Ketika Indonesia Menunjukkan Mental Juara

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Ketika Indonesia Menunjukkan Mental Juara

Artikel #AyoIndonesia kiriman Agung Pramudita

Berbicara tentang kenangan berarti berbicara tentang masa lalu. Bukan semua peristiwa di masa lalu tapi hanya peristiwa yang berkesan saja.

Lalu kalau ditanya kenangan apa yang paling berkesan tentang tim nasional Indonesia yang prestasinya masih tidak begitu menonjol ini, jawaban saya adalah saat Indonesia menunjukkan mental juara dengan mengalahkan Malaysia di Malaysia pada second leg semi final Piala Tiger tahun 2004. Saat itu Indonesia mampu menang 4-1 sekaligus berhasil membalikkan keadaan secara agregat dari Malaysia. Sesuatu yang sangat jarang terjadi pada timnas negara kita ini.

Sekedar mengingatkan bahwa Piala AFF dulunya bernama Piala Tiger. Pada Piala Tiger edisi kelima atau pada tahun 2004 itu di penyisihan grup, Indonesia keluar sebagai juara grup A yang dihelat di Vietnam. Sementara Malaysia menjadi runner up grup B yang mana Malaysia bertindak sebagai tuan rumah. Piala Tiger tahun 2004 itu adalah pertama kalinya fase semi final dan final menggunakan sistem home-away. Terobosan ini diterapkan oleh AFF untuk meningkatkan mutu turnamen sekaligus mengundang lebih banyak penonton ke stadion.

Pemain yang menonjol dari Indonesia saat itu diantaranya adalah kiper Hendro Kartiko. Bek tengah Charis Yulianto. Ponaryo Astaman dan Syamsul Bachri Chaerudin pada sektor gelandang. Striker Ilham Jayakesuma, super star Kurniawan Dwi Yulianto dan tak lupa wonderkid Boaz Solossa. Semua sektor diisi oleh nama-nama terbaik.

Posisi pelatih diisi oleh pria Inggris kelahiran 30 Oktober 1951 di kota Liverpool, Peter Withe. Peter Withe adalah mantan pemain sekaligus pencetak gol tunggal kemenangan Aston Villa atas Bayern Muenchen pada final Piala Champions musim 1981/1982. Sebelum melatih Indonesia, ia mengantarkan Thailand meraih juara Piala Tiger tahun 2000 dan 2002. Pada masa kepelatihannya inilah pertama kalinya timnas memakai formasi 4-4-2. Skema empat bek setelah sebelumnya timnas dan klub-klub kita selalu identik dengan skema tiga bek. Seusai gelaran Piala Tiger 2004, semua klub di Indonesia ramai-ramai menggunakan formasi empat bek. Kebijakan dari Peter Withe rupanya membawa tren baru.

First leg semi final berlangsung pada 28 Desember 2004 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Para pemain dari kedua tim menggunakan ban hitam di lengan dan sebelum pertandingan dimulai, semua pemain dari kedua kesebelasan mengheningkan cipta. Ban hitam dan mengheningkan cipta ini sebagai bentuk ekspresi duka cita atas terjadinya tsunami besar yang mengakibatkan ribuan korban jiwa di Indonesia dan Malaysia dua hari sebelumnya.

Di partai pertama ini, skuad asuhan Peter Withe kalah 1-2. Gol Indonesia dicetak oleh Kurniawan Dwi Yulianto pada menit ke-6. Anak asuh pelatih asal Hungaria, Bertalan Bicskei secara mengejutkan membalas melalui dua gol yang disarangkan oleh Liew Kit Kong pada menit 28 dan 47. Sebuah kekalahan yang mengejutkan bagi Indonesia. Mengingat pada penyisihan grup Indonesia tak pernah kalah dan tak pernah kemasukan. Terasa menyakitkan juga karena kalah dari rival abadi.

Kekalahan tim garuda saat itu dianggap mustahil untuk dibalas. Sebab mayoritas orang berpikir bahwa kecil kemungkinan Kurniawan dkk dapat menang di kandang lawan. Kalau mengacu sejarah pun memang jarang Indonesia mampu menang di kandang lawan apalagi dalam sebuah turnamen. Warisan mental inferior juga masih sangat kuat. Jadi kalau mulai banyak yang tak yakin Indonesia bakal melaju ke final itu tentu saja sebuah pendapat yang sangat masuk akal.

