waktu ke waktu.,” tutur Elon Musk, CEO perusahaan transportasi luar angkasa, SpaceX.

Sepak bola adalah industri. Para pemain tidak sekadar menjual skill di atas lapangan hijau. Sebagaimana tuntutan sebuah industri, brand pun harus dibentuk. Karena brand inilah, mereka yang hebat akan semakin terlihat hebat, atau sebaliknya, mereka yang hebat akan tergelincir karena brand yang salah.

Ibrahimovic contoh pemain bola yang paham akan brand. Ia tahu, bagaimana menjadi ‘penguasa’ di industri sepak bola.

Le Parisien, surat kabar harian Prancis yang terbit sejak 1944 melansir berita terkait kekesalan Rod Fanni terhadap Ibra. Pemain bertahan Olympique de Marseille ini menyebut Ibra layaknya aktor ulung. Dalam sebuah wawancara dengan Le Parisien Jumat, 6 Februari lalu, Fanni mengungkapkan adanya perubahan karakter dalam diri Ibra. Ia kini terlihat sangat arogan, padahal, itu bukanlah karakter Ibra sebenarnya.

“Saya sempat memiliki keinginan untuk meninju Ibrahimovic lebih dari satu kali. Kami pernah bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris, yang tidak bisa saya ulangi di publik. Dia memainkan peran dari perilaku arogannya, dan dia melakukan itu dengan sangat baik,” tutur Fanni.

Perubahan tersebut disengaja. Eks pemain AC Milan itu sedang memainkan sebuah peran. “Mereka harus memberinya Oscar atas hal itu. Dia bisa sangat menjengkelkan di lapangan, tapi itu adalah peran yang sedang dimainkannya,” sambung Fanni.

Berdasarkan bocoran dari Fanni, para pemain PSG pun tahu karakter asli Ibra tidak seperti itu.

Itulah jalan Ibra.  Jika merujuk pada pendapat Elon Musk, setiap orang yang membangun brand, maka ia harus melakukan langkah kolektif. Brand harus dilakukan dengan proses yang menyeluruh. Sekali arogan, tetaplah arogan.

Setelah peresmian patung lilin dirinya di Museum Grevin, Paris, Ibra mengeluarkan statement yang bisa jadi menyinggung masyarakat Perancis. “Misi berikutnya… mengganti menara Eiffel dengan patung diri saya,” tutur Ibra di hadapan media. Eiffel yang menjadi menara kebanggan masyarakat Paris, bersiaplah diganti dengan patung pria jangkung ini.

Tidak hanya itu, ia pun mengajak rekan setimnya mogok bicara di depan wartawan di awal Februari lalu. Ibra menyebut dirinya “bos”. Sebagaimana tuturnya, “Tidak ada yang bicara, saya bosnya.”

Panditfootball (27/1/15) pernah melansir sebuah cerita terkait sikap arogansi Ibra. Kalimat “Siapa kamu?” dengan nada mengucilkan dilontarkan Ibra kepada pemain St. Etienne, Paul Baysse. Saat itu Baysee memprotes aksi kasar Ibra kepada pemain lainnya. Namun Ibra justru membalasnya dengan cibiran yang sangat arogan.

Dalam ilmu Komunikasi, jika Anda pembaca buku Morissan, M.A. Anda akan mendapati tiga trik komunikasi paling mendasar. Yakni divergensi, konvergensi dan overakomodasi. Divergensi berarti tidak menyatunya gaya komunikasi antara dua orang (Anda berbicara gaya yang cepat sementara lawan bicara berbicara dengan lambat). Konvergensi berarti proses peleburan bahasa (Anda yang orang Jawa mencoba berbahasa Minang dengan lawan bicara yang merupakan orang Minang). Sementara overakomodasi merupakan sikap berlebihan seseorang terhadap lawan bicaranya.

Dalam overakomodasi, terdapat tiga bagian. Salah satunya adalah dependency overassomodation atau overakomodasi ketergantungan. Dalam komunikasi ini, seseorang membentuk dirinya begitu tinggi, seolah-olah lawan bicaranya tidak sebanding dengan dirinya.

