Kepada Suporter yang Hari Ini Akan Berhadapan di GBK

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Kepada Suporter yang Hari Ini Akan Berhadapan di GBK

Mengapa suporter bisa saling melukai, bahkan saling membunuh? Ini pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk dijawab.

Ada perbedaan yang tajam antara "lawan" dan "musuh" -- dan itu terjelaskan dalam istilah yang lazim dipakai: "hari ini Persib melawan Arema", "besok AC Milan melawan Juventus". Bukan 'Persib memusuhi Arema" atau "AC Milan memusuhi Juventus".

Lawan adalah prasyarat mutlak dalam sepakbola. Tanpa lawan, tak ada pertandingan. Lawan, dengan demikian, adalah syarat eksistensi sebuah pertandingan. Jika syarat itu dimusnahkan, maka tak akan pernah ada pertandingan sepakbola. Lawan bukanlah musuh yang mesti dimusnahkan. Jika lawan dimusnahkan, maka sepakbola pun lenyap. Hanya sistem totalitarian yang menginginkan sekaligus mensyaratkan kemusnahan lawan.

Tapi kita tahu, dalam atmosfir yang panas dan intensitas permusuhan yang memuncak, apalah artinya bahasa?

Pertanyaan di awal tulisan ini, jika dilanjutkan, bisa berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan lain: apa sesungguhnya yang membuat seseorang bisa menjadi karib yang sangat baik, seseorang yang lain jadi orang yang tak begitu kita sukai atau bahkan kita benci? Kebaikan hati? Ketulusan? Pertolongan yang tulus? Pengkhianatan dan kebohongan? Atau apa?

Kenangan seorang prajurit Amerika yang harus baku bunuh dengan tentara Jerman di daratan Eropa pada Perang Dunia II sedikit banyak menjelaskan bagaimana latar tertentu membuat seseorang mesti bermusuhan atau bersahabat dengan seseorang yang lain.

Saya lupa siapa prajurit itu, tapi seperti yang saya saksikan dari serial Band of Brothers, ia kurang lebih berkata: “Mereka (para tentara Jerman itu) dalam banyak hal sama seperti kami. Mereka mungkin senang memancing atau berburu. Tapi mereka melakukan apa yang diperintahkan, seperti halnya saya melakukan apa yang diperintahkan. Dalam situasi yang berbeda, kami mungkin bisa saling bersahabat.”

Saya tidak tahu persis apakah perkataan di atas bisa berlaku dalam semua situasi.

Ada cerita tentang anak muda yang ikut rombongan orang-orang yang murka. Rombongan itu, dan ada banyak rombongan sejenis, membumihanguskan rumah-rumah, membakar kandang-kandang ternak, beberapa dari mereka bahkan ikut membunuh tanpa pandang bulu: pria dewasa, anak-anak, perempuan, juga orang-orang tua. Anak muda tadi juga ikut membakar rumah dan menghancurkan apa yang menurut mereka perlu dihancurkan, kendati ia tak bercerita apakah ia ikut membunuh atau tidak.

“Karena saya D dan mereka M,” ujarnya datar.

Anak muda itu, yang saya temui beberapa tahun lalu, mengaku kenal dan berteman dengan beberapa dari yang diidentifikasi sebagai M. Mereka ada yang menjadi teman sekolahnya, tetangganya, atau kenal karena pertemuan atau momen-momen yang lain, misalnya: ketemu dan kenal di warung, kenal dan akrab di lapangan bola, dll. Tapi karena mereka itu M dan dia itu D, maka pertemanan dan perkenalan itu menjadi tidak ada artinya.

Jika kehidupan berlangsung sebagaimana wajarnya, berlangsung dengan datar layaknya prosa-prosa yang tanpa konflik, maka fakta bahwa dia itu D dan mereka itu M tidak akan menjadi soal berat. Sayangnya dunia bukanlah prosa yang datar. Kejutan senantiasa hadir, retakan atas harmoni selalu mengancam, dan satu peristiwa sepele namun terus berulang, yang semuanya dihimpun dalam satu Kejadian (dengan “K” besar) yang tiba-tiba menjadi pelatuk yang meledakkan segala hal. Lalu terjadilah penegasan yang menyeret banyak konsekuensi: dia itu D dan mereka itu M.

Pernah juga saya bayangkan, semisal saat menonton sekuen-sekuen “mengerikan” dalam film seperti Band of Brothers, Platoon, Saving Private Ryan atau Black Hawk Down, semuanya itu bisa terjadi karena hal-ihwal yang sebenarnya “sepele”: seorang Fuehrer atau seorang komandan resimen karena gengsi dan harga diri memerintahkan anak buahnya untuk mempertahankan sebuah area kecil yang tidak penting, yang karena itu ratusan serdadu mesti baku bunuh, lalu dari situ seorang prajurit mati meninggalkan anaknya yang masih kecil, lalu anak kecil itu tumbuh dengan amarah yang laten, dan membenci semua hal yang terkait dengan para pembunuh ayahnya.