Pertandingan kedua berlangsung tanggal 3 Januari 2005 di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur. Indonesia kali ini kemasukan lebih dulu lewat aksi Khalid Jamlus pada menit ke 27. Gol dari Khalid Jamlus ini membuat pesismisme pendukung Indonesia menjadi semakin besar. Sebaliknya anak asuh Bertalan Bicskei berada di atas angin. Rasanya pertandingan seperti sudah selesai. Banyak yang menganggap kecil kemungkinan untuk menyamakan apalagi membalikkan keadaan setelah tertinggal 3-1 secara agregat dan waktu yang tersisa kurang dari 90 menit. Terlebih lagi Malaysia terus menerus mengancam gawang Hendro Kartiko dan serangan balasan dari Indonesia ke Malaysia sangat minim.

Tapi Peter Withe tidak menyerah. Pelatih asal Inggris ini memasukkan Kurniawan pada menit ke-55 untuk menggantikan Ismed Sofyan. Pergantian pemain tersebut membuat Indonesia bermain dengan tiga penyerang. Skema trisula ini diisi oleh Boaz Solossa, Ilham Jayakesuma dan Kurniawan Dwi Yulianto. Ketakutan pelatih Malaysia terbukti. Selang empat menit sejak masuk ke lapangan, si kurus benar-benar menjadi mimpi buruk bagi pertahanan harimau Malaya. Ia berhasil mencetak gol setelah memanfaatkan umpan lambung langsung dari lini belakang. Skor menjadi 1-1 dan pertandingan menjadi kembali menarik.

Gol dari si kurus ternyata menjadi awal kebangkitan permainan Indonesia. Momentum terus dipertahankan oleh anak asuh Peter Withe. Tim merah putih terus menerus mengancam gawang tim kuning hitam. Setelah gol dari Kurniawan, memanfaatkan sepak pojok dari Boaz Solossa, Charis Yulianto mencetak gol melalui sundulan pada menit ke-75. Gol- gol berlanjut dari sontekan Ilham pada menit ke-77 dan gol terakhir dari Boaz pada menit ke-84. Kiper Malaysia, Syamsuri Mustafa harus empat kali memungut bola dari gawangnya. Skor akhir tuan rumah kalah 1-4 dari tim tamu. Secara agregat Indonesia unggul 5-3 atas Malaysia.

Bagi saya, ini adalah pertandingan terbaik yang pernah dijalani oleh timnas Indonesia. Sebuah kenangan yang sangat indah dan masih sulit untuk diulang kembali. Walau akhirnya di partai final Indonesia kalah dari Singapura, tetapi second leg semi final Piala Tiger tahun 2004 tetaplah pertandingan yang mengesankan. Sebab tim garuda ini berhasil membalikkan keadaan dari salah satu musuh bebuyutan. Menjadi lebih ramai untuk dibahas karena pada pertandingan ini suporter Indonesia sempat bentrok dengan suporter Malaysia. Sebuah bentrok antara para pekerja dengan para majikannya dan tentu saja kemenangan Indonesia saat itu menjadi sedikit hiburan bagi para TKI di Malaysia. Setidaknya para TKI tidak merasa rendah diri ketika berhadapan dengan majikannya.

Di sisi lain, pertandingan ini sudah menunjukkan sendiri kepada saya bahwa timnas Indonesia juga punya mental juara. Mereka mampu membalikkan keadaan seperti halnya yang dilakukan oleh tim-tim besar dari benua Eropa dan kawasan Amerika Latin. Kemenangan Indonesia ini juga bukti bahwa memang tidak ada yang pasti dalam pertandingan sepak bola. Segala macam perubahan situasi dan kondisi sangat dapat terjadi dalam waktu yang begitu singkat. Semua keadaan masih dapat berubah sebelum wasit membunyikan peluit akhir. Atau kalau mau meminjam slogan Adidas, impossible is nothing.

Penulis merupakan Milanisti dan Bonek yang beredar di dunia maya dengan akun Twitter @Agung_P_1989. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

Komentar