Melawan Ketidakmungkinan a la Carson Pickett

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Melawan Ketidakmungkinan a la Carson Pickett

Minggu pagi itu Carson Pickett hendak bersiap menuju Moda Health Memorial Stadium di kota Seattle untuk mempersiapkan diri menghadapi Sky Blue FC dari New Jersey dalam laga perdana musim 2016 National Women’s Soccer League – divisi tertinggi sepakbola perempuan Amerika Serikat– bersama kawan-kawan barunya di Seattle Reign FC sore harinya. Seperti biasa ia mulai menyiapkan sarapan muffin Inggris kesukaannya dengan selai kacang dan madu. Tak lama kemudian ia menulis beberapa catatan seperti nama-nama restoran yang akan ia kunjungi beserta keluarganya dan mengecek posting dan info terkini melalui iPad nya. Itu semua ia lakukan dengan tangan kanannya; satu-satunya tangan yang ia miliki. Ya, Carson Pickett, bek baru yang direkrut Seattle Reign FC melalui college draft NWSL 2016, adalah seorang pesepakbola perempuan yang lahir tanpa lengan dan tangan kiri.

Hands, put your empty hands in mine…
And scars, show me all the scars you hide…

(Artikel ini ditulis oleh F.X. Steven Danis)

"Orang-orang akan bertanya: Bagaimana Anda bisa menangani (segala hal) dengan satu tangan?” Pickett ditanyai.
“Nah! Bagaimana Anda berurusan dengan dua (tangan)?” timbal Picket.

Sebuah pertanyaan yang tegas ia berikan dalam wawancara bersama Seattle Times beberapa waktu lalu. Pickett dapat merasakan tatapan yang membakar dari khalayak, terlebih dirinya merupakan pemain sepakbola yang intens bertemu dengan banyak orang asing. Kesan pertama dari banyak orang yang menilainya polos dan rapuh ketika melabeli tubuhnya dalam sepersekian detik.

Tak ada yang dapat dilakukan pemain berusia 22 tahun ini kecuali menyembunyikan tangan kirinya dengan pakaian long sleeve seperti yang dikenakannya ketika bermain untuk tim universitasnya, Florida State University, di tahun pertama sebagai seorang mahasiswi. Tetapi lama-kelamaan, penyuka kelinci ini mulai terbiasa dengan tatapan lama yang diberikan orang-orang kepadanya. Walau terkadang ia memikirkan hal ini sebagai sebuah kesialan besar.


Carson Picket dengan seragam lengan panjangnya. (via: seattletimes.com)

Mengantisipasi Duel Fisik Dengan Membaca Permainan

Senin pagi (18/4) waktu Indonesia, Pickett berhasil menjalani debut profesionalnya dengan bermain selama 90 menit walau kenyataan pahit harus diterima Seattle Reign yang harus takluk dari Sky Blue FC dengan skor 2 – 1 di depan para pendukungnya sendiri. Lebih pahit lagi karena Carson menjadi salah satu pemain yang bertanggung jawab atas terjadinya gol kedua yang dilesakkan Kelly Conheeney. Namun terasa sedikit naif jika menilainya hanya melalui kesalahan tersebut karena Penulis yang kebetulan menonton laga pagi itu melalui streaming di kanal YouTube NWSL melihat Carson tak jarang mengamankan daerah kiri pertahanan Seattle dengan beberapa clearance-nya.

Satu-satunya hal yang membuat Carson frustasi dalam berhadapan dengan para penyerang adalah ketika ia harus menghentikan dribble bola mereka. Carson mungkin sudah mempelajari semua trik yang diberikan ayahnya bergerak ke kiri dan ke kanan untuk menutupi pergerakan lawan atau memainkan tempo dengan memperlambat dan mempercepat kembali larinya.

“Aku selalu memaksa mereka untuk keluar, ke arah di mana tangan kananku, yang lebih kuat, leluasa untuk menghalau pergerakan mereka,” tuturnya.

Carson tidak pernah mau menganggap dirinya berada di bawah orang lain, kekurangan fisik tak membuat dirinya lemah melainkan ia menggangap dirinya ada dalam level yang sedikit berbeda dengan orang lain.

“Aku pikir aku membaca permainan dengan sangat baik karena aku harus melakukannya," lanjut Prickett. “Aku tidak ingin mendapatkan diriku jatuh dalam pertempuran fisik yang begitu besar, ketika Aku sudah membaca permainan aku sudah berada di dalam permainan itu sendiri.”

Kata-kata bijak itu sedikit banyak didukung oleh pernyataan Sarah Voigt, teman SMA nya yang kini bermain di tim universitas Notre Dame. Menurutnya Carson berhasil menjadi pemain yang besar karena kemampuan dan etos kerja nya, walau fakta berbicara bahwa ia hanya memiliki satu tangan saja.

Banyak pujian yang dialamatkan padanya, salah satunya adalah tendangan kaki kiri yang sama menyengatnya dengan lemparan pitcher kidal dalam permainan bisbol. Semasa sekolah dulu Carson juga sempat membungkam mulut instruktur tenis nya yang menguji kemampuan backhand satu tangan nya.

