"Ladya Cheryl" sebagai Persoalan Juventus

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Karya Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Ketika tulisan ini dibuat, timeline twitter saya sedang ‘diguncang’ tagar #TeamAlya sebagai respons atas keputusan Ladya Cheryl yang menolak bergabung ke project Ada Apa dengan Cinta (AADC)  sekuel 2 dan memilih fokus ke pendidikannya. Tiba-tiba saja merasa kehilangan, mungkin seperti ketika Juventus kehilangan Andrea Pirlo. Saya membayangkan AADC tanpa Alya yang lembut dan  ke-ibu-an memang seperti melihat Juventus tanpa Pirlo.

Bagi anak muda medio awal 2000-an, film AADC seakan menjadi standar bagaimana seharusnya film anak muda bertema romansa cinta dibuat. Film ini lugas. Taktis. Tidak ba-bi-bu dan langsung menjelaskan pokok tentang problematika asmara Cinta dan Rangga. Rangga yang akhirnya pergi ke luar negeri. Dan Cinta yang dibiarkan menunggu belasan tahun.

Bahkan, syair Rangga yang ditulis di buku catatan yang ditinggalkan untuk Cinta pada akhir film, seakan menjadi trademark paten bahwa pria puitis macam Rangga itu bisa cool, tanpa harus terjerembab menjadi kumel, acak-acakan, gondrong tak beraturan -- layaknya stereotipe tentang seniman/penyair!

Mari bahas sejenak sosok Alya di film tersebut. Alya dikisahkan tumbuh di lingkup keluarga yang lekat dengan kekerasan rumah tangga. Namun di balik problematika rumah tangga orang tuanya, Alya tumbuh menjadi pribadi yang kalem dan lembut. Anomali.

Tapi di situlah keindahan film ini terasa. Di saat Cinta bergaul dengan geng madingnya yang beken dan terkenal itu, sosok Alya adalah oase di balik sosok Maura yang tukang gosip, Karmen si atlet basket yang tomboy dan galak, serta sosok Milly yang lemot. Walau Cinta dengan segala kemasyhurannya adalah penyempurna di antara empat  orang temannya yang lain, toh Alya tak bisa dianggap sekadar pelengkap. Ia ibarat kaki-kaki meja yang menopang keberlangsungan persahabatan mereka.

Bayangkan meja tanpa kaki. Tak bisa berdiri, bukan? Sosoknya kalem, mirip bagaimana Andrea Pirlo dalam mendikte permainan dari kedalaman lini tengah Juventus. Alya pun juga anggun dan ke-ibu-an serta mengayomi, mirip Pirlo dengan jambangnya yang maskulin serta potongan rambutnya yang elegan, juga dengan cara Pirlo mengayomi ritme permainan Juventus dengan presisi umpan dan eksekusi bola matinya.

Memang terlalu dini menyimpulkan bahwa Juventus merindukan Pirlo atau tidak, tapi mengacu pada kekalahan mengejutkan dari Udinese di kandang sendiri pada pekan pertama, saya berani berasumsi sosok Pirlo dirindukan -- setidaknya untuk mengatur ritme dan mengalirkan bola.

Saya merasa Pogba yang bersanding dengan Perreyra dan ditopang Padoin pada pertandingan tersebut sebagai solusi tidak tepat guna. Pogba sangat eksplosif, tipikal enforcer atau box to box player yang taktis dan gemar maju ke depan serta sesekali melepaskan cannonball, pun Perreyra lebih eksplosif bila dimajukan sebagai gelandang serang, bukan gelandang tengah. Dan Padoin? Dengan segala hormat terhadap Simone Padoin, tapi masih perlukah saya membandingkan Padoin dengan Andrea Pirlo yang kinyis-kinyis seperti Ladya Cheryl?

Namun yang terutama dan paling pokok adalah tidak satu pun dari ketiga nama tersebut yang memiliki kemampuan mendikte permainan, mengalirkan bola, dan menjaga ritme serangan. Tidak satu pun. Bahkan seorang Paul Pogba sekalipun.

Baca: Segala hal tentang Andrea Pirlo di sini.

Ketika mini drama perihal AADC muncul di media sosial beberapa waktu silam, saya terhenyak melihat transformasi Ladya Cheryl yang semakin mempesona dan bergelora. Dian Sastro tetap yang terbaik, the best of the best. Tapi Dian Sastro tanpa Ladya Cheryl di AADC adalah salah! Sama seperti Juventus tanpa Pirlo.

Juventus dengan segala nama besarnya, juga manuver transfer Beppe Marotta yang kerap brilian, mungkin cepat atau lambat akan menemukan pengganti Pirlo (walau bukan pengganti yang sama persis tipikal dan gayanya, sebab hanya ada satu Pirlo di muka bumi ini). Entah dengan menunggu pulihnya Sami Khedira, atau memaksimalkan Pogba untuk bermain dengan role yang diemban Pirlo (walau susah tampaknya) atau mendatangkan pemain yang mendekati Pirlo, Marco Veratti, mungkin? Atau bisa juga meminjam Joshua Kimmich dari Bayern Muenchen.

Tapi sosok Pirlo akan sangat dirindukan sekali, setidaknya untuk musim ini. Sudah tahu kan nasib Milan setelah Pirlo pindah ke Juventus?

Hidup memang masih berjalan, dan Juventus akan terbiasa hidup tanpa Pirlo. Tidak ada lagi freekick elegan dan tricky ala Pirlo. Tidak ada lagi pemain dengan jersey nomor 21 yang selalu dimasukkan bajunya dan hampir selalu terlihat rapi di lapangan. Tidak hari ini, tidak nanti, dan tidak kapan pun. Sama seperti project AADC 2 yang akan terus berjalan dengan atau tanpa Ladya Cheryl.

Penulis adalah pria pengggemar masak-memasak, bisa dihubungi di @isidorusrio_

Komentar