Mahalnya Daging Sapi dan Pemain Muda Inggris

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Mahalnya Daging Sapi dan Pemain Muda Inggris

Oleh: Teguh RS*

Sejak dua pekan silam, masyarakat Indonesia seperti  dihantui oleh kelangkaan dan kenaikan harga daging sapi. Sejak Senin (10/8) sejumlah pedagang di Bandung memutuskan untuk mogok berjualan. Menurut perwakilan dari asosiasi pengusaha daging, pemogokan ini merupakan bentuk protes kebijakan pemerintah yang membatasi kuota impor. Karena itu pula harga daging sapi menyentuh angka 130 ribu rupiah per kilogram.

Pemerintah sebenarnya berkeyakinan kalau pasokan daging nasional cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, hal ini dipertanyakan oleh Dirjen Industri Kecil dan Menengah, Euis Saedah, “Pertanyaannya, sapinya ada di mana? Apakah sudah diolah atau ke mana?”

Pertanyaan Euis menjadi masuk akal. Pemerintah mungkin mengklaim kalau pasokan daging nasional cukup. Namun, apakah daging tersebut sudah ada di Pulau Jawa atau mungkin masih di kapal dalam perjalanan laut?

Pemerintah sendiri menurunkan kuota impor daging sapi dengan tujuan mengembangkan industri sapi di dalam negeri. Kuote impor pada kuarta III tahun ini ditetapkan 50 ribu ekor. Angka ini menurun jauh ketimbang kuartal II dengan mengizinkan 250 ribu ekor sapi bakalan, 29 ribu sapi potong, dan 1000 ton secondary cut.

Kelangkaan daging sapi ini membuat penulis teringat dengan kondisi talenta muda berbakat asli Inggris. Spesies mereka langka; kalaupun ada ya mahal.

Penggemar sepakbola pasti mengamini kalau pemain muda adalah kebutuhan penting bagi tiap kesebelasan. Apalagi mengingat karir pesepakbola terbilang pendek, semakin cepat seorang pemain menandatangai kontrak profesionalnya, maka akan lebih baik bagi pemain maupun kesebelasan itu sendiri.

Ibaratnya begini; seorang pemain menandatangani kontrak profesional pada usia 17 dengan puncak permainan pada usia 28 tahunan. Saat pemain tersebut sudah mencapai kepala tiga, maka itulah masa awal bagi pemain muda yang baru untuk menggantikan pemain senior.

Pertanyaannya adalah sampai kapan pemain muda berkualitas mesti dibayar sangat mahal; bahkan jauh lebih tinggi ketimbang pemain yang berada di usia puncak. Padahal, pemain muda mahal identik dengan besarnya tekanan yang berisiko menghadirkan kegagalan

Salah satu contoh konkretnya saat Arsenal tak mampu memaksimalkan Calum Chambers setelah ditransfer dari Southampton pada awal musim lalu. Chambers ditebus dengan nilai 16 juta pounds; sebuah angka yang melampaui nilai transfer Mathieu Debuchy, bek kanan yang sudah berlaga 26 kali bagi timnas Prancis, senilai 12 juta pounds.

Dengan nilai yang begitu tinggi, kita tentu tak akan lupa terhadap pernyataan manajer Arsenal, Arsene Wenger yang enggan membeli pemain Inggris karena tingginya harga. Ia lebih memilih menggunakan pemain impor yang nilainya lebih murah tapi berkualitas.

Sejumlah rekor transfer bagi pemain muda Inggris pernah tercatat. Ada yang sukses, ada pula yang tak menjadi apa-apa: Andy Carroll (21 tahun; dari Newcastle ke Liverpool senilai 35 juta pounds; 2011), Rio Ferdinand (24 tahun, Leeds United ke Manchester United senilai 30 juta pounds; 2002), dan Wayne Rooney (16 tahun, dari Everton ke Manchester United senilai 27 juta pounds; 2004). Fenomena ini memperlihatkan sejak awal 2000-an sekalipun sudah terlihat adanya gejalan akan terjadinya kelangkaan dan mahalnya talenta-talenta lokal Inggris.

Manajer Mengeluh

Semasa masih menjabat sebagai manajer Sunderland, Gustavo Poyet, pernah mengeluhkan mahalnya para pemain Inggris; bukan cuma pemain muda, tapi juga yang sudah uzur. Poyet bahkan tidak pedulit dengan jumlah pemain lokal di timnya, “Saya tak peduli di Inggris atau bukan; saya cuma mencari pemain yang terbaik,” seru Poyet.

Hal serupa juga dikemukakan manajer Aston Villa, Tim Sherwood. Ia bahkan terang-terangan tak sanggup membeli pemain lokal Inggris yang belum tentu bisa mengangkat kualitas timnya.

Usai mengalahkan AFC Bournemouth pekan lalu, Sherwood malah memuji para pemain asingnya, “Banyak anak-anak Perancis yang membahayakan di kotak penalti lawan. Para pemain Inggris kemahalan, tapi itu tak berarti kami tak mencari pemain Inggris. Kami sedang mencari sesuatu yang bisa meningkatkan kualitas tim.”

Sebenarnya kemanakah talenta-talenta muda yang lahir tiap musimnya?

Meminjam pernyataan wakil dari Dirjen Industri Kecil dan Menengah soal kelangkaan sapi, “Sapi (baca: pemain)nya ada di mana; apakah sudah diolah atau di mana?”. Barangkali jawabannya simpel: banyak! Ada ribuan bakat baru lahir di Inggris hanya saja mereka seperti enggan mencoba.

Tidak semua kesebelasan di Liga Primer Inggris bermasalah dengan perekrutan pemain lokal; sebagian di antaranya mampu mengeruk keuntungan karena memaksimalkan potensi akademi. Ini terbukti dengan apa yang dilakukan Southampton yang mampu menjual sejumlah pemain bernilai puluhan juta pounds, tapi masih bisa bersaing di lini tengah. Yang terbaru, tentu bagaimana West Ham United mampu mengorbitkan Reece Oxford yang mampu membuat para pemain Arsenal sulit menembus pertahanan.

Kegelisahan pelatih macam Wenger, ataupun pelatih lain yang enggan membeli pemain muda memang beralasan. Ketimbang membeli daging lokal yang mahal, lebih baik membeli daging impor yang lebih murah dan empuk. Lalu pertanyaan pun muncul; sampai kapan harus menggunakan daging impor?

Membeli pemain muda tak ubahnya membeli daging sapi; Anda mesti menyesuaikan dengan kocek yang Anda miliki. Memang ada sebagian orang yang tak mengeluh mahalnya daing sapi. Toh ada saja orang yang gemar membeli daging steak wagyu yang harganya bahkan 10 kali lipat dari harga daging sapi di pasaran. Ya, kan? Saat Manchester City membeli Raheem Sterling, contohnya.

Tapi ya kalau Anda cuma masyarakat kelas menengah, tak perlu sok-sok-an lah makan daging. Masih ada daging ayam; atau kalau kemahalan Anda bisa membibitkan kedelai untuk disarikan menjadi tahu dan tempe yang tak kalah enak dan bervitamin ketimbang daging sapi.

foto: westridgebeef.com

 Penulis adalah peserta Pandit Camp. Tulisan di atas merupakan tugas hari kedua tentang pemilihan sudut pandang tulisan. Peserta diberi waktu kurang dari lima jam untuk menyiapkan tulisan dari isu yang dipilih secara acak oleh editor. Penulis berakun twitter @teguhrama

Komentar