Angka-angka yang Menyilaukan dalam Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Angka-angka yang Menyilaukan dalam Sepakbola

Sejatinya, meski dibubuhi dengan angka-angka, sepakbola tak akan pernah berubah menjadi fisika ataupun matematika. Sepakbola memang lekat dengan angka-angka. Mulai dari penggunaan nomer punggung pemain, skor pertandingan, penghitungan poin, formasi yang dipakai, dan masih banyak lagi. Sesuatu yang memang tak dapat digantikan dalam sepakbola.

Angka memang satu hal yang tidak bisa lepas dari apapun di dunia ini. Jangankan sepakbola, ilmu sosial pun juga mengenal angka-angka untuk menyempurnakan disiplin ilmu tersebut. Beberapa mungkin lebih dikenal dengan sebutan statistik.

Statistik pulalah yang kemudian menyempurnakan sepakbola sebagai permainan paling digemari sejagad. Hal inilah yang kemudian membuat sepakbola semakin akrab dengan angka belakangan ini.

Namun, selayaknya hidup yang penuh dengan pertentangan, masuknya statistik ke sepakbola juga mendapat tentangan dari beberapa kalangan. Kalangan tradisionalis beranggapan jika angka-angka dalam sepakbola hanya akan mengurangi keindahan permainan itu saja. Bagi mereka, mata kepala atau intuisi adalah alat paling jitu untuk menentukan kualitas seorang pemain ataupun sebuah tim dalam permainan sepakbola, bukan perhitungan rumit di atas kertas.

Kemunculan angka (dalam hal ini statistik) ke dalam permainan sepakbola telah memicu suatu perdebatan antara tradisionalis dan modernis. Lantas, salahkah angka -yang merupakan gagasan abstrak yang telah disepakati secara universal untuk menghitung dan mengukur- ini masuk ke ranah sepakbola?

Statistik sebagai Diskursus Baru dalam Sepakbola

Masuknya statistika ke dalam sepakbola sebagai sebuah diskursus baru ini tak bisa dilepaskan dari peran Opta; perusahaan penyedia data statisik sepakbola yang berdiri pada tahun 1990-an. Mereka kemudian mulai merumuskan suatu indeks peforma pemain dan bekerja sama dengan Premier League sejak tahun 1993.

Pada tahun-tahun awal kerjasamanya dengan Premier League, dari tahun 1993-2007, Opta hanya menghitung index peforma tiap pemain dalam suatu pertandingan. Mereka hanya menghitung berapa umpan sukses yang dilepaskan pemain A, berapa umpan gagal yang dilepaskan pemain tersebut, lalu dikonversi menjadi sebuah prosentase. Hanya menghitung berapa tembakan striker Arsenal yang tepat mengarah ke gawang, dan berapa shot off goal-nya, lalu dikonversi pula menjadi sebuah prosentase. Hanya sebatas itu.

Hasil penghitungan Opta itu kemudian dijual kepada media. Dan media kemudian melemparkannya ke publik. Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, data yang berupa angka itu justru menjadi bulan-bulan beberapa pihak, terutama kalangan tradisionalis. Pasalnya angka-angka yang dikeluarkan Opta itu tak punya faedah. Tak bisa memberikan kontribusi pada tim ataupun pada pemain.

Misalnya, ketika Frank Lampard yang punya prosentase keberhasilan umpan sebesar 97% dari 80 umpan yang telah ia lepaskan. Tapi 40 umpan di antaranya mengarah ke belakang, dan hanya tiga dari 10 umpan yang berhasil ia lepaskan ke daerah sepertiga akhir lapangan lawan. Lantas, apakah Lampard benar-benar mampu memainkan perannya sebagai gelandang serang Chelsea? Tentu saja tidak.

Hal-hal semacam itulah yang kemudian semakin menyulut kebecian kaum tradisionalis untuk semakin mengkritisi keberadaan angka dalam sepakbola. Mereka menganggap orang-orang yang menghitung hal tersebut tak ubahnya seorang akuntan sepakbola semata. Karena angka-angka tersebut tak mampu menjelaskan apapun. Tak punya faedah bagi sebuah tim dalam sebuah pertandingan. Tak bisa menyempurnakan permainan sepakbola, seperti yang digembor-gemborkan kaum modernis.

Bagi mereka yang risih akan keberadaan angka dalam sepakbola, persetan dengan data dan angka. Deret-deret angka tersebut tak mampu memperbaiki permaianan sebuah tim ataupun seorang pemain. Sampai batas tertentu, paradigma tersebut memang masih dalam kewajaran. Lantaran kemenangan adalah hal yang paling esensial dalam permainan sepakbola.

Trend Angka

Meski memantik perdebatan besar, namun penyertaan statistik dalam sepakbola lambat laun menjadi trend tersendiri di Eropa. Dan, sudah barang tentu, sebagai imbas dari globalisasi, angka-angkapun kemudian menjadi trend baru dalam sepakbola di negeri ini.

Dalam setiap pertandingan angka-angka bertebaran di lini masa dan juga media sosial lainnya. Sehari setelah pertandingan, angka-angka itu kemudian dimuat di media, baik cetak maupun elektronik. Yang kemudian di konsumsi oleh masyarakat secara luas.

Keberadaan angka-angka tersebut memang membantu dalam mengulas pertandingan. Tapi, kenapa persepakbolaan kita tetap saja jalan di tempat, meski sudah menyertakan angka-angka statistik yang notabene berfungsi mengukur dan melakukan penilaian terhadap peforma sebuah tim ataupun pemain? Hingga kini tidak terlihat adanya perubahan yang signifikan antara sebelum menggunakan angka dan pasca menggunakan angka.

Tentu ada yang salah dari semua ini.

Ada yang beranggapan bahwa permasalahan ini berakar, lantaran para pelatih tidak melek statistik. Bahkan, ada yang lebih parah lagi, tidak mau melek statistik.

Sampai batas tertentu, hal tersebut juga masih bisa dianggap wajar. Pertama, kebanyakan pelatih memang masih mengedepankan intuisi mereka untuk melihat peforma pemainnya atau dalam mencari bibit unggul calon pemain. Kedua, sudah menjadi hal lumrah bagi orang Indonesia, jika risih melihat deret-deret angka. Tidak semuanya, memang. Tapi sebagian besar.

Sebagian besar pelatih angka-angka rumit dari hasil catatan statistik yang masih belum jelas maksudnya apa. Tidak jelas juga apakah angka-angka tersebut berfungsi bagi timnya. Maka, wajar, bila pelatih menjadi enggan untuk melek statistik. Toh, deret-deret angka tersebut, menurut pelatih, tak bisa menjelaskan apa. Tak punya faedah bagi timnya, meski sudah disusun secara rapi dalam bentuk microsoft excel atau software apapun.

Situasi yang demikianlah yang membuat pertentangan antara kelompok pro dan kontra dengan keberadaan angka di dalam sepakbola semakin menjadi. Harapan orang-orang modernis untuk memperindah dan mengukur sepakbola semakin mendapat tentangan dari kaum tradisionalis yang sangat anti keberadaan angka dalam permainan 11 lawan 11 ini.

Oleh karena itu, harus ada sebuah jalan tengah yang bisa mengakomodir dua kutub dalam sepakbola tersebut.

Pembacaan Angka

Atas dasar segala permasalahan yang ada itulah Opta melakukan perubahan besar-besaran dalam hal statistik sepakbola pada tahun 2010. Tepatnya pada final Liga Champions 2010, antara Bayern Munich melawan Inter Milan.

Dalam pertandingan yang dimenangkan oleh wakil Italia itu, Opta, melakukan pencatatan yang lebih detil tentang aksi-aksi yang dilakukan pemain di atas lapangan hijau. Dalam proyek awalnya itu, sang produsen data berhasil mencatat 2.842 event dalam pertandingan tersebut. Lalu menganalisis data-data yang mereka dapat.

Ya, menganalisis! Seperti yang pernah dinyatakan Einstein, "Not everything that counts can be counted, and not everything that can be counted counts." Maka diperlukan sebuah analisis agar menjadikan angka-angka itu bermakna. Dan hal ini tak boleh dilupakan begitu saja.

