Mengapa Leicester City Lebih Superior di Liga Champions Ketimbang Liga Inggris?

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Mengapa Leicester City Lebih Superior di Liga Champions Ketimbang Liga Inggris?

Ada sedikit kesamaan antara situasi Leicester City musim ini dengan Juventus musim lalu, yaitu keduanya berstatus juara bertahan dan melempem di liga domestik awal musim, namun berjaya di Liga Champions. Dari delapan pertandingan Liga Primer Inggris 2016/2017, Leicester cuma meraih dua kemenangan, dua seri, dan empat kekalahan. Leicester pun berada di luar peringkat 10 besar. Begitu pun Juventus cuma meraih dua kemenangan, tiga kekalahan, dan tiga kali imbang. Area Juventus di klasmen Serie-A 2015/2016 pun sama dengan Leicester.

Kendati demikian, kedua kesebelasan itu berjaya di Liga Champions. Kala itu Juventus tidak terkalahkan selama tiga pertandingan Liga Champions 2015/2016 atas satu kali kemenangan dan dua kali imbang. Kali ini Leicester pun tidak terkalahkan di tiga laga ajang yang sama. Bahkan kesebelasan berjuluk The Foxes (Si Rubah) itu pun lebih dahsyat ketimbang Juventus. Mereka memenangkan tiga pertandingan fase grup dan belum pernah kebobolan.

Rentetan itu memunculkan pertanyaan besar, mengapa Leicester begitu melempem di delapan awal pertandingan Liga Premier Inggris 2016/2017? Tapi mereka justru tampil superior di kompetisi terbesar antara kesebelasan Eropa? Salah satu jawabannya adalah taktik Leicester yang sudah terbaca kesebelasan-kesebelasan Liga Primer Inggris. Salah satu yang bisa tergambarkan adalah ketika dikalahkan Manchester United dengan skor 4-1 pada 24 September lalu. Padahal, di Liga Champions mereka berhasil menang di kandang Club Brugge dengan skor 3-0.

Salah satu faktor yang berhasil mengalahkan Brugge yaitu karena permainan yang masih mengandalkan pertahanan kokoh, kemudian melancarkan serangan balik melalui lini sayapnya. Brugge tidak bertemu intens dengan kesebelasan besutan Claudio Ranieri tersebut. Sementara United sudah hafal dengan permainan Leicester karena sering bertemu. Apalagi gaya permainan Leicester pada musim ini tidak terlalu banyak berubah seperti musim lalu.

Perubahan permainan Leicester terjadi ketika serangan sudah masuk ke sepertiga akhir lawan. Sementara ketika awal serangan, mereka masih mengandalkan kecepatan pemain sayapnya. Setelah masuk ke sepertiga akhir lawan, musim ini Leicester lebih cenderung mengirimkan umpan silang lambung ke kotak penalti lawan. Hal itu dilakukan karena keberadaan Islam Slimani di sana. Ranieri ingin memanfaatkan kemampuan Slimani dalam duel udara. Dua golnya di Liga Primer Inggris 2016/2017 pun melalui proses duel udara.

Tapi keberadaan Slimani belum cocok jika diduetkan dengan Jamie Vardy. Sebab tipikal kedua penyerang itu hampir sama yang bertipikal target man. Hanya saja Vardy tidak memiliki duel udara yang lebih efektif ketimbang Slimani pada musim ini. Maka dari itu Vardy jarang diduetkan dengan Leonardo Ulloa yang unggul duel udara. Vardy lebih sering dimainkan dengan Shinji Okazaki yang mampu melayani Vardy. Sementara dengan cederanya Okazaki pada musim ini, membuat Vardy menjadi pelayan bagi Slimani sehingga produktivitas golnya berkurang.

Vardy pun baru mencetak dua gol dari delapan penampilannnya. Maka dari itu saat ini Ranieri mencoba mengupayakan Ahmed Musa sebagai pelayan Vardy, hanya saja mereka masih belum padu. Faktor lainnya, tentu saja terus berulang membahas pengganti N`Golo Kante yang tepat. Sejak Kante hijrah ke Chelsea, Leicester mendatangkan Namplays Mendy dari OGC Nice. Tapi Mendy justru baru bermain satu kali karena cedera. Alhasil, Daniel Amartey diplot sebagai penggantinya di sektor gelandang bertahan.

Tentu kemerosotan Leicester menjadi mengganggu statusnya sebagai juara bertahan. Dilematis Ranieri pun bertambah seiring dengan tampilnya kesebelasan tersebut di Liga Champions. Dan semakin dilematis lagi ketika harus menghadapi kesebelasan besar Liga Inggris sebelum menghadapi Liga Champions pada laga berikutnya. Permasalahan ini baru-baru saja terjadi. Akhir pekan lalu Leicester harus menghadapi Chelsea. Pertandingan itu digelar tiga hari sebelum melawan FC Copenhagen di Liga Champions.

Ketika menghadapi Chelsea, ia menyimpan Riyad Mahrez di bangku cadangan. Sebagai gantinya, Jeffrey Schlupp menggantikan Mahrez di posisi sayap kanan. Mahrez sendiri baru dimainkan bersamaan ketika laga sudah berjalan 67 menit. Masuknya Mahrez pun ketika kedudukan sudah tertinggal 2-0 dan hingga akhirnya laga berakhir dengan kekalahan 3-0.

Ranieri nampak ingin menyimpan tenaga Mahrez pada laga tersebut. Sebab kedua pemain itu dimainkan sejak menit awal ketika melawan Copenhagen. Alhasil, Leicester pun menang dengan skor 1-0 atas gol yang dicetak Mahrez hasil umpan dari Slijmani pada menit 40.Tapi hasil kemenangan-kemenangan di Liga Champions seperti ketakutan yang menjadi kenyataan, yaitu menjadi bumerang bagi Leicester sendiri. Konsentrasi dan stamina Wes Morgan dkk terpecah belah dalam kompetisi domestik dan Eropa.

Komentar