Mengapa Kesebelasan Ibu Kota Totaliter Lebih Mudah Juara?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Mengapa Kesebelasan Ibu Kota Totaliter Lebih Mudah Juara?

Karya: Muhammad Rasyid Hidayat

Antal Szabo, penjaga gawang timnas Hungaria, mengucapkan kalimat yang kontroversial setelah timnya dikalahkan Italia dengan skor 4-2 di final Piala Dunia 1938: “Gawang saya memang kemasukan empat gol, tapi paling tidak saya telah menyelamatkan nyawa mereka.”

Sepakbola seperti yang memang telah (dan akan terus) kita ketahui merupakan olahraga yang paling efektif dalam mempengaruhi dan mengambil simpati massa. Pada awal abad ke-20, negara-negara Eropa yang tengah mengalami berbagai pergantian sistem pemerintahan kerap menjadikan pergelaran olahraga, khususnya sepakbola, sebagai kendaraan menuju kekuasaan.

Mussolini, Hitler dan Franco adalah nama-nama besar yang dikenal pandai memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan propaganda. Semakin besar kesuksesan kesebelasannya, semakin mudah pula mereka menyebarluaskan paham politiknya kepada dunia.

Stefan Szymansky dan Simon Kuper dalam bukunya yang berjudul Soccernomics, membahas dalam bab khusus terkait kesuksesan sebuah kesebelasan di Eropa. Dalam buku itu dikatakan bahwa parameter yang paling sederhana dalam menentukan suksesnya sebuah kesebelasan adalah dengan melihat partisipasi mereka di kompetisi Eropa.

Hasilnya menunjukkan bahwa ibu kota negara totalitarian atau totalitarian capital cenderung memiliki prestasi kesebelasan yang baik. Menariknya, paham inilah yang digunakan oleh ketiga pemimpin di atas selama mereka berkuasa.

Sejak kompetisi Eropa dimulai pada tahun 1956, totalitarian capital setidaknya mampu menguasai 13 dari 16 final pertama kompetisi Eropa dan mampu membawa pulang delapan trofi, yang semuanya dimenangkan baik oleh Real Madrid (Madrid) maupun Benfica (Lisbon). Ketika itu, Real Madrid adalah kesebelasan kesayangan Jendral Fransisco Franco, Presiden Spanyol yang tidak segan merampas hak-hak warga Katalan. Sedangkan Benfica berada di bawah komando Antonio Salazar yang berkuasa selama 36 tahun di Portugal.

Setelah wafatnya Salazar dan memudarnya era fasisme pada 1970, totalitarian capital tetap menancapkan dominasinya di ranah Eropa. Steaua Bucharest yang dikomandoi anak dari diktator Rumania, Nicolae Ceausescu, berjaya pada tahun 1986. Sementara Red Star Belgrade melakukan hal yang sama pada 1991.

Di Jerman Timur, Erich Mielke, kepala kepolisian rahasia Jerman Timur yang juga merangkap sebagai presiden kesebelasan Dynamo Berlin, berpengaruh besar terhadap kedigdayaan Dynamo dari tahun 1979 hingga 1988. Walaupun tidak pernah menjuarai kejuaraan Eropa, mereka sangat mendominasi kompetisi lokal.

Hal yang berkebalikan terjadi pada ibu kota negara demokratis atau democratic capital seperti Paris, London, Istanbul dan Roma, yang kita kenal saat ini sebagai kiblat sepakbola modern. Sejak dimulainya kejuaraan Eropa, kesebelasan-kesebelasan ibu kota ini belum pernah memenangkan satu gelar Eropa sekalipun, justru kota-kota provinsi seperti Munchen, Milan, Liverpool bahkan Nottingham mengoleksi gelar Eropa yang lebih banyak. Hal tersebut tentunya sebelum Chelsea membawa harum nama London sekaligus memutus kutukan ketika berhasil menjuarai Liga Champions pada 2012.

Rival sekota Chelsea: Arsenal dan Tottenham, belum bisa berbicara banyak di Liga Champions. Belakangan dua kesebelasan tersebut justru lebih sibuk memperebutkan posisi tiga dan empat di kompetisi domestik. Sementara kesebelasan kebanggaan kota Paris, Paris Saint Germain (PSG), bahkan baru muncul ke permukaan setelah diakuisisi oleh miliarder asal Qatar pada 2011. Mari lupakan kompetisi Eropa, di kompetisi domestik saja PSG belum bisa menyaingi Stade de Reims dalam perolehan titel ligue 1.

Bergeser ke tenggara, di kota Roma, persaingan sengit dua kesebelasan lokal, Lazio dan AS Roma, di Serie-A sepertinya tidak menular ke kompetisi Eropa. Total trofi kedua kesebelasan ini di Eropa belum (dan entah kapan) bergerak dari angka nol. Sementara itu Istanbul, kota tempat Besiktas, Galatasaray dan Fenerbahce memperebutkan supremasi Super Lig, begitu kesulitan lolos dari fase grup Liga Champions.

Berlin mungkin memiliki catatan yang paling buruk dari empat kota di atas. Hertha Berlin kesebelasan kebanggaan Ibu kota Jerman ini bahkan terakhir menjadi juara liga domestik sebelum nama Bundesliga dicetuskan.

Mungkin satu-satunya pengecualian adalah kota Amsterdam. Ibu kota negeri tulip ini telah memenangi empat gelar Liga Champions bersama Ajax Amsterdam. Namun predikat ibu kota yang dimiliki Amsterdam tampaknya hanyalah simbolisme semata karena kenyataannya roda pemerintahan, parlemen serta kerajaan, justru berada di kota Den Haag, dengan kesebelasan ADO Den Haag yang lebih banyak meluangkan waktunya di divisi bawah liga Belanda.

Fenomena ini setidaknya menimbulkan satu pertanyaan, faktor apa yang membuat totalitarian capital begitu dominan di Eropa? Penulis mencoba menjelaskan tiga poin logis yang mungkin berguna untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Bersambung ke halaman berikutnya.

Komentar