Ibrahimovic adalah pesepakbola yang jago memainkan trik ini. Meskipun belum pernah meraih gelar pemain terbaik dunia (alih-alih FIFA Ballon d'Or, masuk tiga besar saja tidak pernah), Ibra tetap sukses membuat citranya begitu melangit di jagat sepak bola. Dengan gaya komunikasi overakomodasi, Ibra membuat orang lain bergantung padanya.

Dengarlah apa yang diucapkan Ibra tentang Ligue 1. Menurutnya, “Saya tidak tahu soal Ligue 1, tapi Ligue 1 pasti mengenal saya.” Ibra menginginkan publik sepak bola Perancis bergantung padanya, bukan dia yang tergantung dengan liga satu ini.

Orang-orang yang menerapkan komunikasi seperti ini, tidak serta-merta melakukan kesalahan. Kita tidak bisa menyalahkan arogansi. Ketika banyak orang menyebut Russell Crowe, seorang aktor berkebangsaan Australia, sebagai orang yang sombong, Russell ingin melakukan klarifikasi.

“Orang menuduh saya menjadi sombong sepanjang waktu. Aku tidak sombong, aku hanya orang yang fokus,” tutur Russell. Di balik gaya komunikasi overakomodasi, seseorang mengumpulkan power untuk dirinya sendiri. Ia membangun kekuatan besar sebagai ‘penguasa’.

Ibrahimovic memang salah satu sosok paling menarik dalam sepakbola kontemporer. Ia pandai membuat cerita guna memastikan orang saling membicarakan dirinya. Ada banyak sekali cerita-cerita unik tentang Ibra yang pernah kami tuliskan DI SINI. Beberapa di antaranya adalah:

Kisah Zlatan Ibrahimovic dan Ajax Amsterdam
Kisah-kisah Tato di Tubuh Zlatan
Tidak Ada yang Tidak Bisa Dihancurkan Ibra
Ketika Zlatan Dikolongin….
Di-Nomor-Dua-kan, Zlatan “Marah Besar”
Zlatan XI: Ketika ‘The God’ Ibra Memilih Tim Impiannya
Tak Perlu Malu Membicarakan Kebesaran Ibra


Seorang Djibril Cisse yang pernah menjadi bintang di Liverpool, terkena imbas komunikasi berlebihan ala Ibra ini. “Ia terlalu berlebihan dan tak punya kerendahan hati. Ia pasti tidak akan menggubris hal ini karena saya jelas bukanlah siapa-siapa di hadapannya,” ucap Cisse melontarkan kekesalannya terhadap Ibra.

Sepak bola adalah industri. Ibrahimovic sukses menjalani profesinya di jagat kulit bundar dengan brand yang nyata. Sinar Ibra tidak meredup bahkan ketika ia berada di Ligue 1 sekalipun. Citra Ibra dengan gaya arogansinya, membuatnya tetap eksis meski tidak mampu meraih trofi tertinggi layaknya Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi.

Seperti yang dilakukan Eric Cantona ketika kali pertama datang ke Old Trafford. Di tahun 1992, ketika ia baru saja didatangkan dari Leeds United, Alex Ferguson mengajaknya naik ke puncak stadion Old Trafford. Tanya Fergie, “Apakah kamu cukup besa bermain bagi Manchester United?” Jawab Cantona dengan nada arogan, “Bagi saya soalnya bukanlah apakah saya cukup besar bagi Manchester United, melainkan apakah Manchester United cukup besar bagi saya?”

Arogansi adalah salah satu cara membentuk brand. Namun jangan sekali-sekali mencobanya. Sebab hanya mereka yang ‘mampu’ yang akan meraih kesuksesan dengan cara ini.

============

*Naqib Najah, penulis buku. Tinggal di Yogyakarta. Aktif jualan “cermin” di paraqibma.blogspot.com. Twitter: @Naqib_Najah.

Komentar