Momentum di Sepakbola: Antara Mitos dan Sains

Sains

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Momentum di Sepakbola: Antara Mitos dan Sains

Pada tahun 2017 Liverpool hanya berhasil menang satu kali dari 10 pertandingan terakhir mereka (sampai 11 Februari 2017). Sempat berada di peringkat kedua klasemen Liga Primer Inggris pada 1 Januari 2017 (setelah pekan ke-19), Liverpool kemudian berada di peringkat kelima (setelah pekan ke-24).

Satu kemenangan yang mereka raih itu pun hanya saat melawan Plymouth Argyle, sebuah kesebelasan dari League Two atau divisi keempat Inggris, di pertandingan ulangan Piala FA pula. Kemudian The Reds juga harus imbang lima kali.

“Aku bertanggungjawab [atas rangkaian penampilan buruk Liverpool],” kata Jürgen Klopp setelah Liverpool disingkirkan oleh Wolverhampton Wanderers di Piala FA (28/01). “Kamu belajar banyak mengenai para pemain di situasi seperti ini. Aku bertanggungjawab untuk penampilan ini, 100 persen.”

Baca juga: Ada yang Salah dengan Liverpool

Jika kita melihat pada rentang waktu yang lebih panjang, hal seperti ini sebenarnya sudah sering terjadi di sepakbola. Kadang sebuah kesebelasan, seorang pemain, seorang manajer, staf pelatih, atau suporter pun, mendapatkan hal-hal seperti ini, yaitu rangkaian hasil buruk ataupun rangkaian hasil baik.

Pada saat Leicester City mengalami serangkaian hasil kemenangan 1-0 di musim 2015/16, saat mereka menjuarai Liga Primer Inggris, kapten mereka, Wesley Morgan, menyebut Leicester saat itu sedang mendapatkan “momentum magis”.

Jadi, apa itu momentum? Benarkah rangkaian hasil buruk maupun hasil baik ini adalah tanggungjawab dari sesuatu yang disebut sebagai momentum?

Memahami momentum

Dalam sepakbola, momentum bisa hadir dalam satu pertandingan, misalnya ketika Liverpool berhasil membalikkan keadaan dari tertinggal 3-0 menjadi 3-3 dan kemudian menjadi juara saat final Liga Champions UEFA 2005 melawan AC Milan di Istanbul. Gol Steven Gerrard di menit ke-54 (membuat skor menjadi 3-1) menjadi momentum kebangkitan Liverpool.

Kemudian momentum juga bisa hadir dalam jangka waktu yang lebih panjang, misalnya pada rentetan hasil pertandingan, seperti yang Liverpool rasakan pada 2017 atau Leicester rasakan saat mereka juara liga.

Saat Leicester memiliki momentum yang baik ketika mereka menjuarai Liga Primer, ini juga dibarengi dengan beberapa kesebelasan papan atas yang justru sebaliknya, yaitu memiliki momentum buruk. Serangkaian hasil buruk Chelsea bahkan sampai membuat manajer mereka saat itu, José Mourinho, dipecat. Padahal status Chelsea musim lalu adalah sebagai juara bertahan Liga Primer.

Lee Dixon juga pernah merasakan hal yang sama ketika Arsenal menjuarai Liga Primer 1997/98. Saat itu Arsenal bisa menyusul Manchester United dengan berhasil memenangi 10 pertandingan berturut-turut. Dixon menyatakan bahwa dia dan kesebelasannya “benar-benar tidak peduli tentang apapun kecuali perasaan gembira karena kamu tahu kamu pasti akan menang.”

Hal yang tidak bisa dijelaskan oleh Dixon tersebut adalah momentum. Sulitnya kita menjelaskan mengenai momentum ini sampai-sampai membuat momentum lebih dekat kepada hal-hal mistis alih-alih sains.

Sebuah buku yang dipublikasikan oleh Football Association (FA) berjudul Momentum in Soccer: Controlling the Game, mendeskripsikan momentum sebagai “sebuah kekuatan yang mendikte aliran pertandingan dan/atau akumulasi dari beberapa pertandingan; seperti “hidden force” yang merefleksikan penampilan kesebelasan, pemain, pelatih, bahkan penonton.”

Kalaupun mau ditelaah secara saintifik, momentum ini tetap tidak terlihat, hanya bisa dirasakan, dan sebenarnya lebih bersifat psikologis atau mental alih-alih teknis.

Melihat momentum dari kacamata sains

Beberapa tahun yang lalu, dua ekonom, Stephen Dobson dan John Goddard, meninjau setiap pertandingan Liga Inggris antara 1970 sampai 2009 yang berjumlah 81.258 pertandingan. Mereka melakukannya untuk melihat rentetan kemenangan, kekalahan, dan pertandingan tanpa terkalahkan (berarti termasuk imbang).

Setelah memperhitungkan kekuatan kesebelasan dan lawan, mereka mencapai kesimpulan bahwa rata-rata rentetan kemenangan beruntun dan pertandingan tanpa kemenangan berakhir lebih cepat dari yang diharapkan. Dengan kata lain, efek momentum ternyata lebih banyak negatifnya daripada positifnya.

Sedangkan dalam ilmu psikologis, hal ini lebih dekat kepada rasa percaya diri atau minder. Ini bisa dipahami karena ketika sesuatu sudah berjalan secara “gue banget”, maka kita akan merasa lebih percaya diri. Begitu juga sebaliknya.

Contohnya adalah bad hair day. Ketika di pagi hari kita sudah kesal dengan penampilan kita, maka sampai malam pun biasanya kita akan merasa sial. Hal ini terjadi karena dalam periode waktu yang lebih panjang, kondisi emosi kita bisa memberikan dampak yang besar.

Kalau ditelaah dari ilmu psikologis seperti ini, sudah banyak studi yang menunjukkan jika orang yang secara konsisten memiliki tingkat emosi yang negatif, maka ia akan lebih sedih, lebih mudah sakit, dan berumur lebih pendek. Dan sebaliknya juga. Emosi akan memengaruhi fisik.

Sedangkan dalam olahraga, rasa percaya diri ini juga akan tumbuh atau tenggelam jika kita memiliki rentetan hal baik maupun hal buruk. Oleh karena itu, biasanya kesebelasan, pemain, manajer, atau suporter akan melakukan perubahan. Hal ini akan meningkatkan kemungkinan perubahan momentum meskipun tidak menjamin 100% juga, seperti yang dihasilkan dari penelitian Dobson dan Goddard.

***

Meskipun masih minim bukti ilmiah, pelaku sepakbola terutama para pemain, masih memercayai momentum sebagai penyebab rentetan penampilan positif maupun negatif mereka.

Misalnya, penyerang yang berhasil mencetak beberapa gol beruntun akan lebih percaya diri dan cenderung bisa terus mencetak gol. Begitu juga penjaga gawang yang melakukan penyelamatan besar di awal laga, cenderung akan melakukan banyak penyelamatan lagi sampai laga selesai.

Jadi, jika ditanya apa penyebab kesebelasan bisa menang berturut-turut atau terpuruk berturut-turut, jawabannya adalah: momentum.

Baca juga di About the Game: Momentum Jadi Jawaban Buruknya Penampilan Liverpool Sejauh 2017 Ini

Sumber tambahan jurnal (jurnal dengan topik ini jarang, lho): Jones M, Harwood C (2008) Psychological Momentum within Competitive Soccer: Players` Perspectives, Journal of Applied Sport Psychology, 20(1):57-72

Komentar