Matinya Lapangan Kami

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Matinya Lapangan Kami

Dikirim oleh Ramzy Muliawan

Jika Tuan berkunjung ke perumahan kami, yang pertama harus Tuan kunjungi adalah lapangan. Dari jalan poros masuk ke perumahan, silakan lanjut lurus terus. Apabila bersua mesjid, beloklah ke kanan, lalu ambil lurus saja dari sana. Maka sampailah Tuan. Selamat, dan silakan duduk di bangku kayu di sana. Ya, di situ saja. Baik.

Semua orang yang datang bertandang ke lapangan kami akan menemukan sepetak tanah yang tak gersang-gersang amat, namun juga tidak dapat dikatakan rindang. Pepohonan berjejer di pinggirnya. Rumah-rumah penduduk membujur dan melintang mengelilinginya. Di sisi timur, ada Puskesmas beserta kebun sayurnya.

Sulit mendefinisikan petak bujur sangkar ini. Saya memandangnya sebagai lapangan sepakbola, namun kenyataannya ia tak melulu seperti itu. Di sisi barat, ada dua tiang karatan yang tegak saling berhadapan. Dari patok-patok batu bata yang ditanam di sekitar dua tiang tadi itu, tampaklah bekas lapangan voli.

Kalaupun ia dipandang sebagai lapangan sepakbola, maka ia adalah lapangan bola yang cacat. Tidak ada gawang. Tidak ada kotak penalti. Tidak ada garis pinggir. Tidak ada tiang sudut. Bahkan, tidak berumput. Lapangan sepak bola macam apa yang tak ada rumputnya, coba?

Tidak ada yang pernah repot-repot menetapkan (resmi atau tidak) untuk olahraga apa lapangan ini sebaiknya digunakan. Siapapun boleh datang membawa alat untuk memainkan olahraga yang diinginkannya, maka jadilah petak bujur sangkar itu menjadi lapangan yang dimaksud. Ia ibarat kanvas kosong yang siap diwarnai kapan saja, dan langsung pula menjadi kosong seperti sedia kala tiap orang-orang selesai menghamburkan cat warna di permukaannya.

Sesederhana itu? Ya, sesederhana itu.

Lapangan ini tak hanya menjadi saksi berlangsungnya pertandingan olahraga saja. Ia pernah menjadi tuan rumah kampanye politik, ceramah agama, sampai konser dangdut Melayu. Ia rutin jadi tempat bertemu, berkelahi, dan bermusyawarah. Tiap Rabu, ia beralih jadi tuan rumah “pasar kaget”. Para pedagang berbondong-bondong menggelar dagangan. Wortel, kubis, timun -- semua terhambar bercampur udara dan debu-debu.

Tak ada juga yang pernah mau repot-repot menggali sejarah lapangan itu. Mungkin sudah ratusan pertandingan olahraga berlangsung di tanahnya. Tidak ada yang pernah peduli soal debunya, tidak ada juga yang peduli soal lubang-lubang kecil di permukaannya. Yang kami tahu cuma datang, main, lalu bergembira. Begitu saja.

Ketika keluarga saya pindah ke perumahan ini, kami terhitung sebagai salah satu penghuni pertama. Blok saya hanya berjarak sepelemparan batu dari lapangan. Lalu satu demi satu keluarga lain berdatangan menjadi penghuni berikutnya. Satu keluarga membawa satu atau dua anak lelaki. Lalu, bersama-sama, saya menemukan lapangan itu.

Kami memainkan apa pun di lapangan itu. Ketika musim layang-layang, kami sibuk mengerek layangan masing-masing, lalu beradu kuat satu sama lain. Tiba musim gasing, kami putar-putarkan gasing plastik itu di tanah berdebu yang sama. Ketika kepemilikan sepeda menjadi hal yang menaikkan pamor, maka berpaculah kami menggeber sepeda masing-masing.

