Ketika Maut Datang ke Gelanggang

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Ketika Maut Datang ke Gelanggang

oleh: Sahad Bayu Setiawan*

Ernesteo Che Guevara, pejuang revolusi yang ikonik itu, pernah menginginkan ajalnya dijemput saat ia bergerilya di hutan, bukan saat berbaring di ranjang. Soe Hok-Gie, aktivis “legendaris” Indonesia, juga yang pernah menulis di bukunya, Catatan Harian Seorang Demonstran, tentang hal serupa. Katanya, “Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di atas tempat tidur.” Kedua orang ini rela hidupnya tamat di tempat mereka berjuang dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Lantas, adakah pesepakbola yang ingin menggapai batas akhir hidupnya di lapangan hijau?

Tak ada yang tahu apakah pertanyaan tersebut pernah melintas di kepala seorang Patrick Ekeng. Namun, dunia tahu bahwa beberapa hari yang lalu dia bermain bola untuk terakhir kalinya saat klub yang ia bela, Dinamo Bucharest, melawan Viitorul Ionstanta pada lanjutan Liga Rumania. Pada menit ketujuh, segalanya tampak gelap bagi Ekeng. Saat berjalan, napasnya tiba-tiba memberat dan kemudian dia ambruk, tanpa bisa bangun lagi.

Rekan maupun lawannya panik, sambil berharap bantuan medis segera datang. Ternyata maut lebih sigap dari tim medis. Nyawa Ekeng tak tertolong. Dia mengalami kematian mendadak akibat henti jantung/SCD (Sudden Cardiac Death) karena masalah jantung yang didiagnosis sebagai hypertrophy cardiomyopathy.

Bagi Dinamo Bucharest, ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya, ada nama Catalin Hildan yang juga meninggal di atas lapangan. Di masa jayanya, ia adalah kapten klub yang berandil besar terhadap berakhirnya sembilan tahun puasa gelar Dinamo Bucharest.

Hildan sempat masuk dalam daftar skuat timnas Rumania di Piala Eropa 2000, walau tak bermain satu partai pun. Tanggal 5 Oktober 2000, pemain ini tiba-tiba tersungkur saat berjalan dan langsung meninggal. Untuk mengenang jasanya, sektor utara stadion kandang Dinamo Bucharest diberi nama Peluza Catalin Hildan (Catalin Hildan Stand). Penyebab meninggalnya Catalin Hildan juga sudden cardiac death akibat penyakit jantung.

Selain dua nama di atas, ingatan pecinta sepakbola akan pemain yang meninggal mendadak saat bermain bola juga tertuju pada Marc Vivin Foe di Piala Konfederasi pada 2003. Jangan lupakan pula kematian pemain Sevilla, Antonio Puerta, pada 2007, kala klubnya menjamu Getafe di La Liga. Kematian Puerta membuat klub mengabadikan nomor punggungnya untuk menghormati sang pemain. Di daratan Italia, nama Piermario Morosini hadir untuk menambah daftar pemain yang meninggal mendadak di lapangan hijau. Pemain Livorno ini meninggal ketika bermain melawan Pascara pada 2012. Dari semua nama di atas, mereka meninggal karena penyebab yang relatif sama, yakni SCD yang diakibatkan berbagai tipe penyakit jantung.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Sudden Cardiac Death (SCD) menjadi momok yang mengintai banyak olahragawan, termasuk pesepakbola. Data dari 1966 hingga 2004 menunjukkan 1100 kasus SCD terjadi pada olahragawan di seluruh dunia. Sepakbola sendiri menyumbang lebih dari seperempatnya.

Penyebab SCD berasal dari beragam penyakit jantung, mulai dari penumpukan sumbatan pada arteri (atherosclerosis), radang pada otot jantung (miokarditis), kematian otot jantung (cardiomyopati), hingga masalah impuls listrik jantung yang mengakibatkan perubahan irama (aritmia). Dari semua penyakit tersebut, manifestasi yang paling sering dan memicu SCD adalah kejadian Ventricular Fibrilation (VF).

Pada kejadian VF, jantung pemain tidak memompa darah, irama dan listrik jantung kacau sehingga jantung hanya bergetar tanpa mengejeksikan darah ke sistem peredaran darah. Alhasil, suplai darah nihil (termasuk ke otak), sehingga pemain biasanya kejang.

Penting diketahui, berhentinya suplai darah akibat jantung yang tidak memompa ini ditolerir maksimal 2-4 menit. Lebih dari itu, terjadi kerusakan otak yang permanen. Jantung yang hanya bergetar ini terjadi akibat kerusakan koordinasi di hampir semua bagian jantung. Fungsi otomatis jantung yang paling akhir mengambil alih untuk mengatasi kerusakan koordinasi, namun karena letaknya di area paling bawah (ventrikel) jantung tidak menggenjot darah, melainkan hanya mampu bergetar/tremor pelan di area itu. Setelah proses ini, yang kerap terjadi adalah berhentinya semua aktivitas jantung.

