Juli 1966, Mengenang Piala Dunia 1966 Inggris Secara Dekonstruktif

Cerita

by Redaksi 33

Redaksi 33

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Juli 1966, Mengenang Piala Dunia 1966 Inggris Secara Dekonstruktif

Tulisan Simon Burnton di The Guardian yang berjudul Why Not Everyone Remembers the 1966 World Cup As Fondly As England menggelitik batin penulis terutama jika kita mau melemparkan ingatan kepada Piala Dunia 1966 yang diselenggarakan di Inggris.

Fakta umum dari ajang tersebut cukuplah jelas. Inggris menjuarai Piala Dunia 1966 setelah mengalahkan Jerman Barat dengan skor 4-2. Geoff Hurst menjadi bintang dengan mencetak hattrick yang membawa Inggris meraih trofi yang pertama dan satu-satunya mereka raih selama penyelenggaraan Piala Dunia. Maka, wajarlah kalau masyarakat Inggris, seperti yang diujarkan dalam judul tulisan Simon Burnton, begitu mengingat Piala Dunia 1966 dengan penuh kebahagiaan.

Namun, sebagaimana sebuah paham dalam dunia susastra bahwa selalu ada dua sisi di balik sebuah cerita, yang kemudian dikenal dengan nama dekonstruksi, usaha untuk membongkar fakta-fakta lain yang ada dalam narasi besar, untuk kemudian mendekonstruksinya dan mencipta sebuah narasi baru sebuah peristiwa, maka orang-orang pun berduyun-duyun untuk mencari fakta di balik sebuah narasi besar; Inggris juara dunia 1966. Terutama orang-orang Uruguay, Argentina, Jerman Barat, dan Brasil.

Pertama, mari kita dedah narasi lain apa yang coba untuk dibongkar oleh Brasil. Seleccao datang ke Piala Dunia 1966 sebagai unggulan, setelah mampu menjuarai Piala Dunia 1958 dan 1962. Bintang mereka adalah Pele, yang dikenal sebagai salah satu pesepakbola terbaik pada zaman itu. Namun, yang terjadi di Inggris pada Juli 1966, mungkin akan dianggap berbeda oleh orang Brasil.

Narasi besar Brasil dalam ajang Piala Dunia 1966 adalah mereka gagal lolos dari fase grup karena gagal bersaing dengan Portugal dan Hungaria. Namun, orang-orang Brasil coba untuk mendekonstruksi narasi besar tersebut dengan mencari sisi lain kenapa Brasil gagal. Akhirnya, ditemukanlah sebuah fakta lain bahwa, Brasil dicurangi secara habis-habisan oleh wasit. Maka, jika orang Inggris mengingat Piala Dunia 1966 dengan kesenangan, orang Brasil mengingat Piala Dunia 1966 dengan rasa takut dan kegeraman.



Kedua, mari kita dedah narasi lain apa yang akan coba dibongkar oleh dua negara Amerika Latin yang lain, yaitu Argentina dan Uruguay. Jika mengacu kepada narasi besar, maka disebutkan bahwa Uruguay kalah oleh Jerman Barat dan Argentina kalah oleh tuan rumah Inggris. Keduanya kalah dalam babak yang sama, yaitu babak delapan besar alias perempat final. Alhasil keduanya gagal lolos ke semifinal.

Itu versi dari narasi besar. Orang Argentina dan Uruguay memiliki narasi versi lain yang mereka miliki hasil dari proses dekonstruksi yang mereka lakukan. Orang Uruguay akan menganggap bahwa Piala Dunia 1966 ini penuh dengan kecurangan, setelah dua pemain mereka, kapten Horacio Troche dan Hector Silva, diusir keluar lapangan karena dinilai melakukan tekel keras terhadap pemain Jerman Barat.

Uruguay kalah 0-4. Orang Uruguay pun marah-marah. Mereka menganggap orang-orang Jerman telah mencuri pertandingan dari mereka. "Wasit adalah pencuri pertandingan", "Orang Jerman telah mencuri pertandingan dari kami,". Begitulah kira-kira pesan yang disebarkan oleh para suporter Uruguay.

Lain Uruguay, lain Argentina. Mereka harus menghadapi tuan rumah Inggris dalam babak delapan besar. Hampir serupa dengan Uruguay, Argentina pun memiliki narasi mereka sendiri hasil dari proses dekonstruksi yang mereka lakukan. Kejadian bermula ketika sang kapten, Antonio Rattin, dikeluarkan dari lapangan karena dinilai mengintimidasi wasit. Rattin tidak mau keluar, sampai akhirnya dua orang polisi menarik dirinya keluar.

Yang menjadi semakin menarik, wasit yang memimpin pertandingan Inggris dan Argentina itu adalah Rudolf Kreitlein, asal Jerman Barat. Maka, bertemulah narasi Uruguay dan Argentina menjadi, "Dua tim Amerika Selatan berhasil dipulangkan oleh Jerman". Bahkan, Rattin masih mengingat kejadian itu sampai sekarang.

"Semoga ia (Kreitlein) tidak diizinkan memimpin pertandingan sepakbola di surga," selorohnya. Kejadian inilah yang menjadi awal mula permusuhan kental Inggris dan Argentina.



Ketiga, sekaligus penutup, mari melihat hasil narasi yang didedah oleh Jerman Barat. Menurut narasi besar Piala Dunia 1966, Jerman Barat kalah oleh Inggris 2-4 dalam pertandingan final di Wembley. Jika Inggris mengenang narasi besar itu sebagai sebuah sejarah football is coming home, Jerman Barat malah melakukan proses dekonstruksi terhadap narasi tersebut, mengeluarkan sebuah istilah narasi baru yang bernama "Wembley Tor".

Singkat cerita, ketika itu kedudukan 2-2. Kisaran babak perpanjangan waktu, menit ke-98, Inggris melakukan serangan. Geoff Hurst yang tidak terkawal melepaskan tembakan ke gawang Jerman Barat. Bola membentur mistar, memantul ke bawah, dan terjadilah peristiwa itu. Hakim garis mengesahkan gol Geoff Hurst, kedudukan berbalik 2-3, dan akhirnya Jerman Barat menjadi bermain ogah-ogahan sehingga Hurst berhasil menambah skor menjadi 2-4.

Jerman Barat, seperti yang sudah disebutkan di atas, mengenang narasi 1966 dengan judul "Wembley Tor".



***

Hasil dari narasi besar Piala Dunia 1966 menimbulkan sebuah permusuhan internasional antarnegara, yang bahkan berlangsung sampai berabad-abad lamanya. Inggris dan Argentina adalah contohnya. Rivalitas mereka terus berlanjut sampai 1986, 1998, dan 2002. Belum lagi negara lain seperti Jerman, yang sekarang orang-orang Inggris begitu takut kepada mereka jikalau harus bertemu dalam ajang-ajang besar.

Semua negara punya narasi sendiri-sendiri, hasil dari dekonstruksi yang dibumbui dengan sebuah sudut pandang. Maka, tak heran Patrick Fairweather, staf Duta Besar Inggris di Roma, sampai menyebutkan sebuah hal yang menarik perihal Piala Dunia 1966.

"Piala Dunia 1966 di Inggris telah mengajarkan kepada seluruh dunia, bahwa untuk menghancurkan hubungan internasional dengan negara lain bisa dilakukan lewat sebuah pesta sepakbola yang besar."

Foto: Wikimedia

Komentar