Tanggapan Ponaryo Soal Regulasi Pemain Muda dan Fenomena Marquee Player

Berita

by redaksi

Tanggapan Ponaryo Soal Regulasi Pemain Muda dan Fenomena Marquee Player

Kompetisi sepakbola Indonesia akhirnya kembali menggeliat setelah mati suri selama kurang lebih dua tahun lamanya akibat pembekuan yang dilakukan FIFA. Beruntung sanksi tersebut akhirnya dicabut, dan publik sepakbola Indonesia bisa kembali menikmati panasnya kompetisi setelah hampir dua tahun teres menurus dijejeli turnamen yang lama-lama membosankan.

Setelah pembekuan dicabut pada penghujung tahun 2016, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) selaku induk organisasi sepakbola di Indonesia mulai merancang berbagai rencana yang salah satunya soal kompetisi. Singkat cerita kompetisi bertajuk Liga 1 Indonesia 2017 pun akhirnya digelar pada 15 April lalu.

Bila dilihat dari aturan yang berlaku, perbedaan terlihat cukup signifikan dibandingkan dengan penyelenggaraan kompetisi pada musim-musim sebelumnya. Paling kentara adalah regulasi soal pemain muda. PSSI mewajibkan seluruh kontestan Liga 1 untuk memainkan minimal tiga pemain muda sebagai starter. Dengan diberlakukan regulasi tersebut, salah satu tujuan yang diusung PSSI adalah memunculkan regenerasi pemain di timnas Indonesia.

Regulasi tersebut memang agak memberatkan, khususnya bagi pelatih dalam menentukan skuat yang tepat. Namun dampak positifnya cukup terlihat dengan bermunculannya pemain-pemain muda potensial yang bisa menjadi tulang punggung tim nasional Indonesia.

Sampai pada pekan ke-7 bergulirnya Liga 1 Indonesia 2017, banyak pemain-pemain muda yang menunjukkan tajinya. Hal tersebut tentunya menguntungkan bagi pelatih timnas Indonesia, Luis Milla yang bisa menambal sulam skuatnya yang tengah dipersiapkan mentas di ajang pra-Piala Asia dan SEA Games 2017 Malaysia.

Soal regulasi pemain muda di kompetisi Indonesia saat ini, mantan gelandang timnas Ponaryo Astaman menanggapi positif soal regulasi tersebut. Meski ia menganggap secara teknis regulasi tersebut agak kurang tepat diberlakukan pada kompetisi yang orientasinya adalah prestasi. Namun bila melihat tujuan dan kondisi sepakbola Indonesia saat ini, regulasi tersebut tidak ada salahnya juga diberlakukan pada kompetisi.

“Kalau berkaca bagaimana situasi sepakbola kita sekarang saya pikir tidak ada salahnya. Melihat event yang akan dihadapi dalam satu atau dua tahun ke depan, kebanyakan event yang diperuntukkan bagi pemain muda,” ungkapnya.

“Dengan tujuan itu kita memberi kesempatan lebih bagi pemain muda menambah jam terbang dan pengalaman, tampil di kompetisi. Sehingga ketika mereka membela timnas, mereka sudah siap untuk berlaga. Mudah-mudahan bisa juara,” sambungnya.

Ponaryo mengungkapkan bahwa memunculkan pemain muda memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Walau ada regulasi yang mengatur keharusan klub menggunakan pemain muda, itu bukan jaminan kalau pemain muda di Indonesia bisa langsung melejit. Dalam artian dibutuhkan proses.

Mantan gelandang PSM Makassar itu mengungkapkan, di timnya saat ini Borneo FC ada banyak pemain muda yang secara kualitas sebenarnya bagus. Namun secara kontribusi belum terlalu maksimal baik itu secara individu maupun tim.

“Tapi memang tidak bisa dimungkiri mereka butuh waktu untuk berkembang. Tapi, biar bagaimanapun mereka sudah berusaha menunjukkan kualitas mereka. Itu layak diapresiasi, dan kita harus terus mendorong mereka agar terus bisa berkembang,” terangnya.

Pemain yang akrab disapa Popon itu juga tidak memungkiri walau kontribusi yang diberikan pemain muda di Borneo belum terlalu maksimal, namun beberapa nama dianggapnya sudah memiliki peran penting dalam tim. Ia mengatakan, “Nama-nama seperti Terens Puhiri, Wahyudi Hamisi, dan Riswan Yusman juga punya peran penting dalam tim ini,” katanya.

Marquee Player yang Bertolak Belakang Dengan Rencana Awal

Selain soal regulasi pemain muda, sepakbola Indonesia juga diramaikan dengan kedatangan pemain-pemain asing yang pernah merumput di kompetisi elite dunia. Beberapa nama seperti Michael Essien (Persib Bandung), Peter Odemwingie (Madura United), Mohamed Sissoko (Mitra Kukar), hingga Didier Zokora (Semen Padang) yang merupakan alumnus Liga Primer Inggris merapat ke Indonesia.

Kehadiran nama-nama tersebut tak pelak membuat sepakbola Indonesia menjadi pusat perhatian/ terlebih saat kedatangan Essien ke Persib yang sampai menjadi pemberitaan di media-media internasional. Hal tersebut secara tidak langsung membuat sepakbola Indonesia semakin dikenal luas dunia.

Namun Popon memiliki pandangan lain soal kehadiran marquee player di Indonesia. Sebenarnya ia tidak terlalu mempermasalahkan eksodus mantan bintang dunia ke Indonesia. Memang ada nilai positifnya, namun ada satu hal yang cukup mengganggu pikirannya, yaitu penambahan kuota pemain asing bagi klub yang bisa mendatangkan pemain dengan status marquee player.

Sebelumnya PSSI memberikan aturan setiap klub hanya boleh menggunakan 3 pemain (2 plus 1 Asia) asing selama berkompetisi. Namun setelah Persib berhasil mendatangkan Essien pada 14 Maret lalu perubahan soal kuota pemain asing berubah, jadi 4 (2 plus 1 Asia plus 1 marquee player).

“Pandangan pribadi saya agak kurang setuju dengan marquee player. Sebab, bertolak belakang dengan ide awal kita untuk memberi porsi lebih kepada pemain lokal,” katanya.

“Dengan adanya marquee player, otomatis kuota pemain asing bertambah dan lokal berkurang. dan ini bertolak belakang dengan rencana awal,” ungkap mantan kapten timnas Indonesia itu.

Kehadiran mantan pemain kelas dunia di sepakbola nasional memang bukan tanpa maksud dan tujuan. Mereka didatangkan dengan catatan mampu bisa memberikan transfer ilmu kepada pemain-pemain lokal, khususnya pemain muda. Tak bisa dimungkiri bahwa pengalaman mereka tampil di kompetisi elite dunia seharusnya bisa menjadi ilmu bagi para pemain lokal.

"Kalau kita kembalikan ke forum, melihat dari sekian banyaknya marquee player yang ada di Indonesia, ada berapa yang penampilannya memuaskan? Saya kira sedikit sekali yang tampil bagus," tegasnya.

(SN)

Komentar