Menjaga Gengsi Pelatih Lokal dari Kepungan Pelatih Asing

Cerita

by redaksi

Menjaga Gengsi Pelatih Lokal dari Kepungan Pelatih Asing

Sepakbola menjadi salah satu lahan pekerjaan yang banyak diminati oleh para ekspatriat. Hampir di seluruh dunia, kompetisi sepakbola pasti saja diramaikan dengan kehadiran para pemain asing di dalamnya. Begitu pula di Indonesia, sama halnya dengan kompetisi lainnya di dunia umumnya ketika orang berkewarganegaraan asing datang untuk menerima pekerjaan sebagai pemain dan pelatih.

Sejak medio 1979, fenomena pemain asing menjadi warna lain dalam sepakbola Indonesia. Meski pada tahun 1982, fenomena tersebut sempat luntur setelah adanya larangan penggunaan pemain asing di sepakbola Indonesia.

Namun pada tahun 1994, tepatnya saat Liga Indonesia jilid pertama bergulir, kembali para pemain asing meramaikan gelaran akbar sepakbola nasional. Tidak hanya pemain, orang asing yang memiliki kemampuan melatih pun semakin banyak yang mengadu nasibnya ke Indonesia.

Sebelum Liga Indonesia bergulir pada tahun 1994, sama halnya dengan pemain asing, pelatih asing pun sudah meramaikan pentas sepakbola Indonesia. Marek Janota contohnya, yang pada era 80-an pernah mengarsiteki Persija Jakarta hingga Persib Bandung.

Saat di Persib, Janota mampu memoles bakat pemain-pemain seperti Adjat Sudrajat, Iwan Sunarya, Bambang Sukowiyono hingga Robby Darwis. Pemain-pemain tersebut juga terkenal dengan sebutan generasi emas 80.

Kemudian masih ada nama Paul Cumming yang sukses menjadikan Perseman Manokwari sebagai kekuatan yang disegani di era Perserikatan. Selain itu, jangan lupakan pula sosok Antun ‘Tony’ Pogacnik, seorang berkebangsaan Yugoslavia yang pernah menjadi pelatih Tim Nasional Indonesia dari tahun 1954-1963.

Ketiga nama tersebut, memiliki jasa yang besar bagi perkembangan sepakbola Indonesia pada masa itu. Pogacnik misalnya, yang mampu membawa Indonesia lolos ke semifinal Asian Games sebanyak dua kali pada tahun 1954 dan 1958. Pada tahun 1958, Indonesia bahkan sukses menggenggam medali perunggu, yang sampai saat ini belum terulang.

Semakin Menggeliat

Memang sejak bergulir Liga Indonesia edisi pertama, kehadiran pelatih asing untuk meramaikan panggung sepakbola nasional semakin menggeliat. Sejak tahun 1994 hingga 2017, pelatih asing memang masih menjadi primadona di sepakbola Indonesia. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, timnas Indonesia juga memiliki kecenderungan untuk memilih pelatih asing untuk mengarsiteki Tim Garuda.

Menghitung kiprah pelatih asing sejak tahun 2002 hingga 2017, tercatat ada lima pelatih asing yang menjadi arsitek Timnas. Dimulai dengan Ivan Kolev yang pernah melatih timnas pada tahun 2002 dan 2007, Peter White (2004-2006), Alfred Riedl (2010-2011) dan 2016), Wim Rijsbergen (2011-2012), hingga Luis Milla (2017).

Pengalaman, gaya melatih, metode kepelatihan, hingga lisensi yang mereka miliki kerap dijadikan sebagai salah satu faktor yang membuat kesebelasan mempercayakan para pelatih untuk mengarsiteki tim. Contohnya, Milla yang ditunjuk karena memiliki pengalaman dan rekam jejak yang bagus dalam menangani tim. Satu poin plus Milla juga mempunyai pengalaman dalam mencetak pemain muda berkualitas.

Kondisi serupa juga terjadi di level klub, banyak tim yang berkiprah di kompetisi level tertinggi Indonesia yang lebih mempercayakan pelatih asing ketimbang lokal untuk menukangi tim. Di Liga 1 Indonesia 2017 saja, beredar sembilan pelatih asing yang menukangi sembilan kesebelasan. Jumlah yang sebenarnya seimbang dengan kuantitas pelatih lokal di Liga 1, yang juga berjumlah sembilan pelatih.

Jumlah tersebut mengalami perubahan, pada pekan awal kompetisi yang sebelumnya mencatat 11 pelatih asing yang berkiprah di Liga 1. Namun karena ada pemecatan pelatih yang terjadi pada pekan awal kompetisi, yang kebanyakan menimpa pelatih asing, jumlahnya kemudian menyusut menjadi sembilan.

