Masalah Mentalitas yang Mengganjal AS Roma

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Masalah Mentalitas yang Mengganjal AS Roma

AS Roma memang spektakuler dan menarik perhatian dalam beberapa musim terakhir, tapi mentalitas yang mereka punya belum terlihat efektif sejauh ini untuk meraih gelar Serie-A yang biasa disebut Scudetto. Begitu pun pada musim ini. Ujian sudah dialami Roma secara bertubi-tubi.

Cedera ACL menerpa Antonio Rudiger, Mario Rui (yang disiapkan sebagai pengganti Lucas Digne) menderita hal yang sama seperti Rudiger, Roma juga ditinggalkan Miralem Pjanic yang sudah membela Roma selama lima musim. Pada awal musim ini, Roma sudah kehilangan hampir seluruh elemen pentingnya.

Soal Pjanic, rasa kehilangan kepadanya begitu terasa ketika dikalahkan Fiorentina; setelah tendangan Milan Badelj yang lemah dan lambat tapi tidak bisa diantisipasi Wojciech Szczesny. Gol semata wayang itu mengakhiri 21 pertandingan Roma tanpa kekalahan di Serie-A. Usai laga, Kevin Strootman menjelaskan rasa kehilangan Pjanic itu. Ia mengeluhkan jika skuatnya banyak kehilangan bola di lini tengah ketika menghadapi Fiorentina.

Kehilangan Pjanic masih menjadi masalah yang paling kentara sejauh ini. Sekarang masih belum ada gelandang yang bisa mengangkat permainan Roma seterampil Pjanic. Luciano Spalletti, Pelatih Roma, belum berhasil menyiapkan playmaker alternatif untuk skuatnya. Dan ketiadaan itu menjadi ketergantungan serta kelemahan yang mencolok di skuat besutannya saat ini. Seharusnya, ketidakmampuan Roma mempertahankan Pjanic harus sebanding dengan minimal menemukan penggantinya, sebab kepergian Pjanic adalah kegagalan terbesar transfer Roma pada bursa musim panas lalu.

Tapi transfer musim panas sudah lewat dan Roma memiliki bumerang lain yaitu soal stabilitas dan lagi-lagi tentang mental. Kekalahan Roma dari Fiorentina langsung dibayar dengan membantai Crotone empat gol tanpa balas pada partai berikutnya. Walaupun begitu, perlu diingat bahwa Roma adalah kebelasan yang menunjukan siklus kerja yang tidak stabil; terkadang Roma memberikan kemenangan yang menakjubkan, kemudian kinerjanya justru merosot. Setelah menang besar atas Crotone, kemudian Roma dikalahkan Torino dengan skor 3-1, Minggu (25/9). Jauh sebelum itu, Roma disingkirkan Porto dari play-off Liga Champions 2016/2017 setelah menang besar atas Udinese dengan skor 4-0.

Kritik pun mulai didapatkan Spalletti. Hal paling disorot adalah kepastian pemain utama di lini belakang dan lini depan karena Spalletti masih belum menemukan kompisisi pemain yang pas untuk dua lini tersebut. Awal kritik muncul ketika masih belum menemukan solusi yang pas untuk menemani Kostas Manolas di lini belakang. Baik Federico Fazio dan Juan Jesus dianggap masih belum padu dengan Manolas. Juan Jesus pun tidak menjawab ekspektasi ketika dijadikan full-back kiri. Pos bek kiri sendiri didapatkannya ketika Emerson Palmieri bertindak semberono sehingga mendapatkan kartu merah ketika menghadapi Porto.

Sementara Spalletti dibuat dilematis untuk lini depannya. Ketika ia masih mengandalkan penyerang palsu dari trio Diego Perotti, Mohamed Salah dan Stephan El-Shaarawy, Spalletti dibingungkan dengan kecemerlangan kombinasi Edin Dzeko dan Francesco Totti. Situasi Roma saat ini diibaratkan seperti bocah laki-laki berusia 15 tahun yang sedang mendekati seorang gadis. Ada psikologis yang belum matang di jati diri tersebut. Atau Roma tidak jauh seperti mesin setengah jalan.

Seharusnya Roma menjadi terbaik di tahap yang baru, bukan berada di tahap awal lagi. Spalletti punya banyak masalah yang harus diatasi, tapi tidak harus diperbaiki. Sebab ia punya metodenya sendiri, memiliki kompetensi taktis yang diperlukan untuk membenahi skuatnya secara efektif. Apalagi dengan skuat yang memiliki bakat yang mencukupi untuk menantang kesebelasan lainnya. Selanjutnya, harapan skuat ini tinggal melindungi para pemainnya dari cedera.

Jika Roma dapat menemukan stabilitas mental dan karakter permainan yang solid sampai Januari, mungkin menjuarai Liga Eropa bisa menjadi target yang realistis. Perjalanan mereka yang inkonsisten di Serie-A sejauh ini sangat diragukan. Itu pun dengan catatan jika Walter Sabatini tidak merusak semuanya seperti yang dilakukannya pada bursa transfer musim dingin 2015.

Harapan bagi Roma selalu ada setiap musimnya, tak terkecuali musim ini. Tapi jika Roma terjungkal kembali setelah kemenangan besar, mereka bisa semakin putus asa menjadi tim yang sangat berbahaya dalam persaingan merebut Scudetto. Menjadi penting bagi Spaletti untuk menjaga mentalitas para pemainnya tersebut.

Sumber: ESPN FC, Football-Italia.

Komentar