Namun, sepakbola tetaplah favorit. Seperti kisah klise yang sudah-sudah, satu-dua bola mulai digulirkan. Satu-dua tangan kecil mulai berjabat tangan. Satu-dua kaki cilik mulai menyepak si kulit bundar. Satu-dua tawa mulai membahana. Mungkin ada sedikit cekcok, barangkali soal bola yang keluar lapangan atau sikutan lawan yang terlalu keras. Namun jarang kami permasalahkan hal semacam itu, karena main bola adalah “permainan laki-laki” - kami camkan baik-baik hal itu saat ada kawan atau lawan yang jatuh ditekel dan menangis lalu mengadu kepada ibunya.

Dan ketika azan Maghrib berkumandang, satu-dua teriakan “PULAAAAAANG!” dari ibu-ibu kami sudah lebih dari cukup untuk membuat kami pontang-panting meninggalkan lapangan. Dengan seketika lapangan menjadi kosong, tapi selalu ada janji (walau) tak terucapkan: esok kami akan kembali lagi.

Baca juga:

Ibu-Ibu yang Mengambil Alih Bench


Sebab Tak Mungkin Suporter Teriak “All Mothers Are Bastards”



Untuk bermain, kami gunakan apa saja yang tersedia. Ketika sedang mujur, sebiji bola dapat dipinjam dari seorang kawan. Kalau tidak, kami rekatkan gumpalan kertas dan sampul dengan selotip. Jadilah bola. Gawang dibuat dari botol-botol soda kosong (yang diam-diam kami ambil dari warung sebelah). Tak ada botol kosong, sandal jepit yang berjejer.

Tak ada garis lapangan. Bola kami anggap keluar apabila mendarat di jalan samping lapangan, tersangkut di bawah mobil, atau tersuruk di parit. Kalau ada bola yang menyelonong masuk ke salah satu rumah, lalu memecahkan kaca jendela atau menghancurkan pot bunga, langsung kami tunjuk saja si biang keladi untuk bertanggungjawab. Apabila bola mendarat di rumah tetangga yang galak, maka makin panjanglah telunjuk kami.

Aturan offside tak laku di sini. Konsep pengadil dibuang jauh-jauh. Satu-satunya yang mempunyai kekuasaan lebih besar daripada kami semua adalah si empunya bola, sebab kapan saja dia dipanggil pulang ibunya (barangkali ini adalah bentuk force majeure yang paling sederhana), maka saat itulah permainan berakhir.

Lapangan jadi riuh apabila ada anak dari kompleks tetangga yang datang menantang tanding. Biasanya pemain-pemain bola terbaik di antara kami dimajukan, meski saya tak pernah masuk hitungan “yang terbaik” itu.

Sepakbola jalanan ala anak kecil ternyata sama luas dipraktikkannya dengan sepakbola yang sebenarnya. Dengan aturan main yang juga mirip-mirip. Baca: Tiang Gawang Puing-puing . .

Andai menang, kami gembira bukan kepalang. Jika kalah, sudah pasti akan kami tantang untuk bertanding ulang. Di lapangan itu, tak ada yang ingin kalah; semuanya ingin mempertahankan gengsi dan kehormatan masing-masing. Entah itu kehormatan individu atau kehormatan kelompok. Kalau enggan bertanding ulang, berkelahi menjadi hal biasa untuk melangsaikan ego.

Dan dari pertandingan-pertandingan itulah kami mulai  belajar membedakan “kita” dan “mereka”, “aku” dan “kau”. Di lapangan itu kami belajar bersaing mengungguli lawan. Belajar mengalahkan, tanpa harus menghancurkan mereka.

Piala Dunia adalah turnamen yang amat dipuja dan disambut bocah-bocah kompleks. Ketika perhelatan itu tiba pada 2006, dengan bangga kami kenakan kaus tim nasional jagoan, lalu berdebat di atas sadel sepeda soal siapa yang lebih baik di antara Ronaldinho atau Zidane; dibarengi bisik-bisik kecil soal mengapa tim nasional kita sendiri tak dapat melaju ke Jerman.

