Indonesia dan Linimasa Para Juara di Tengah Prahara

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Indonesia dan Linimasa Para Juara di Tengah Prahara

Artikel #AyoIndonesia karya Anwar Saragih

Sejak memasuki Desember 2016, linimasa media sosial dimulai dari Twitter, Facebook, Path, Whatsapp hingga Instagram, dipenuhi perdebatan panas. Saling unfollow, remove friends, un-share, leave grup hingga block media sosial seolah menjadi hal yang biasa terjadi. Betapa tidak heboh pendukung aksi bela islam jilid III atau lebih di kenal dengan istilah Aksi 212 dan pendukung Aksi Parade Bhinneka Tunggal Ika atau yang kemudian di sebut-sebut sebagai Aksi 412 memasuki perdebatan panas yang mulai tidak substansi dibahas pada media sosial.

Mulai dari isu penistaaan agama, isu makar pada Konstitusi dan tindakan intoleransi pembubaran Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) 6 desember 2016 di Bandung membuat kondisi politik Indonesia menjadi sangat gaduh, terpecah dan penuh kecemasan. Bangsa ini seperti mendapat ujian ke-Indonesia-an yang sangat berat. 71 tahun Indonesia merdeka seolah tanpa arti dalam menyikapi sebuah permasalahan kebhinnekaan. Kata saya-Anda dan kami-kalian menjadi kata yang selalu terselip dalam sebuah postingan di media sosial. Kata “kita” seolah menjadi barang mewah yang terpampang etalase-etalase yang tidak dapat di jangkau semua orang. Sumbu pendek, emosi gampang disulut dan rasa benci yang bukan seolah menjadi tradisi.

Tapi, ada yang berubah pada malam itu, 7 Desember 2016. sepakbola menyatukan kita semua. Lolosnya tim nasional Indonesia ke final AFF tahun 2016 ini setelah menyingkirkan Vietnam dengan Skor 2-2 (Agregat 4-3) menguatkan kembali ke-Indonesia-an kita. Betapa tidak, lolosnya Indonesia ke final AFF 2016 terbilang sangat dramatis. Indonesia yang berhasil menang di perpanjang waktu nyaris dipermalukan 10 pemain Vietnam.

Pasca lolosnya Indonesia ke Final AFF 2016, suasana beranda media sosial malam itu dipenuhi rasa haru, kata “Indonesia Raya” berkumandang di seluruh pelosok negeri. Prahara dalam negeri seolah tak pernah ada, sepakbola menyatukan kita. Apalagi kelolosan Indonesia ke final Piala AFF tahun ini dengan perjuangan yang berat. Harus menyerah 2-4 melawan Thailand, Imbang 2-2 melawan Filipina dan menang 2-1 melawan Singapura di fase grup membuat Indonesia mampu lolos dengan peringkat Runner up sampai akhirnya bertemu Vietnam di babak semifinal. Total dua kali kemenangan, dua kali imbang dan dua kali kalah mengiringi perjalanan Timnas Indonesia sampai sejauh ini.

Negara yang Juara di Tengah Prahara

Sejarah sepakbola mencatat tak selamanya juara turnamen lahir dari kondisi politik yang aman, tentram dan damai. Selalu ada tantangan untuk sebuah prestasi. Kondisi politik baik dalam negeri, federasi sepakbola tidak stabil hingga turnamen yang dihadapi sebuah negara pada kondisi perang.

Jerman pernah melakukannya, di tengah pertikaian dalam negeri yang berlangsung selama 45 tahun, sejak berakhirnya perang dunia II yang memecah Jerman menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur kemudian diperkeruh dengan dibangunnya Tembok Berlin pada 1961. Membuat situasi politik Jerman menjadi sangat kacau. Permasalahan etnis Aria dan Yahudi, Kapitalis dan Komunis, Mayoritas dan Minoritas menjadi permasalahan panjang yang sulit terselesaikan. Rekonsiliasi demi rekonsiliasi kebangsaan terus dilakukan dengan upaya bersatunya Jerman terus diupayakan bukan tanpa tekanan.

Pada kondisi itu, Jerman Barat yang saat itu di latih Franz Beckenbauer datang ke Piala Dunia 1990 Italia mampu berprestasi setelah berhasil mengalahkan Argentina dengan skor 1-0 yang menjadi Favorit juara turnamen. Lebih lanjut, hanya berselang tiga bulan pasca Jerman juara dunia pada tanggal 3 Oktober 1990 diumumkan bersatunya Jerman. Artinya tidak ada lagi Jerman Barat atau Jerman Timur, keduanya bersatu dalam sebuah negara bernama Jerman. Sejak itu pula tembok pemisah dihancurkan, permasalahan mayoritas dan minoritas tak pernah terdengar hingga hari-hari ini.