Tak sekadar mencatat dan mengkonversi aksi-aksi pemain menjadi angka-angka, tapi juga menganalisisnya. Membenturkan angka-angka yang mereka dapatkan dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Tak sekadar menjumlahkan, tapi juga ingin menjawab kritik yang ada.

Mereka sadar, bahwa mengumpulkan data hanya langkah awal. Angka-angka yang mereka dapatkan juga harus dianalisa untuk memberikan jawaban. Kenapa sebuah tim bisa kalah dalam suatu pertandingan? Apa yang harus dilakukan sebuah tim agar bisa memenangkan pertandingan berikutnya? Tanpa analisis, data-data itu tak akan berarti apa-apa.

Semua orang sudah barang tentu tahu jika 2+2=4 dan tak ada yang membantah hal itu. Tapi sekali lagi, sepakbola bukanlah ilmu matematika murni. Kita juga harus melakukan penyelidikan dari mana datangnya dua, dan kenapa bisa mendapat dua lagi, sehingga berjumlah empat. Ya, di dalam sepakbola, kita tak boleh melupakan essential attributes: segala sifat yang penting yang tak boleh lupa.

Misalnya saja, pada pertandingan pertama, Xavi Hernandez berhasil mencatatkan 80% umpan sukses, sedangkan pertandingan kedua, ia berhasil mencatatkan 90% umpan sukses, jika demikian adanya, sudah barang tentu Xavi punya rataan umpan sukses 85%. Namun, dengan catatan yang demikian baik, kenapa Barcelona tak dapat menang dalam dua pertandingan?


Bagaimana Tim Statistik Bekerja - Statistics on Match Day


Hal itulah yang kemudian harus dijawab dengan analisis, agar membuat data itu bisa berbicara banyak. Dengan begitu, seperti yang saya sebutkan di awal, harus ada penyeledikan tentang apa yang dilakukan Xavi di atas lapangan. Barangkali, 50% dari umpan Xavi itu hanya diarahkan ke belakang, 30% lainnya diarahkan ke samping, dan hanya 20% yang diarahkan ke depan.

Penyelidikan-penyelidikan, itulah yang kemudian disebut analisis. Membenturkan data yang diperoleh dengan faktor-faktor lainnya, dengan konteks, dengan pertentangan-pertentangan yang ada. Tanpa analisis, semua data itu tak akan berarti apa-apa, hanya deret angka semata. Analisa sendiri bukan sekedar deret angka dan juga statistik.

Lebih jauh dari itu, analisis juga harus mencakup keterbukaan data baik yang formal, informal, yang teroganisir, yang tercatat, yang diamati dan yang diingat, dan hal-hal lain yang digunakan untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi. Itupulalah yang kemudian menjadikan seorang pencatat ataupun pengumpul data pertandingan diharuskan bisa memabaca angka-angka tersebut. Menjadikan dirinya sebagai analis, tak sekadar pencatat.

Dengan adanya analisis, si pengumpul data melakukan pembacaan atas angka-angka yang dicatatnya dengan sebuah hukum berfikir atau logika yang jelas. Maka angka-angka yang dilempar ke publik tidak menjadi multitafsir, dan memberikan sumbangsih nyata pada dunia persepakbolaan.

Karena sepakbola, sebenarnya, masih bisa menjadi old-fashioned business. Pelatih akan tetap mengedepankan tradisinya, berupa penggunaan intuisi. Sedangkan pengumpul data akan mencoba menyusun bukti-bukti, lalu menyederhakannya dalam bentuk analisis data-data. Guna membantu kinerja pelatih ataupun timnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (Mungkin) hal tersebut bisa menurunkan eskalasi konflik kaum tradisionalis dan kaum modernis.

Meminjam kata-kata Aron Levenstein, seorang profesor di bidang bisnis, "statistics are like a bikini. What they reveal is interesting. But what they hide is vital."

Lantas jika hanya angka-angka saja yang bertebaran di berbagai media tanpa penjelasan dan definisi yang jelas, bukankah angka-angka itu hanya akan menyilaukan mata saja?



*Dikirim oleh Sigit Prasetyo. Akun twitter @prasetypo

Komentar