Antonio Conte dan Nonsense

Editorial

by Zen RS Pilihan

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Antonio Conte dan Nonsense

Permainan Italia yang sangat intens menekan Spanyol, baik kala bertahan maupun menyerang, tercermin dengan bagus lewat lagak Conte selama 90 menit.

Kendati gerimis membasahi Stade de France, Antonio Conte tetap berdiri di dekat garis lapangan. Di bawah naungan topi berwarna biru, sorot matanya terlihat amat intens mengikuti jalannya pertandingan. Ekspresinya nyaris tak pernah datar. Saat sebuah peluang gagal dimaksimalkan salah seorang pemainnya, ia mengekspresikannya kekesalan dengan gerak seakan menendang bola dengan kekuatan penuh.

Conte memang pribadi yang sangat intens menikmati sepakbola. Intensitas itu dirasakan semua pemain yang pernah ditanganinya: menjejali pemain dengan analisis video, timbunan informasi dan statistik lawan, memenuhi ruang makan dengan poster bertuliskan jumlah kalori yang harus dikonsumsi, bersuara keras di kamar ganti tentang pentingnya memberikan 100% kemampuan di lapangan, sangat rinci saat latihan taktik, sekaligus amat protektif menjaga timnya. Sejak memimpin Bari, berlanjut di Juventus, dan kini Italia, sangat biasa Conte menutup sesi latihan taktik bagi siapa pun yang tidak berkepentingan.

Kamar ganti Juventus sepanjang 2011-2014 menjadi kamar ganti yang "keras", juga sangat intens. Gianluigi Buffon pernah mengatakan bagaimana kamar ganti Juventus di era Conte disulap menjadi ruangan yang begitu membenci kekalahan, sangat benci kekalahan. Itulah yang menjadi kunci non-teknis yang membuat Juventus berhasil melewati musim 2011-2012 dengan tanpa kekalahan.

Di laga terakhir Conte bersama Juventus, di pengujung musim 2013-2014, Buffon lagi-lagi mengalami langsung bagaimana Conte begitu intens menghajar siapa pun yang tidak memikirkan sepakbola. Saat itu Buffon hendak berbicara tentang bonus yang akan diterima para pemain Juventus karena keberhasilan mereka sepanjang musim. Conte sangat murka mendengar omongan soal bonus sebelum pertandingan. Conte murka dan berkata: "Aku tak sudi mendengar kalimat (yang tak ada urusannya dengan sepakbola). Bonus?"

Dengan kalimat itu, Conte sekali lagi menegaskan hentikan semua omong kosong yang tak ada urusannya dengan sepakbola. Selesaikan dulu pertandingan, hajar dulu lawan-lawan kau, baru kau bisa bicara yang lain.

Apa hasilnya? Juventus memenangkan pertandingan terakhir musim 2013-2014, di laga terakhir Conte menukangi Juventus, dengan skor 3-0. Hasil itu membuat Juventus meraih rekor baru untuk poin terbanyak dan kemenangan terbanyak dalam satu musim.

Andrea Pirlo, maestro lini tengah Juventus di era Conte, dengan nada yang begitu plastis mengibaratkan Conte sebagai ular berbisa. Katanya: "Untuk menaklukkan saya dan Juventus, Conte hanya membutuhkan satu pidato dengan kata-kata yang sederhana. Seperti ada api yang menjalar di pembuluh darahnya dan (itulah sebabnya) ia bergerak seperti ular berbisa."

Intensitas itu pula yang sudah terlihat bahkan walau Conte belum menukangi Chelsea. Bahkan kendati masa tugasnya di Chelsea baru akan dimulai setelah Euro 2016, Conte sudah memberi peringatan kepada para pemain Chelsea. Dengan kalimat yang sangat intens, Conte berkata: "Tidak ada tempat bagi pemain yang berprilaku buruk. Mereka harus menaruh respek penuh kepada saya, barulah saya akan memberikan hal yang sama."

Jika ingin sering-sering menikmati tepukan di pundak untuk mendapatkan suntikan semangat, mungkin Eden Hazard atau Oscar layak mempertimbangkan hijrah dari Chelsea. Conte akan menjadi seorang yang tak henti-hentinya menuntut komitmen dan kerja keras, tak ada waktu untuk hal-hal yang tak perlu.

Banyak orang menganggap kejeniusan Conte meracik taktik kian mendekati level yang dimiliki Pep Guardiola. Keduanya memang sangat terobsesi dengan taktik. Bedanya dengan Pep, barangkali, Conte berlatar belakang Italia dan dari sanalah perbedaannya terlihat: bagi Conte, taktik sangatlah penting, tapi taktik hanyalah metode, yang bisa diutak-atik terus menerus, diubah-ubah sesuai situasi di lapangan dan siapa lawan, sebab yang penting adalah hasil akhir.

Conte, sebagaimana kebanyakan Italiano, memang terobsesi dengan taktik. Tapi obsesi itu tak berarti menjadikannya mendewa-dewakan taktik. Sekali lagi, taktik itu harus dipikirkan terus-menerus, dengan amat sangat serius, bukan karena taktik itu sendiri, melainkan karena taktik itulah yang akan menjadi jalan untuk memenangkan pertandingan.

