Ranieri Bukan Lagi Mayat yang Berjalan

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Ranieri Bukan Lagi Mayat yang Berjalan

Oleh: R. M. Agung Putranto Wibowo*

David Platt pernah berujar bahwa membangun tim yang dapat menjadi juara dan mengendalikan sebuah tim juara adalah dua hal yang jauh berbeda. Pendapat eks pemain Timnas Inggris tersebut layak diresapi oleh Claudio Ranieri mengingat capaian mengesankan dirinya bersama Leicester City akhir-akhir ini.

Baru menelan satu kali kekalahan dalam 15 kali berlaga jelas bukan suatu kebetulan pada kompetisi Liga Inggris. Tren positif yang secara konsisten diperlihatkan anak-anak asuh Ranieri, membuat Leicester sanggup bertakhta di puncak klasemen mengangkangi Arsenal,  Manchester United, Manchester City, dan Chelsea. Kini konsistensi The Foxes akan diuji dengan bertemu sang juara bertahan, Chelsea.

Memasuki pekan ke-16, King Power Stadium bersiap menjamu kunjungan spesial, karena Chelsea adalah pelabuhan pertama The Tinkerman di Liga Inggris. Sosok Ranieri bagi The Blues tidak begitu mentereng, mengingat prestasi cemerlang yang pernah ia sumbangkan hanya finis di posisi terakhir zona Liga Champions pada musim 2002/2003. Selain capaian itu, kurang pas rasanya jika belum memposisikan Ranieri sebagai pelatih yang mengalami masa transisi dari sejarah revolusi klub.

Dipercaya Ken Bates menukangi Chelsea pada 18 September 2000, Mr. Nice Man (julukan Ranieri yang lain) meminta agar diberi waktu 3-4 musim untuk menghadirkan titel besar ke Stamford Bridge. Maklum, Ranieri adalah tipikal pelatih yang mementingkan proses dalam membangun sebuah tim. Alih-alih akan segera memetik hasil atas apa yang sedang ia kerjakan, Juni 2003 Chelsea diguncang revolusi hebat dengan uang sebagai katalisatornya.

Pemain-pemain bintang masuk begitu saja tanpa kompromi dengannya, membuat penyusunan sekaligus penyesuaian kembali dengan strategi yang terlanjur pakem. Alhasil keharmonisan Chelsea terganggu dan mengalami puncaknya ketika sistem rotasi tak berjalan sesuai harapan. Banyak pemain yang didatangkan dengan harga selangit merasa tidak sudi duduk di bangku cadangan, sehingga ketika dimainkan, mereka bermain untuk ego pribadi bukan untuk tim.

“Aku tahu masaku di Chelsea telah berakhir (ketika Abramovich menjadi pemilik klub). Saya tahu bahwa sejak awal (kedatangan Abramovich), saya hanyalah sesosok mayat yang berjalan. Saya berpikir, meskipun memenangkan semua gelar, saya tetap akan dipecat,” tutur Ranieri. Ranieri bak merapal doa. Pasalnya hanya beberapa pekan pasca komentar tersebut, dirinya dipecat dari jabatan sebagai pelatih Chelsea.

Agak sulit memahami posisi Ranieri di Chelsea saat itu yang meminjam bahasanya sendiri seperti mayat yang berjalan. Dirinya sadar musuh utama Chelsea bukan tim kontestan Liga Inggris, melainkan internal Chelsea sendiri. Baik di ruang ganti pemain sampai di ruang direksi memusuhi dirinya, sehingga terasing pada sebuah tim yang ia rancang sendiri adalah pengalaman otentik yang kerap menghantui Mr. Nice Man.