Seperti Setadewa dalam roman klasik karya YB. Mangunwijaya, Burung-Burung Manyar, yang membenci dengan sangat para republiken karena menganggap mereka bersekutu dengan Jepang yang salah seorang tentaranya –mungkin dalam keadaan mabuk-- memperkosa mamanya. Seperti Robert Suurhof dalam novel Bumi Manusia yang dengan keras kepala bekerja pada PID yang mengganggu dengan segala cara orang-orang pribumi karena benci pada Minke, seorang pribumi cerdas yang entah kenapa disukai oleh Annelies, gadis sangat cantik di seantero Surbaya dan Sidoarjo, yang sangat ia sukai itu.

Seorang supir bus mungkin tidak akan menabrak seorang ayah dari dua anak yang berangkat kerja jika saja ia berangkat dari terminal lima menit lebih cepat dan tidak membuang-buang waktu dengan menghabiskan kreteknya lebih dulu atau si ayah tadi berangkat ke kantor lima menit lebih lambat dengan tetap duduk di depan televisi menghabiskan sesi berita pagi atau dengan menyemir sepatunya lebih dulu. Jika keduanya atau salah satunya terjadi (si supir berangkat lima menit lebih cepat karena tidak menghisap kretek sampai habis atau sang ayah berangkat lima menit lebih lambat karena menyemir sepatu lebih dulu), mungkin salah satu anak dari ayah yang tertabrak itu tidak perlu membenci setengah mati si supir yang menyebabkannya menjadi anak yatim.

Seseorang membenci orang lain karena sebab-sebab tertentu. Tapi seseorang bisa menyukai dan mencintai orang lain juga karena sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab tertentu itu bisa merupakan sesuatu yang disengaja atau tidak disengaja, bisa sesuatu yang bisa dielakkan atau tak bisa dielakkan. Andai sebab-sebab tertentu itu bertukar tempat, mungkin si X yang membenci si Y sebenarnya bisa saling mencintai dan si A yang mencintai si B bisa saling membenci.

Membayangkan hal-hal semacam itu kadang membuat saya meragukan sendiri kebencian atau kecintaan pada sesuatu. Benarkah saya akan membenci atau mencintai sesuatu jika saya melihat dan mengenalnya dalam situasi atau momen atau sudut pandang yang berbeda, seperti yang terlintas setelah menonton Rashomon-nya Akira Kurosawa atau Elephant-nya Gus van Sant?

Saya merasa bisa memperluas cakrawala pandang saya atas banyak sekali kejadian yang berlangsung dalam riwayat hidup saya dengan membayangkan hal-hal semacam itu. Setidaknya, itu membuat saya lebih sadar betapa prinsip, pandangan, pendirian, dan sikap saya pada sesuatu atau seseorang tidak berdiri di atas alas yang kokoh-kokoh amat.

Sialnya, terkadang, berpikir dan meyakini hal-hal seperti itu memberi orang lain kesempatan untuk menstempel jidat kita dengan sebutan: para peragu atau yang sejenis dengan itu.

Tapi rasa-rasanya tidak sulit bagi saya untuk berpikir kemungkinan-kemungkinan yang baik jika suatu saat saya bersua dengan suporter rival di sebuah perempatan jalan. Saya akan membayangkan bahwa suporter rival itu, jika berada dalam situasi yang "normal", boleh jadi adalah orang yang asyik diajak bicara, menyenangkan untuk diajak ngobrol-ngobrol -- mungkin sembari main catur atau main kartu.

Sebab, boleh jadi lagi, suporter rival itu sebenarnya punya banyak kesamaan dengan saya: mungkin sama-sama menyukai kesebelasan Italia, mungkin sama-sama menyukai novel Albert Camus, mungkin sama-sama menyukai sajaknya Widji Thukul, mungkin sama-sama menyukai The Cure atau Coldplay, mungkin sama-sama menyukai filmnya Inarritu, mungkin sama-sama suka memancing, mungkin sama-sama suka jogging, mungkin sama-sama beragama Islam, mungkin sama-sama berasal dari satu almamater namun beda fakultas atau angkatan -- tapi sudah pasti kami sama-sama punya bapak dan ibu yang niscaya akan meraung-raung dalam tangisan pilu yang membelah langit ketika salah satu dari kami harus dimakamkan karena kami saling mematikan.

Kawan, sepakbola itu sangat indah. Untuk menikmati keindahannya, mula-mula, kita harus hidup. Kehidupan adalah prasyarat mendasar jika ingin menikmati keindahan sepakbola -- sebab kita tak pernah tahu apakah ada sepakbola di surga atau neraka. Hanya di dunia ini kita bisa berdesir dan berdebar oleh sepakbola.

Sebab kita harus hidup untuk dapat terus menikmati keindahan sepakbola yang tak terpermanai itu. Agar bisa berbagi kesenangan dan kebahagiaan mendukung kesebelasan tercinta bersama anakmu kelak, bahkan juga cucumu.

Tak boleh ada satu pun pertandingan yang seharga dengan nyawa. Tak ada yang seberharga nyawa yang cuma selembar ini.

ilustrasi: 123rf.com

Komentar