Pesepakbola Bisa Membuat Klub Bangkrut Jika Gajinya Ditunggak

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Pesepakbola Bisa Membuat Klub Bangkrut Jika Gajinya Ditunggak

Oleh: Rahmat Sulistiyo

Menjadi pesepakbola saat ini mungkin telah menjadi impian bagi sebagian besar anak-anak di Indonesia. Tidak ada yang salah dengan mimpi tersebut, namun apabila melongok kenyataan yang dialami oleh mayoritas pesepakbola ketika mengalami perselisihan terkait perjanjian kerja antara klubnya, kemungkinan besar anak-anak akan balik kanan dan lebih memilih untuk menjadi dokter, polisi atau pengusaha ketimbang atlet sepakbola.

Banyak kisah horor yang menimpa pesepakbola di Indonesia apabila berhubungan dengan penyelesaian pertanggungjawaban dari sisi “hak-hak pemain” setelah menunaikan kewajibannya. Pesepakbola selalu berada dalam posisi lemah dan sulit karena kalah kuat dengan klub dan tuntutan dapur rumah tangga sang pesepakbola yang harus selalu berasap tiap hari, sehingga ujung ujungnya sang atlet lupa menuntut haknya dan klub terkesan melupakan masalahnya dengan pesepakbola.

Contoh kisah horor yang dialami pesepakbola di Indonesia yakni bagaimana malangnya nasib Diego Mendieta yang hak- haknya sebagai pemain Persis Solo baru diselesaikan setelah ia tutup usia, bahkan berlangsung cukup lama. Itu pun dilakukan atas desakan dari berbagai pihak. Ada juga Sergei Litinov, mantan pemain PSLS Lhokseumawe yang rela menahan malu demi menyambung hidup dengan berjualan jus karena klub belum menunaikan kewajiban gajinya.

Kelemahan pesepakbola di Indonesia umumnya tidak “berani menuntut” haknya kepada klub melalui ranah hukum karena sudah pasti pasti memakan waktu dan biaya, padahal hak dan kewajiban sang pemain telah disebutkan secara tertulis dalam klausul perjanjian dengan klub, karena tidak mungkin sang pemain bermain tanpa kontrak perjanjian.

Selayaknya pekerja formal lainnya, pesepakbola sejatinya dilindungi oleh hukum positif di Indonesia, salah satunya bisa diintip lewat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang perselisihan hubungan industrial. Mengutip pasal 1 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003 mengenai definisi pekerja, yakni:

“Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lainnya”

Hal yang menarik adalah bahwa pesepakbola dapat memilih berbagai jalur ranah penyelesaian hukum yang tersedia di Indonesia, apakah melalui jalur kepolisian dengan cara membuat laporan polisi, jalur keperdataan lewat gugatan yang ditujukan lewat Pengadilan Negeri setempat, dan/atau langkah paling ekstrim, melalui permohonan penundaan pembayaran utang dan kepailitan (PKPU) lewat pengadilan niaga.

Tidak ada salahnya pesepakbola memilih langkah paling akhir, yakni dengan mengajukan permohonan pailit klub sepakbola tempat dahulu ia bernaung. Pada sejarah PKPU Indonesia, pesepakbola atau pekerja dapat mengajukan permohonan PKPU kepada perusahaan tempat ia bekerja, semisal dapat kita lihat pada perselisihan pailit PT Great River Internasional dengan pekerjanya atau perkara PT Starwin Indonesia.

Bahwa perselisihan niaga timbul akibat adanya utang yang dapat dibuktikan secara sederhana dan telah jatuh tempo sebagaimana disebutkan dalam pasal 222 ayat (3) dan pasal 222 (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Pasal 222 ayat (3) UU No.37 tahun 2004
“Kreditur yang memperkirakan bahwa Debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitur diberi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, untuk memungkinkan Debitur mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Krediturnya”

Pasal 222 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004
“Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditur atau oleh Kreditur”.

Sementara ini definisi utang menurut pasal 1 ayat (6) UU No.37 Tahun 2004

Pasal 1 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.”

Adapun yang dimaksud dengan debitur dan kreditur dalam pasal di atas, dapat dilihat dalam pasal 1 ayat (2) dan (3) UU No.37 Tahun 2004.

Pasal 1 ayat (2)
“Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.”

Pasal 1 ayat (3)
“Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”

Pesepakbola dalam proses PKPU bertindak sebagai kreditur dan klub sebagai debitur. Pada proses PKPU mengenal 3 jenis tingkatan kreditur, yakni: kreditur separatis, kreditur preferen, dan kreditur konkuren. Dalam hal ini pesepakbola dan/atau pekerja termasuk ke kreditur preferen, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No.67/PUU-XI/2017 dan pasal 95 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 95 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003
“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka upah dan hak hak lainnya dari pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”

Sesuai penjelasan ayat (4) yang dimaksud pembayaran adalah upah pekerja/buruh harus dibayarkan lebih dahulu dari pada utang lainnya. Langkah pesepakbola mengajukan PKPU bisa menjadi jalan keluar bagi permasalahan hak yang belum diselesaikan (baca: gaji) ditambah lagi PKPU juga bisa menjadi sarana klub untuk menggaet calon investor yang lebih cocok dan kredibel secara finansial atau bahasa kerennya merestrukturisasi karena beban klub, baik utang maupun aset menjadi terang-benderang.

Momok pailit bagi klub sepakbola kita memang belum terlalu seram namun bagi klub luar negeri, khususnya Italia, telah menjadi bagian tersendiri pada bab sejarah sepakbola Negeri Pizza tersebut. Tercatat Parma, AC Siena, Napoli, dan Fiorentina pernah mendapatkan label “pailit”. Namun nyatanya klub klub tersebut mampu bangkit dan berjuang kembali untuk menjadi yang terbaik di Serie A.

Bukan tidak mungkin esok hari ada klub Indonesia yang pailit akibat pemainnya sendiri, tapi pada akhirnya kesebelasan tersebut juga bisa bangkit menjadi salah satu klub hebat di Indonesia karena paham hukum dan kewajiban dan tidak lagi menyepelekan kesejahteraan seorang pemain.

Penulis adalah pekerja di sebuah law firm. Biasa berkicau di @uliJG


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar