Sayang Sekali, Marco Motta Takkan Main di Bek Kanan

Analisis

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Sayang Sekali, Marco Motta Takkan Main di Bek Kanan

"Slot bek kanan masih akan terisi dengan adanya Alfath Fathier, bahkan Novri Setiawan juga bisa jadi bek sayap kanan. Motta kemungkinan bermain di lini tengah. Mungkin sebagai gelandang tengah. Jadi, pos bek sayap kanan tidak akan kosong. Saya percaya posisi itu akan sangat aman," kata kapten Persija, Ismed Sofyan, dikutip dari Bolalob.

Membaca berita di atas, ada sedikit kekecewaan dalam hati saya. Antusiasme saya dalam perekrutan Marco Motta oleh Persija langsung berkurang. Harapan untuk melihat sepakbola Indonesia yang lebih berinovasi perihal taktik harus diredam.

***

Ketika membaca berita tentang "kepastian" Marco Motta bergabung ke Persija pada awal 2020 ini, saya memang cukup antusias. Motta merupakan bek asal Italia, yang pernah mencicipi seragam timnas senior, dan pernah membela klub sebesar AS Roma dan Juventus.

Tapi saya antusias bukan karena Motta berlabel Timnas Italia dan eks Roma dan Juventus, melainkan karena keberanian Persija merekrut seorang pemain asing berposisi bek sayap, atau lebih spesifik fullback kanan. Di Indonesia, pemain asing yang bermain di posisi ini sangatlah seksi.

Biasanya di Indonesia, pemain asing yang direkrut adalah pemain berposisi penyerang tengah, gelandang serang, dan bek tengah. Ketiga posisi ini memang sangat sentral, karena secara teori, fungsi ketiga posisi ini sangat berpengaruh pada kualitas pertahanan dan penyerangan sebuah kesebelasan; bek tengah sebagai pelindung dari kebobolan, gelandang serang sebagai kreator serangan, penyerang tengah sebagai penggedor lini pertahanan lawan.

VIDEO: Update informasi sepakbola dunia



Tak banyak pemain asing di Indonesia yang berposisi asli di luar ketiga posisi di atas. Bahkan di era Indonesia Super League sampai Liga 1 sekarang, pemain yang bukan berposisi default ketiga posisi tersebut bisa dihitung dengan jari.

Seperti yang disampaikan oleh rekan-rekan Twitter saya beberapa waktu lalu, ada nama Pradith Taweechai, Phaitoon Thiabma, Deca dos Santos, dan Diogo Rangel di pos bek sayap kanan, Tanasit Tong In atau David da Rocha di pos bek kiri. Juga Satoshi Otomo, Muhamad Ridhuan, Itimi Dickson, Esteban Vizcarra dan teranyar Ciro Alves di pos sayap. Tentu masih ada beberapa nama lain, tapi nama-nama di atas akan mudah diingat karena mereka bermain bukan pada tiga posisi "sentral".

Harapan saya dengan datangnya Motta adalah ia bisa menjadi awal dari gelombang pemain asing lain yang berposisi bukan dari bek tengah, gelandang tengah, dan penyerang tengah. Saya ingin Persija berasama Motta-nya memberikan contoh buat klub lain bahwa pemain di posisi bek sayap pun sama pentingnya dengan tiga posisi "sentral".

Tengok bagaimana dampak dari klub-klub Indonesia yang mulai membutuhkan seorang gelandang bertahan asing. Sangatlah elok menyaksikan Brwa Nouri mengorkestra lini tengah Bali United, sangatlah menawan mata ketika Kei Hirose mampu merusak build-up serangan lawan lewat mobilitas dan kemampuannya dalam menekan lawan, atau juga aksi-aksi tak terlihat Omid Nazari di lini tengah yang tanpa disadari mampu memperbaiki lini pertahanan dan penyerangan Persib di putaran kedua.

Para gelandang bertahan tersebut tanpa disadari sedang mengajarkan sepakbola modern yang dipertontonkan oleh klub-klub besar Eropa pada sepakbola Indonesia. Para pemain seperti itulah yang kini dibutuhkan oleh sistem permainan sepakbola modern; sehingga membuat pemain-pemain seperti Fabinho, Rodrigo, Casemiro, Van De Beek, sangat dibutuhkan oleh tim-timnya.

Dan tampaknya hal itu juga yang membuat para pemain gelandang bertahan Indonesia mulai lebih stylish. Bayu Pradana, Fadil Sausu, Paulo Sitanggang jadi langganan timnas, bahkan seorang Hariono pun kini bisa menciptakan umpan-umpan kunci. Pun dengan transformasi Rizky Pellu yang tak lagi dikenal sebagai "tukang gaprak".

Berkaca dari pos gelandang bertahan, ini juga yang saya harapkan pada pos bek sayap, khususnya dengan kedatangan Motta. Karena lambat laun, pos bek sayap telah menjadi sosok penting di sepakbola modern kini.

Liverpool tampil trengginas dalam dua musim terakhir tak lepas dari permainan top level dari Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson di kedua sisi. Man City merekrut Benjamin Mendy, Kyle Walker, Danilo, dan Joao Cancelo untuk memperbaiki kualitas kedua bek sayap. Atau ketika David Alaba, Joshua Kimmich dan Sergi Roberto yang menjadi tumpuan Bayern dan Barcelona meski mereka bermain di pos bek sayap. Otak serangan klub-klub besar tanpa disadari mulai beralih ke pos ini (silakan cek statistik jumlah operan para pemain bek sayap mereka, dipastikan salah satu yang tertinggi).

Indonesia sebenarnya bukan tak menyadari hal tersebut. Tapi bagi klub-klub Indonesia pos ini memang menjadi skala prioritas kesekian untuk ditingkatkan kualitasnya, yang akhirnya masih mengandalkan para pemain senior; Persipura masih bertumpu pada Yustinus Pae, Persib mengandalkan Supardi Nasir, Ruben Sanadi di kiri pertahanan Persebaya, termasuk Persija yang masih mengandalkan Ismed Sofyan.

Di Indonesia memang tidak banyak pemain-pemain pemikir di pos bek sayap seperti Gavin Kwan, Ricky Fajrin, Rezaldi Hehanusa, Novri Setiawan, atau Asnawi Mangkualam, dan lain-lain. Justru karena itulah, sebagaimana pos gelandang bertahan, Indonesia butuh lebih banyak role model pada posisi ini. Bukankah salah satu fungsi pemain asing adalah menjadi "teladan" buat para pemain lokal?

Selain itu, sepakbola Indonesia butuh banyak pemain bek sayap berkualitas seperti di atas agar para pemain sayap Indonesia terbiasa menghadapi pemain-pemain yang tidak mengandalkan kecepatan. Jika pemain-pemain seperti Febri Hariyadi, Osvaldo Haay, atau Riko Simanjuntak terbiasa menghadapi pemain bek sayap seperti ini, niscaya mereka tidak akan mati kutu ketika menghadapi bek-bek sayap Thailand, Vietnam, atau Uni Emirat Arab kala membela Tim Nasional.

Motta, dengan latar belakangnya yang berasal dari negara catenaccio, kemungkinan besar akan membuat pemain sayap di kubu lawan Persija harus bermain lebih "pintar". Ketika muda, pemain yang juga pernah bermain di Premier League ini tidak dikenal sebagai pemain yang cepat. Sekarang dengan usianya yang sudah 33 tahun, tentu akan membuatnya semakin mengedepankan pembacaan ruang, pembacaan arah bola, dan aksi-aksi lain yang membuatnya tidak harus sering berlari.

Tapi cukup disayangkan, seperti kata Ismed, Motta tak akan diplot sebagai bek kanan di Persija. Jika ia benar-benar diplot sebagai gelandang tengah, terlebih gelandang bertahan, itu artinya kita masih akan menikmati proses perkembangan pos gelandang bertahan di sepakbola Indonesia pada Liga 1 musim ini.

***

Plot twist, karena butuh gelandang, Persija ternyata salah rekrut pemain, harusnya bukan Motta eks Juventus, tapi Motta eks Inter yang sekarang udah jadi pelatih....

Komentar