Konsep Marx-Lenin dalam Revolusi Chelsea ala Abramovich-Mourinho

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Konsep Marx-Lenin dalam Revolusi Chelsea ala Abramovich-Mourinho

Oleh: R.M. Agung Putranto Wibowo

Pada 8 Desember lalu, dunia mengenang peristiwa pembubaran Uni Soviet secara resmi. Dikatakan secara ‘resmi’ karena terdapat fragmen peristiwa simbolik berupa penurunan bendera Uni Soviet yang digantikan bendera Rusia.

Bagi bangsa Barat yang saat itu tengah berposisi sebagai musuh ideologi, hal tersebut adalah sebuah kekalahan. Akan tetapi menurut Clarence Derek Brinton, seorang Amerika lulusan Universitas Harvard yang menyusun buku “Anatomy of Revolutions”, hal tersebut justru merupakan suatu wujud keberhasilan ideologi Marxis-Leninis yang diaktualisasikan menjadi sebuah negara (Rusia).

Kendati banyak negara bekas Uni Soviet memproklamirkan diri sebagai negara baru yang bebas dari pemikiran komunis, Rusia justru konsisten dengan ideologi tersebut. Tampil brilian berkat siasat yang dilancarkan para kelompok konservatif, membuat Rusia sanggup bertahan di tengah gelombang perestroika dan glasnost.

Mungkin hal itulah yang membentuk para pemuda-pemudi Rusia menjadi patriot berjiwa tangguh dan berpendirian teguh. Betapa keras langkah pembaharuan untuk mempersatukan nilai-nilai sosialisme dengan demokrasi Barat melalui keterbukaan politik, namun warga Rusia bergeming.

Roman Abramovich lahir di Sarator, sempat bermukim di kawasan Syktyvkar, dibesarkan sang nenek di Ukhta, lalu membentuk diri di lingkungan Moskwa. Hari ini ia adalah pemilik klub London Barat, Chelsea yang pada Juni 2003 silam dibelinya dengan gelontoran dana sebesar 140 juta Poundsterling.

Semua orang di London tidaklah mungkin tidak mengenal taipan minyak asal Rusia ini. Pria berambut tipis dengan sepasang bola mata intimidatif, nyaris setiap awal atau bahkan pertengahan musim kompetisi menjadi headline koran-koran serta berita-berita olahraga.

Sejak mengambil alih Chelsea 2003 silam, Abramovich telah memecat tujuh manajer. Gelagat tanpa kompromi dan berpegang teguh pada prinsip, telah secara sah dan meyakinkan penahbisan Roman sebagai warga negara Rusia sejati.

Bagi siapa saja manajer yang hendak menukangi The Blues, julukan Chelsea, hukumnya wajib mempersembahkan gelar. Jika ada manajer yang tak kuasa menghadirkan trofi ke Stamford Bridge, maka surat pemecatan siap melayang ke meja kerjanya, bahkan sebelum kompetisi secara resmi berakhir.

Bicara Roman Abramovich berarti bicara revolusi Chelsea. Selayaknya orang Rusia pada umumnya, Roman tentu paham bahwa revolusi bicara fokus dan pengorbanan. Revolusi Rusia berfokus pada bagaimana cara menumbangkan rezim Tsar Nicholas II yang reaksioner dan otokratis. Untuk mewujudkan itu, diperlukan pengorbanan yang tidak mudah, bahkan nyawa manusia termasuk komoditas lazim dalam revolusi yang mengalami puncaknya pada Oktober 1917 itu.

Roman Abramovich jelas menaruh fokus pada prestasi dan reputasi Chelsea di kancah sepakbola dunia. Gelontoran dana segar yang seketika itu pula menjadikan Chelsea klub bergelimang harta, terlalu naif bila dinikmati secara perlahan.

Roman perlu respons cepat atas injeksi yang telah ia lakukan. Tak heran apabila hanya dalam semusim setelah kedatangannya di Chelsea, The Blues telah merajai tanah Britania Raya dan seluruh daratan Eropa dalam jangka waktu kurang dari satu dekade.

Dalam periode sesingkat itu, revolusi Chelsea tak melulu mengalami euforia. Adalah kontrak para manajer yang membuat riuh Stamford Bridge mengalami frekuensi tak menentu. Dalam konteks sepakbola modern, (kontrak) manajer adalah komoditas lazim yang hampir pasti berakhir tragis di negeri Ratu Elizabeth.

Roman adalah figur yang tidak akan pernah mati dalam sejarah Chelsea. Bahkan para suporter Chelsea mengabadikan pengorbanan Roman dengan memasang spanduk bertuliskan “The Roman Empire”.

Sosoknya menjelma bak dewa dalam rezim sepakbola modern. Ada watak pemilik klub sekaligus suporter fanatik yang bernaung dalam tubuh tegap Roman, dan pria yang dimaksud saat ini sedang dilanda kegelisahan luar biasa.