Kemudian di Spanyol, pasca perang saudara 17 Juli 1936 hingga 1 April 1939 yang melibatkan kelompok Nasionalis yang di pimpin Jendral Franco melawan kaum Loyalis yang dipimpin oleh Presiden Manuel Azaña. Permasalahan dalam negeri antara Catalan, Basque, Andalusia dan Castillan (Madrid) tak juga menemukan titik temu hingga hari ini. Gerakan separatis baik dari Catalan, Andalusia dan Basque yang ingin memisahkan diri dari Spanyol terus menerus terjadi. Hal ini kemudian berdampak pada panasnya pertandingan di Liga Spanyol. Khususnya El Clasico antara Real Madrid (Castillan) dan Barcelona (Catalan) juga saat Atletico Bilbao (Basque) dan Sevilla (Andalusia) bertanding di La Liga Spanyol.

Namun, permasalahan itu seakan selesai kala para pemain yang berasal dari Catalan, Basque, Andalusia dan Castillan melebur ke tim nasional Spanyol. Kita masih ingat betul bagaimana dalam satu dekade ini sepakbola Spanyol begitu menguasai persepakbolaan Eropa dan Dunia. Juara di Piala Eropa 2008 dan 2012 serta menjuarai Piala Dunia pertama kalinya di tahun 2010 seakan menguatkan kita bahwa sepakbola telah menyatukan Negara Spanyol. Diingatan kita masih terekam jelas bagaimana Javi Martinez (Athletic Bilbao), Jesus Navas (Sevilla), Iker Casillas (Real Madrid) dan Carles Puyol (Barcelona) menangis gembira kala memegang trofi Piala Dunia 2010.

Jauh daripada itu tahun 2006, sepakbola Italia (FIGC) pernah mengalami permasalahan yang berat. Pengaturan Skor (Calciopoli) yang melibatkan klub elitnya berdampak pada terdegradasinya Juventus ke Serie B Liga Italia serta AC Milan, Fiorentina dan Lazio yang akhirnya mendapat hukuman pengurangan poin di Liga Serie-A. Pada kondisi itu yang perlu dicermati adalah Italia akhirnya tetap mampu menjuarai Piala Dunia 2006.

Juga yang terdekat dengan kita di Asia, Irak yang berhasil menjuarai Piala Asia tahun 2007. Padahal saat itu mereka sudah berada di tengah kondisi Perang (2003-2011) yang pasti akan kita ingat hingga hari ini.

Mewujudkan Mimpi

Di tengah kondisi politik Indonesia yang carut-marut ini, Indonesia akan menghadapi Thailand di Final AFF 2016. Indonesia terlebih dahulu akan menjadi tuan rumah di Stadion Pakansari Bogor pada 14 Desember 2016 dan bertandang ke Thailand pada 17 Desember 2016.

Belajar dari sejarah para juara turnamen yang mengalami prahara dalam negeri seperti Jerman, Spanyol, Italia dan Irak, Indonesia bisa belajar banyak. Negara ini memang tak pernah porak-poranda seperti Jerman, terdikotomi seperti Spanyol atau kita juga tidak mengalami hal seperti Irak yang mengalami perang menghadapi negara lain. Lebih lanjut, hanya kondisi PSSI yang hampir mirip seperti FIGC Italia yang baru sembuh dari pembekuan FIFA akibat permasalahan-permasalahan seperti korupsi dan pengaturan skor.

Namun, pada linimasa sejarah sepakbola itu menjadi motivasi yang sangat baik bagi tim nasional Indonesia. Menjuarai Piala AFF 2016 menjadi sebuah tujuan menyatukan kembali rakyat Indonesia yang sempat terpecah dan setidaknya memberi ruang senyuman pada korban Gempa Aceh yang terjadi 7 Desember 2016 yang lalu.

Kita pernah kalah empat kali di final Piala AFF. Kita sudah merasakan bagaimana kekecewaan itu datang. Sudah saatnya kita belajar dari pengalaman. Akan tetapi jikapun nanti Indonesia gagal membawa pulang Piala AFF, ini sudah menjadi prestasi yang luar biasa di tengah kondisi sepakbola kita yang belum stabil.

Pekerjaan utama penulis, sampingan dosen. Peminum Kopi. Bisa di hubungi di twitter via @anwargigi. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar