Julian Nagelsmann, Anomali yang Mengubah Pandangan Sepakbola

Cerita

by Redaksi 15 28331

Redaksi 15

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Julian Nagelsmann, Anomali yang Mengubah Pandangan Sepakbola

Julian Nagelsmann, entah berapa banyak orang yang merasa iri kepada dirinya. Pria kelahiran 23 Juli 1987 itu telah mencetak berbagai sejarah pada usia yang relatif muda. Saat masih berusia 28 tahun, ia ditunjuk sebagai pelatih kepala TSG Hoffenheim. Membuat dirinya tercatat sebagai kepala pelatih termuda dalam sejarah 1.Bundesliga. Sekitar empat tahun kemudian, Nagelsmann berhasil membawa RB Leipzig lolos ke fase gugur Liga Champions UEFA 2019/2020 sebagai pemuncak Grup G. Berusia 32 tahun, Nagelsmann tercatat sebagai kepala pelatih termuda yang berhasil memuncaki grup Liga Champions.

Banyak orang beranggapan bahwa usia hanya sebatas angka. Banyak juga yang merasa bahwa pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan. Namun Nagelsmann tidak hidup dalam dua anggapan tersebut. Soal usia, banyak pemain yang masih aktif merumput dan berusia lebih tua daripada Nagelsmann. Sebagai perbandingan, Lionel Messi satu bulan lebih tua dibanding Nagelsmann. Cristiano Ronaldo lebih tua satu tahun, lima bulan, dan 18 hari dari Nagelsmann. Bahkan Philipp Tschauner yang diboyong Nagelsmann di musim panas 2019 sebagai penjaga gawang ketiga RB Leipzig lebih tua dibandingkan dia yang menjabat sebagai kepala pelatih (34).

Soal pengalaman, Nagelsmann tak pernah mendapat kontrak profesional selama berkarier sebagai pemain. Perjuangannya terhenti di level akademi karena cedera lutut yang akut. Namun Nagelsmann tetap membuktikan dirinya bahwa dirinya layak untuk diperhitungkan. Sosok Nagelsmann adalah sebuah anomali.

Dirinya mungkin bukan kepala pelatih termuda dalam sejarah sepakbola dunia. Sepakbola Wales pernah melihat Nial McGuiness menangani kesebelasan divisi tertinggi mereka, Rhyl FC, saat masih berusia 24 tahun. Bahkan di FA Cup Inggris, ada nama James Phillips yang memimpin Romsey Town di kompetisi sepakbola tertua dunia itu saat berusia 22 tahun. Bedanya, Nagelsmann mengasuh tim 1.Bundesliga. Salah satu liga paling dihormati di dunia. Menangani kesebelasan sekelas Hoffenheim dan RB Leipzig yang berstatus sebagai perusak tatanan sepakbola Jerman. Untuk kesebelasan sekelas mereka menunjuk pelatih muda dan minim pengalaman tentu terlihat aneh.

Awalnya penunjukan Nagelsmann sebagai pelatih kepala Hoffenheim dianggap sebagai strategi pemasaran. Namun kenyataannya, Nagelsmann berhasil membuat Hoffenheim naik kelas. Memaksimalkan pemain-pemain muda seperti Nicklas Sule, Nadiem Amiri, Joelinton, dan Jeremy Toljan, Hoffenheim ia bawa ke empat besar 1.Bundesliga dua musim berturut-turut (2016-2018). Lolos ke Liga Champions UEFA untuk pertama kalinya dalam sejarah klub pada 2017/2018.

Melihat hasil di lapangan, anggapan tentang Nagelsmann sebagai strategi pemasaran pun hilang. Ia bahkan mulai dikaitkan dengan klub sekelas Real Madrid dan FC Barcelona. Presiden Hoffenheim Dietmar Hopp juga sadar bahwa dalam Nagelsmann lama-kelamaan akan terlalu besar untuk klub berjuluk Die Kraichgauer tersebut. "Hoffenheim akan terlalu kecil untuk dirinya dalam waktu dekat," aku Hopp.