Kegelisahan itu hadir karena Chelsea mengawali musim ini dengan status sebagai juara bertahan tapi bermain seperti kesebelasan promosi. Chelsea yang sebelum liga bergulir ada di urutan teratas bursa taruhan Eropa, kini hanya sanggup bertengger di peringkat ke-14 dengan raihan 15 poin dari 15 kali berlaga.

Bagi Roman ini bukan lagi mimpi buruk melainkan pengkhianatan terhadap revolusi. Tentu pengalaman tersebut adalah yang pertama kali bagi Roman sejak dirinya menggalang revolusi Chelsea pada Juni 2003 silam.

Uniknya, sosok yang sedang berperan sebagai pengkhianat itu adalah manajer terbaik yang pernah dimiliki Chelsea, Jose Mourinho. Pada masa awal-awal revolusi, pria yang sama adalah tokoh yang turut membawa prestasi bahkan menjaga reputasi klub dengan menjuarai Liga Primer secara back-to-back.

Kebijakan Mou dalam menerapkan formasi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan musim lalu. Hanya saja ketidakstabilan permainan Chelsea memicu suporter untuk saling berargumen; apakah Jose Mourinho layak dipecat atau dipertahankan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hanya Roman Abramovich yang berhak.

Tentu menjadi ironi tersendiri bagi Roman yang telah mendatangkan kembali Jose Mourinho setelah sebelumnya ia pecat pada musim 2007/2008. Jika memang sikap Roman untuk tetap mempertahankan Mou sebagai manajer Chelsea adalah suatu keputusan bijak, maka Roman turut mempertahankan nafas revolusi yang sudah puluhan tahun digalang.

Bagaimana pun juga sosok Mourinho tidak serta merta dapat dilepaskan begitu saja dari sejarah revolusi Chelsea. Hubungan Roman dengan Mourinho dalam revolusi Chelsea melebihi hubungan Lenin dengan Stalin dalam revolusi Rusia. Jika Lenin-Stalin tokoh yang saling menggantikan dan meneruskan, maka Roman-Mourinho adalah tokoh yang saling memenuhi kebutuhan dan berjalan beriringan menuju altar kesuksesan klub. Atau mungkin, hubungan Roman-Mourinho lebih mirip Karl Marx dan Lenin? Roman yang punya konsep, Mou yang melaksanakan?

Lagipula mereka yang menghakimi bahwa Chelsea telah habis musim ini adalah orang-orang tak beralasan. Mereka hanya percaya statistik dan dibutakan oleh grafik. Ingatlah Chris Anderson dalam bukunya “The Numbers Game” yang mengatakan statistik seperti halnya bikini, banyak yang ia tampilkan, namun sayangnya bagian terpenting tidak ia tampilkan.

Lalu bagaimana dengan segelintir kelompok yang terus menyuarakan agar Mourinho dipecat? Dalam hal ini, terdapat kelompok suporter realis yang meminggirkan romantisme. Mereka seolah tidak peduli dengan nama besar Mourinho beserta fragmen-fragmen indah saat Mourinho melakukan selebrasi bersama Chelsea.

Menurut kelompok ini, Chelsea butuh perubahan secara cepat dan tepat karena Mourinho gagal membawa harapan akan Chelsea yang lebih baik. Intinya kelompok ini hanya ingin melihat Chelsea keluar dari krisis seakan mereka semua yakin setelah Mourinho dipecat Chelsea akan bangkit lalu menjadi juara.

Anggaplah kelompok suporter pertama adalah kelompok konservatif Uni Soviet yang menentang reformasi dan tetap ingin mempertahankan komunisme. Tapi ingat, toh pada akhirnya 8 Desember 1991 Uni Soviet resmi bubar, walau prinsip utama sebagai amanat revolusi tetap dipegang teguh dan dipertahankan.

Sementara itu, anggaplah kelompok suporter kedua adalah kelompok radikal yang mendukung reformasi tetapi ingin meninggalkan komunisme. Memang perubahan secara struktur terjadi, namun ada tatanan nilai baru yang butuh waktu relatif lama untuk diadaptasi sehingga harus mulai dari awal, penyesuaian kembali, dan yang pasti belum tentu menjanjikan kejayaan.

Uni Soviet memang telah bubar, tetapi Lenin tidak pernah mati. Ia terbujur mematung di Lapangan Merah. Semua pemujanya, bisa mengenang atas apa yang ia lakukan buat Uni Soviet tepat di hadapannya. Tubuh Lenin memang kaku, tetapi warisannya tidak. Kalau tidak ada Lenin, barangkali konsep komunisme Karl Marx hanya sebatas di buku-buku filsafat atau ekonomi. Karena Lenin, konsep Marx turut dikenang dalam sebuah kejayaan bernama Uni Soviet. Pun dengan Chelsea, kalau dulu Mourinho tidak melaksanakan konsep Abramovich, bukan tidak mungkin kejayaan Chelsea mesti tertunda.

foto: bbc.com

Komentar