Apa yang Seharusnya Dilakukan

Banyak pihak yang mengkritik keterlambatan penanganan tim medis ketika pemain meregang nyawa di lapangan hijau, termasuk pada kasus Patrick Ekeng. Sebenarnya semata-mata menyebut keterlambatan sebagai faktor utama ini tidak sepenuhnya benar, walaupun memang di dalam dunia kegawatdaruratan terdapat mantra yang senantiasa dirapal: Time Saving is Life Saving. Keterlambatan ini hanya representasi dari buruknya sistem penanganan yang tidak dijalin secara terpadu. Mulai dari alur kegawatdaruratan (codeblue), kapasitas tenaga medis, ketidakcakapan dalam melakukan CPR (Cardio Pulmonary Rescucitation) atau dikenal sebagai teknik pijat jantung baik untuk tenaga medis maupun untuk awam, tempat yang harus dirujuk setelah penanganan, sampai ketersediaan sarana prasarana. Faktor-faktor tersebut sesuai dengan hasil survei yang pernah dilakukan terhadap sekitar 190 klub di 10 negara Eropa (termasuk Inggris, Italia, Spanyol dan Belanda) beberapa tahun lalu.

Untuk faktor sarana prasarana, ketidaksiapan penggunaan defibrillator adalah masalah yang paling dominan. Padahal, defibrillator ini adalah kunci penting untuk mengatasi kejadian VF. Pada VF, jantung yang hanya tremor akibat koordinasi diambil oleh bagian listrik terlemah jantung, memiliki listrik yang alirannya kacau. Fungsi defibrillator ini untuk menghilangkan kekacauan listrik sehingga jantung diharapkan bisa berdenyut lagi. Untuk itu, ketersediaan defibrillator ini hukumnya benar-benar wajib, karena sangat mendukung keberhasilan penanganan. Seorang ahli penyakit jantung bernama Profesor Efriam Kamer pernah berucap, “Jika ada pertandingan sepakbola, siapkan defibrillator. Jika tidak memilikinya, lebih baik Anda memesan peti mati.”

Jenis defibrillator juga macam-macam. Untuk yang bersifat praktis dan mudah dijinjing sekaligus mudah digunakan, terdapat AED (Automatic External Defibrillator) atau defibrillator otomatis. Selain AED, ada lagi defibrillator yang ditanam di bawah kulit, untuk pemain yang sudah terdeteksi memiliki penyakit jantung. Sehingga bila dia mengalami VF tiba-tiba saat bermain, tidak terjadi CSD. Defibrillator jenis ini diberi nama Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD). Contoh nyata penggunaan ICD ini dialami oleh Anthony Van Loo dari klub SV Roeselare (Belgia) yang pernah mengalami VF saat bermain bola di tahun 2008. Ketika dia mengalami serangan jantung dan mendadak ambruk akibat terjadi VF, defibrillator diaktivasi hanya kurang dari hitungan 10 detik. Hasilnya, Van Loo langsung terbangun dari kondisinya yang semula tidak sadar dan bisa melanjutkan kariernya sebagai pesepakbola.

Bagaimana bila tidak ada defibrillator? Apakah kita sebaiknya diam saja? Jawabnya tidak. Daripada diam, kita bisa melakukan CPR atau pijat jantung paru. Ini bisa dilakukan oleh tim medis maupun sesama pemain yang sudah mendapat pelatihan khusus. Karena pada kondisi VF, jantung tidak memompa darah. Dengan CPR, darah kembali terpompa ke sirkulasi tubuh untuk sementara melalui pijatan penolong, walaupun koordinasi listrik jantung masih kacau.

Kisah penyelamatan pemain sepakbola yang mengalami CSD dengan teknik CPR ini pernah terjadi secara dramatis pada Fabrice Muamba pada pertandingan perempat final piala FA antara Bolton Wanderers melawan Tottenham Hotspur di White Heart Lane. Muamba saat itu tiba-tiba tidak sadarkan diri saat sedang berlari. Semuanya panik, termasuk wasit Howard Webb yang sedang memimpin pertandingan. Beberapa penonton bahkan menjerit histeris dan menitikkan air mata. Tim medis segera datang dan melakukan CPR atau resusitasi jantung paru. Setelah sekian menit CPR, kondisi Muamba berpindah menuju fase ROSC (Return of Spontaneus Circulation) alias sirkulasi kembali spontan. Pada kondisi ROSC, pasien dianggap layak rujuk dan aman untuk melakukan transportasi ke rumah sakit.

Dokter yang memimpin aksi ini, Dr. Andrew Deaner, namanya semakin moncer dan diundang ke berbagai forum untuk berbagi pengalamannya ini. Muamba sendiri dinyatakan benar-benar pulih sedia kala setelah menjalani perawatan di rumah sakit selama hampir satu bulan.

Banyaknya kejadian kematian pesepakbola di lapangan hijau akibat serangan jantung ini membuat banyak pesepakbola seperti diincar oleh penembak misterius yang kapan saja siap menarik pelatuk dan menembakkan peluru untuk mengakhiri hidup. Tanpa bermaksud menebar kecemasan yang berlebih, selayaknya manajemen klub mengambil tindakan.

Langkah awal yang bisa ditempuh adalah melakukan skrining dan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Pemindaian risiko SCD lewat pemeriksaan tertentu pada pemain sepakbola juga terbilang tidak rumit, namun relatif efektif. Beberapa contoh pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan Elektrokardiography (perekaman aktivitas listrik jantung) dan pemeriksaan Echocardiography (USG jantung). Wejangan lawas yang berkata bahwa mencegah itu lebih baik daripada mengobati adalah nasihat yang tak lapuk dimakan jaman. Ini semua karena maut seringkali tidak bisa ditebak. Maut tidak pernah tepat waktu. Ia terlalu sering datang tiba-tiba.

foto: sbnation.com

*Penulis merupakan paramedis Gawat Darurat dan Critical Care di salah satu rumah sakit milik BUMN. Berakun twitter @sahadbayu

ed: fva

Komentar