Dalam nalar Italiano, dan Conte menjadi contoh mutakhirnya, tidak ada taktik yang dengan sendirinya lebih unggul atau lebih hebat dari taktik yang lain. Taktik hanya akan unggul dari taktik yang lain hanya ketika berhasil mendatangkan kemenangan. Lain tidak.

Jadi umpama Conte tak menggunakan 3-5-2 kala menukangi Chelsea nanti, jangan pernah menganggapnya tak setia. Bukan seperti itu makna "kesetiaan" di kepala Conte, lebih karena kesetiaan kepada taktik adalah nonsense belaka.

Sebab taktik tak pernah berdiri sendiri, sebab taktik tidak memiliki definisi dalam dirinya sendiri. Taktik selalu merupakan hasil kawin silang antara kekuatan dan kelemahan diri sendiri dengan kekuatan dan kelemahan lawan. Taktik adalah dialektika tanpa henti -- dan baru berhenti ketika wasit meniup pluit akhir.

Tidak heran jika Conte sangat tak bisa memaklumi kekalahan, bahkan walau sudah bermain bagus sekali pun. Conte bukan orang yang akan mengamini pandangan menang atau kalah sebagai dinamika sepakbola, sebagaimana gagal atau sukses sebagai dinamika kehidupan. Pandangan semacam itu dapat mencanggih-canggiihkan kekalahan, membuatnya jadi syahdu, dan akhirnya membuat kekalahan yang paling tragis pun bisa diterima dan dapat tertanggungkan -- sebagaimana orang Belanda menepuk dada saat kalah dari Jerman Barat di final Piala Dunia 1974 karena merasa bermain lebih baik sekaligus lebih indah.

Conte adalah anak kandung yang sah kebudayaan sepakbola Italia yang tak merasa perlu mempertimbangkan urusan hati. Main bola harus dengan otak, karena hati dianggap bisa melemahkan mental melalui ujaran semacam: yang penting bermain sebaik-baiknya, sesungguh-sungguhnya. Itu semua nonsense!

Bagi Conte, setiap pertandingan adalah pertaruhan hidup mati, bukan sekadar gagal atau sukses. Tidak ada pilihan selain menggunakan seluruh cara, memaksimalkan segenap potensi, dan mengerahkan semua-mua kemampuan agar dapat bertahan hidup. Tak penting pendapat atau pandangan orang lain, karena primus inter pares segala hal dalam sepakbola adalah: kemenangan. Tanpa kemenangan, anda hanya seorang pecundang.

Alam pikir macam itulah yang melahirkan cattenacio, langgam permainan yang paling sadar hasil akhir dalam sejarah taktik sepakbola. Tapi tak hanya melahirkan cattenacio, melainkan juga kebiasaan "buruk" sepakbola Italia yang sangat gampangan memecat pelatih. Serie-A selalu yang paling rajin memecat pelatih. Seorang pelatih bisa dipecat hanya karena dua atau tiga hasil buruk.

Di luar lapangan, suporter Italia terkenal begitu sengit kepada pecundang. Mereka bisa sangat kejam mencela dan meneror pemain sendiri yang dianggap buruk karena tak pernah mempersembahkan kemenangan. Memboikot tim sendiri bukan hal yang aneh di Italia.

Gianluca Vialli, dalam buku The Italian Job, pernah meledek para suporter Inggris yang tetap memberikan tepuk tangan walau tendangan melenceng sangat jauh dari sasaran. Kata Vialli, hal seperti itu bukan cara Italia. Hal jamak di Italia jika pemain menerima tatapan tak senang jika nekat menendang bola ke arah gawang saat ada rekannya dalam posisi lebih baik. Jangan harap juga mendapat aplause dari suporter.

Conte sangat tahu hal itu. Ia memang sedang merasakan puja-puji karena rencana taktikalnya berjalan dengan begitu ciamik kala menumbangkan Spanyol. Namun kemenangan itu tak berarti apa-apa karena Italia belum memenangkan peperangan. Menang 2-0 atas Spanyol hanyalah satu dari sekian sesi pertempuran belaka. Memenangkan peperangan berarti membawa pulang trofi juara. Tanpa trofi, ia tak lebih baik dari Prandelli yang dipecundangi del Bosque di final Euro 2012 dengan skor telak 4-0.

Ia juga tak sudi menjadi seperti Ferruccio Valcareggi, pelatih Italia di Piala Dunia 1970. Valcareggi berhasil memimpin Italia mengalahkan Jerman (Barat) di semifinal dengan skor 4-3 lewat pertandingan yang luar biasa seru, indah, menegangkan dan dramatis. Laga yang disebut-sebut sebagai “Game of the Century” itu toh tak serta merta membuat Valcareggi sebagai pemenang karena Italia akhirnya dipecundangi Brasil di partai final dengan skor memalukan, 1-4.

Italia bukan hanya harus mengalahkan Jerman, namun juga mesti menjadi juara Euro 2016. Tidak ada opsi selain menjadi juara jika Conte ingin menjadi pemenang. Di luar itu, yang ada hanyalah: nonsense.

Karena taktik itu fana, kemenangan itu abadi!

  • Versi pendek esai ini tayang di Jawa Pos edisi 2 Juli 2016.

Komentar