Bermacam-ragam kaus berkibar: Brazil, Jerman, Inggris, Argentina, Ukraina. Gaya rambut pun berupa-rupa: ada yang mencontoh Beckham, meniru Klose, atau menjiplak Shevchenko. Untuk urusan ini saya bolehlah berbangga hati, karena Italia yang saya jagokan keluar sebagai kampiun, sehingga kaus Luca Toni yang saya banggakan pun tidak sia-sia. Debat itu dilanjutkan – tentu saja – dengan bermain sepak bola.

lapangan2

Namun, itu dulu.

Zaman berputar. Satu demi satu “kami” yang mula-mula bermain sepak bola di lapangan itu mulai angkat kaki meninggalkannya saat masuk sekolah menengah. Entah itu karena komitmen sekolah, keluarga, atau apalah. Satu-dua masuk pesantren, yang artinya mereka tak akan dapat lagi bermain kecuali saat libur. Yang tersisa pun perlahan menguap pergi. Sayangnya, salah satunya saya sendiri.

Lapangan itu sejujurnya tidaklah betul-betul ditinggalkan. Ia cuma beralih generasi. Adik-adik kami masih bermain lapangan ini, meski tak serajin kami dulu. Mereka kini lebih suka menghabiskan waktu di warnet atau membalap motor-motor mereka.

Bukan salah mereka juga, sebetulnya. Fisik lapangan juga sudah berubah. Jaring voli yang dulu pernah berjaya kini dipindahkan oleh para pejabat RW ke lapangan dekat mesjid. Sepetak tanah di arah timur, menjadi tapak Puskesmas dan kebun sayurnya.

Atau tepatnya, fungsi lapangan itu sudah berubah. Yang kini lebih dominan adalah kegiatan-kegiatan yang tak terkait dengan olahraga. Tiap Rabu sore, “pasar kaget” makin riuh. Bukan sepatu, bola, atau bocah yang kini mendominasi lapangan; melainkan wortel, kubis, timun, dan sebangsanya. Dan sewaktu musim pemilu, ia menjadi tempat para calon legislatif mengobral janji, para calon wali kota mengobral harapan, dan para calon ketua RW mengobral program.

Tapi masih ada faktor lain. Iseng saya tanyakan pada salah satu bocah kompleks, kenapa ia dan kawan-kawannya tak main bola di lapangan itu lagi.

“Malas, Bang. Banyak PR.”

Saya seketika mafhum. Tuntutan prestasi akademik membuat bocah-bocah kehilangan minat bermain di lapangan kami. Ketika pulang ke rumah mereka, mereka sudah terlalu lelah untuk harus menendang-nendang bola lagi.

Satu-dua bocah mungkin masih menendang-nendang bola di tanah berdebu itu sore-sore, menunggu teman-teman mereka datang untuk turut serta bermain. Namun suasananya tak akan pernah sama. Kawan-kawan yang diharapkan untuk datang mungkin lebih memilih duduk di warnet, bercengkerama dengan orang-orang yang lebih tua, sambil meniru tingkah-polah mereka. Atau barangkali mereka sibuk mengejar prestasi akademis yang dipuja-puji para guru mereka.

Mereka tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu, kebahagiaan bermain si kulit bundar. Itulah yang menyebabkan saya kadang berpikir, bahwa barangkali secara zahir, lapangan kami masih tetap wujud dan tegak. Namun secara batin, ia sudah lama mati.

Sekarang, Tuan, selesai sudah kita. Apakah Tuan mau ikut serta bermain di lapangan kami?


Penulis: Muhammad Ramzy Muliawan, masih duduk di sekolah menengah, deputy editor-in-chief, AKSI Magazine MAN 2 Model Pekanbaru. Editor dan administrator, Indonesian and Minangkabau Wikipedia. Dapat dihubungi melalui akun twitter: @poroshalang. Lapangan dalam tulisan ini berada di kompleks Perumahan Universitas Riau, Pekanbaru.

Komentar