Penyusutan terjadi setelah Persipura Jayapura yang mendepak Alfredo Vera untuk digantikan Liestiadi Sinaga. Kemudian Bali United yang mempercayakan kursi pelatih kepada Widodo C. Putro usai memecat Hans-Peter Schaller yang dianggap gagal memperbaiki performa tim.

Tak Kalah Saing

Melihat pencapaian para pelatih asing di Liga 1 Indonesia hingga saat ini, memang pelatih asing masih memegang kendali. Pada papan klasemen Liga 1 hingga pekan ke-7, PSM Makassar masih kokoh di puncak klasemen sementara. PSM merupakan salah satu tim yang mempercayakan kendali klub kepada seorang berkebangsaan Belanda bernama Robert Rene Alberts.

“Juku Eja” julukan PSM, tampil dengan permainan atraktif, yang mengandalkan kolektivitas tim. Permainan tersebut membuat mereka menjadi salah satu kandidat juara musim ini, di luar nama besar dan komposisi pemain yang mereka miliki tentunya.

Selain itu, masih ada pula PS TNI yang saat ini ditukangi oleh Ivan Kolev, yang datang pada pekan keempat setelah menggantikan Laurent Hatton. Pelatih asal Bulgaria itu mampu menjaga tren positif PS TNI hingga menjadi salah satu klub yang belum terkalahkan selama enam pekan Liga 1 Indonesia bergulir.

Namun, catatan Rene dan Kolev tidak serta merta membuat para pelatih lokal tertinggal begitu saja dalam hal pencapaian mereka sejauh ini Liga 1. Merujuk pada lima besar dalam daftar klasemen sementara, PSM dan PS TNI memang masuk di dalamnya, namun jangan lupakan Persib Bandung, Arema FC, dan Persipura Jayapura yang saat ini ditukangi oleh pelatih lokal.

Persib yang berada di posisi dua, saat ini juga memegang rekor sebagai klub yang belum terkalahkan. Di tabel klasemen, tim asuhan Djadjang Nurdjaman itu hanya tertinggal satu poin saja dari PSM. Bila pada pertandingan ketujuhnya di Liga 1 “Maung Bandung” bisa mengalahkan Borneo FC, maka puncak klasemen sudah dipastikan bakal mereka duduki kembali.

Djadjang pernah mengungkapkan rasa optimisnya bisa bersaing di tengah kepungan pelatih asing di Liga 1. Dikatakan, pelatih lokal pun memiliki kualitas yang tidak kalah dengan pelatih asing. Ia mencontohkan saat gelaran Piala Presiden 2017 lalu.

“Tim-tim yang masuk ke babak semifinal atau empat besar itu kan tim yang dilatih pelatih lokal. Ada Arema, Persib, Semen Padang, dan Borneo FC yang saat itu dilatih Ricky Nelson. Ya, itu kan bisa menjadi bukti juga kalau pelatih lokal sebenarnya memiliki kualitas yang bagus,” terangnya.

Lalu, ada Arema FC yang saat ini berada di posisi ke-4. Arema, juga hanya tertinggal satu poin saja dari PS TNI di posisi ke-3. Mereka tentu memiliki peluang untuk menyalip ke tiga besar andai mampu memenangkan pertandingan ke-7-nya. Selain itu, melihat gaya permainan “Singo Edan” di Liga 1, Arema merupakan tim dengan filosofi menyerang. Hal tersebut tertular dari filosofi yang dianut oleh Aji Santoso, pelatih mereka saat ini.

“Saya adalah pelatih yang suka dengan gaya permainan menyerang. Tapi, bukan berarti menyerang itu harus lupa dengan pertahanan. Biar bagaimanapun, pertahanan juga merupakan elemen penting dalam sepakbola,” terang Ajie beberapa waktu lalu di Bandung.

“Jadi, sebisa mungkin kita bisa seimbang. Artinya, saat kami menyerang ya kami menyerang, tapi saat bertahan para pemain juga harus bisa dengan cepat kembali ke posisi masing-masing untuk menutup celah agar lawan kesulitan,” lanjutnya.

Selain itu, masih ada Liestiadi Sinaga yang pada awal musim dipercaya menjadi pelatih Persipura setelah manajemen “Mutiara Hitam” mendepak Alfredo Vera. Datang ke Persipura tentu ada beban yang dirasakan Liestiadi, maklum Vera yang ia gantikan terbukti sukses membawa Persipura juara di turnamen jangka panjang pengganti kompetisi resmi bertajuk Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016. Saat ini Persipura berada di posisi lima

Liestiadi mengaku, target juara memang dicanangkan manajemen. Mantan pelatih Persiba Balikpapan itu optimis bisa mencapai target tersebut. Hanya saja, pada kompetisi dengan sistem satu wilayah, dirinya lebih fokus pada satu pertandingan ke pertandingan lain. Karena, pada sistem tersebut, raihan poin akan sangat menentukan nasib klub di akhir musim nanti.

(SN)

Komentar