Adapun penderitaan batin yang diderita pria kelahiran Roma itu dapat digambarkan melalui tulisan Sutan Sjahrir: “Hampir-hampir tidak dapat dipercaya namun suatu kenyataan bahwa orang-orang di dalam kamp itu teraniaya tanpa disadari oleh mereka penyiksa yang menganiaya, karena mereka tidak ambil pusing pada penderitaan batin para buangan, bahkan punya perhatian pun tidak.” Ranieri memang berada ribuan kilometer dari Digul, namun latar derita antara eks-Digulis dengan eks-pelatih Chelsea itu amat kental terasa.

Kesunyian serangan batin yang dilancarkan jajaran direksi terlebih oleh sang pemilik, sifatnya tidak dan tanpa disadari secara paripurna. Mereka hanya sadar gelontoran dana yang digunakan untuk mendatangkan pemain kelas wahid ternyata tidak menghasilkan apapun. Sehingga didepaknya The Tinkerman, menjadi preseden bagi kemenangan industri sepakbola modern.

Sebagaimana ujaran David Platt, Ranieri kala itu sedang membangun tim yang dapat menjadi juara, lalu Abramovich datang dan menganggap Chelsea adalah tim juara. Keduanya jelas adalah dua hal berbeda. Wajar jika kemudian Abramovich geram menyaksikan ketidak becusan Ranieri dalam mengendalikan tim juaranya.

Apa yang sedang dilakukan Ranieri bersama Leicester sebetulnya sama dengan yang dilakukannya 15 tahun lalu di Chelsea; membangun tim yang dapat menjadi juara. Hanya saja yang membedakan, Jamie Vardy dkk. bahkan Aiyawatt Raksriaksorn selaku pemilik, sama sekali tidak menganggap Leicester adalah sebuah tim juara. Jika dilihat riwayat kepelatihan Tinkerman, ia selalu mengesankan kala membesut tim-tim medioker. Di bawah komandonya, kesebelasan semacam Cagliari, Fiorentina, dan Valencia mencapai masa-masa keemasannya. Adapun masa itu juga sedang terjadi pada Leicester City.

Sebelum pertandingan melawan Chelsea, Ranieri berujar kepada pers bahwa Chelsea adalah Chelsea dan Mourinho adalah Mourinho. Bahkan secara eksplisit dinyatakan bahwa Chelsea perlahan namun pasti akan merangkak naik ke empat besar klasemen. Terlepas dari psywar atau bukan, pernyataan tersebut menyiratkan tidak ada dendam yang menyelimuti Ranieri.

Mungkin dulu Ranieri adalah sosok mayat di Chelsea. Meminjam kisah Franz Kafka, apa yang dialami Ranieri saat Abramovich mengambil alih Chelsea sama dengan yang terjadi pada Gregor Samsa. Suatu waktu dia terbangun menjadi serangga yang ditulis “Ungeziefer” yang dalam kosakata Jerman berarti hewan haram, najis dan sebagainya. Layaknya Gregor, Ranieri kesulitan untuk bangkit dari tempat tidur karena tekanan pekerjaan yang selama ini dirasakan tiba-tiba menjadi beban teramat berat. Orang-orang di sekitarnya pun mulai jengkel dengan tingkah Gregor (Ranieri), hingga ketika dia sedang terbaring seseorang menusuknya yang menyebabkan dia mati seketika.

Kini Ranieri telah bangkit dari kematian. Dia telah bertransformasi secara damai dari mayat yang berjalan, menjadi malaikat pencabut nyawa. King Power Stadium bak sarkofagus yang menampung dewa-dewa (klub-klub unggulan) Liga Inggris dan pemesan pertamanya adalah Chelsea. Berkaca pada penampilan kedua klub di Liga Inggris, kali ini Ranieri bukan lagi sosok mayat yang berjalan, justru Chelsea lah mayat yang sedang berjalan menuju arah kematian.

He used to be a walking dead, walked around on Chelsea’s bed. But now he’s upon your head, trying to beat you so bad!


*Penulis merupakan Mahasiswa FHUI yang tengah berjuang menyelesaikan skripsi, berakun twitter @agungbowo26

Komentar