Bukannya memanfaatkan peluang untuk menangani Chelsea, Manchester United, Real Madrid, ataupun Barcelona, Nagelsmann justru bertahan di Jerman dan memilih RB Leipzig sebagai pelabuhan berikutnya. Alasannya sederhana, "Saya masih muda. Mereka juga nanti akan datang lagi kepada saya," kata Nagelsmann, terdengar sombong mungkin, tapi tidak salah. Memiliki usia muda dan telah dikenal sebagai salah satu nakhoda terbaik di dunia, Nagelsmann tidak perlu terburu-buru pindah ke kesebelasan yang punya banyak tuntutan dan minim memberi waktu. RB Leipzig menjadi tempat terbaik baginya.

Ada dalam naungan Thomas Tuchel saat masih bermain untuk akademi Augsburg, Nagelsmann lebih dipengaruhi oleh gaya permainan Ralf Rangnick, pendahulunya di RB Leipzig. "Sejak bermain di 2.Bundesliga, RB Leipzig mengalami peningkatan yang menarik bersama Rangnick. Mereka menerapkan permainan agresif, menekan lawan saat kehilangan bola. Namun karena mayoritas kesebelasan di sana main begitu dalam, Rangnick tidak bisa selalu mengandalkan hal tersebut. Oleh karena itulah adaptasi diperlukan. Saya juga demikian. Sebisa mungkin berusaha menguasai aliran bola, tapi saat kehilangan, kita harus siap merebut kembali. Harus siap ada dalam dua posisi tersebut," jelas Nagelsmann.

"Formasi bukanlah hal yang relevan bagi saya. Kita harus bisa cair. Bahkan dalam satu pertandingan bisa berubah-ubah delapan kali," jelasnya. Adaptasi dengan situasi di atas lapangan membuat tim asuhan Nagelsmann fokus dalam mengumpulkan data lawan. Analisa sebelum menentukan cara terbaik untuk bermain. Ia melihat dirinya sebagai seorang koki, pembuat roti, apapun bahan yang ada harus bisa dikombinasikan dan masuk ke dalam oven. "Saya bekerja seperti pembuat roti, lihat apa bahan yang tersedia dan memasukkannya ke dalam oven. Setelah itu baru melihat dan merasakan hasilnya," jelas Nagelsmann.

Filosofi tersebut ditambah pengalamannya sebagai pemandu bakat Thomas Tuchel membuat kesebelasan yang diasuh Nagelsmann selalu berhasil menampilkan permainan yang menarik dan unik. Terlepas dari pamor pemain yang ia asuh, dirinya tahu bahwa mereka memilki kemampuan untuk menjalani tugas yang diberikan. Nagelsmann bukanlah sosok yang memaksakan satu gaya permainan untuk terus dicoba meski kondisi tidak menguntungkan. Meski punya prinsip permainan, dirinya tidak takut akan perubahan. Sesuatu yang jarang dilakukan pelatih-pelatih yang lebih tua dibandingkan dirinya.

Mengasuh kesebelasan seperti RB Leipzig dan Hoffenheim yang benar-benar percaya bahwa peningkatan membutuhkan waktu, Nagelsmann bisa berkarya sesuai keinginan. Hal tersebut mungkin akan hilang jika dirinya ada di kesebelasan seperti Barcelona atau Manchester United yang sudah memiliki pola-pola tersendiri dalam permainan mereka.

Nagelsmann mengasuh kesebelasannya layaknya seniman. Dirinya mungkin mirip dengan sutradara `Shaun of the Dead`, Edgar Wright. Film apapun yang ia arahkan, `Baby Driver`, `Hot Fuzz`, `Scott Pilgrim vs the World`, `The World`s End`, selalu ada rasa unik di dalamnya. Wright bahkan sempat menolak untuk Studio Marvel dan mundur dari `Ant-Man` karena hanya menjadi boneka dari visi para petinggi. Mirip dengan Nagelsmann yang menolak Real Madrid. "Percuma memiliki gaji tinggi, mobil mewah, dan rumah besar jika Anda tidak ingin berada di sana". Nagelsmann adalah sebuah anomali. Namun ia adalah anomali yang berhasil mengubah pandangan dunia sepakbola.

Komentar