Dukungan Untuk Menunjukkan Jati Diri Sebenarnya

Carson adalah salah satu talenta muda berbakat untuk masa depan sepakbola perempuan Amerika Serikat. Sebelum dikontrak secara profesional oleh Reign ia menjadi bagian skuad Washington Spirit Reserve yang memenangkan gelar W-League –divisi kedua sepakbola perempuan Amerika Serikat- pada 2015 lalu. Carson tampil sebanyak 25 pertandingan musim lalu untuk menggantarkan Seminoles, julukan Florida State University, ke final Kejuaraan antar universitas kelima mereka secara berturut-turut. Ia juga ikut dipanggil kesebelasan perempuan negara Amerika Serikat U-23 untuk menjalani kompetisi di Norwegia pada 2015 lalu.

Oh, tears make kaleidoscopes in your eyes…
And hurt, I know you’re hurting, but so am I…

Darah atlit mengalir deras di tubuhnya melalui rekam jejak kedua orang tuanya, sang ayah Mike sempat bermain sepakbola di South Carolina-Spartanburg dan sang ibu Treasure dulunya adalah pebasket di Centenary dan North East Louisiana. Dan pada 15 September 1993, 22 tahun yang lalu, keduanya tak kuasa menahan air mata ketika Carson terlahir ke dunia. Sang ibu bahkan sempat khawatir bagaimana Carson akan mendapatkan kekasih di hari tuanya nanti, dan sang ayah bertanya-tanya apakah bisa ia menyalurkan cintanya pada olahraga kepada buah hatinya? Bahkan mereka sempat frustrasi karena takut tak dapat memberikan bimbingan dengan baik.

Ketika Carson berusia 6 bulan, orang tuanya berhasil meminta seorang dokter untuk membuatkanya sebuah tangan palsu, namun Carson justru merusaknya dan merangkak dengan cepat di karpet bulu dengan kekuatannya sendiri.

“Itu terlihat identik dengan tangan kananku, dan aku benci itu.” “Lenganku adalah ceritaku, itu keren dan aku nyaman karena itu,” pungkas Carson yang memiliki fans berat sekaligus seorang teman seorang pesepakbola yang bermain di tingkat sekolah menengah, Erica Silvey, yang tak memiliki fibula di kaki kirinya.

And, love, if your wings are broken…
Borrow mine ‘til yours can open, too…

Carson tak perlu khawatir kalau ia harus “terbang dengan satu sayapnya”, setidaknya para penggemarnya di lapangan akan memberikan semangat dan dukungan yang akan menjadi “invisible wings”-nya sama ketika ia berusia 7 tahun dan membuat keajaiban di mata keluarganya. Pernah di suatu pagi, sang ayah terkejut dengan rambut Carson yang sudah tersisir dan terikat rapi. Tak hanya itu, Carson mulai belajar sendiri cara mengikat tali sepatu, mengecat kuku, bahkan naik sepeda walau harus dilalui penuh memar dan benjolan. "Sejak saat itu, segala hal yang dilakukannya mengherankan kami, tetapi tidak mengejutkan kami."

Love, your not alone …

Keluarga dan teman adalah segala-galanya bagi Carson. Dalam kamus keluarganya, khususnya sang ayah, tidak ada kata “tidak bisa” dalam kehidupan. Keajaiban Carson kecil tak berhenti dalam hal-hal kecil saja. Sang ayah bahkan menjadi saksi bagaimana Carson yang merasa tertantang dengan sebuah monkey bar di taman bermain akhirnya dapat bergelantungan dengan baik dari satu palang ke palang lainnya.

Sejak kecil teman-temannya selalu menerima Carson apa adanya. Havanna Solaun jadi yang terdekat diantara yang lainnya di Seattle Reign karena merupakan teman masa kecil Carson di sekolah menengah. Mantan rekan setimnya di Florida State, Cassie Miller, bahkan mengatakan bahwa Carson adalah favorit para penggemar, dan bukan karena keadaannya sekarang (sebagai seseorang berkebutuhan khusus) namun karena kharisma dan pribadi dari duta “Play Like a Girl” –sebuah organisasi non-profit yang mengkampanyekan pemberdayaan anak perempuan melalui olahraga dan aktifitas kebugaran- yang tak kenal lelah tersebut.

Carson tak akan pernah sendiri, dan kita akan selalu menantikan keajaiban yang dibuat karena kerja kerasnya. Seperti kala ketika ia membuat sang ibu menangis karena ia dan rekan-rekannya dapat menang dalam lomba renang estafet empat perenang, dimana Carson Pickett adalah perenang keempat dalam timnya yang menentukan kemenangan.

Dan, kehadiran[2] sosok Carson Pickett di NWSL musim ini semoga dapat menginspirasi kita semua, terutama perempuan-perempuan di luar sana, untuk selalu mengatasi kesulitan-kesulitan mereka dan tak henti-hentinya untuk berusaha menggapai semua mimpi-mimpinya.

Yeah I’m (Eh, mungkin maksudnya ‘we’) gonna stand by you, Carson!

Penulis saat ini (single) merupakan mahasiswa aktif S1 Filsafat yang ikut mengembangkan komunitas sepakbola perempuan di Indonesia bersama teman-teman di @womensfootie_id. Dapat ditemui di (seputaran selatan Jakarta) akun @stevenkurus.

Sebagian tulisan ini disadur dari artikel di Seattle Times.

Komentar