Ketika Sepakbola Menjadi Tayangan dan Bukan Lagi Permainan

Cerita

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Ketika Sepakbola Menjadi Tayangan dan Bukan Lagi Permainan

Jika pornografi mulai dianggap lebih sensual dibandingkan seks, bisakah tayangan sepakbola kini dianggap lebih sporty dari bermain bola itu sendiri?

Parafrase "pornografi lebih sensual ketimbang seks itu sendiri" sebenarnya dinukil dari kalimat yang dituliskan oleh Jean Baudrillard, seorang pemikir Prancis yang masyhur dengan ide-idenya yang memblejeti situasi posmodern.

Pornografi bisa begitu menjadi candu, dan bagi banyak orang bahkan sangat mengasyikkan dan begitu sensual ketimbang aktivitas seks itu sendiri, hanya bisa terjadi dalam situasi di mana batas antara realitas dan yang-bukan-realitas sudah benar-benar kabur.

Baudrillard memperkenalkan kata kunci "simulasi" dan "simulacra".

Simulasi kira-kira berarti proses di mana gambaran (representasi) atas suatu obyek justru menggantikan kedudukan obyeknya itu sendiri. Dalam hal seks, representasinya adalah pornografi. Ketika seseorang sudah benar-benar keranjingan dengan pornografi, dia bisa sangat suntuk dan getol menekuni pornografi, mendownload berjam-jam, betah menanti streaming yang lemot. Sampai-sampai dia lupa bahwa selama berjam-jam itu dia bisa saja melakukan aktivitas seksual, entah masturbasi (yang tersial) atau bercinta (yang terbaik).

Pornografi sebagai representasi seks, justru telah melampaui seks itu sendiri. Inilah situasi ketika pornografi lebih sensual ketimbang seks. "Simulacra" adalah istilah untuk menyebut ruang sosial di mana proses simulasi macam itu berlangsung.

suporter brasil

Dengan uraian macam itu, lagi-lagi dengan kembali para paragraf pembuka, bisakah tayangan sepakbola kini dianggap lebih sporty ketimbang main bola itu sendiri?

Frase "tayangan sepakbola", untuk digariswabahi, merujuk sepakbola bukan sebagai sebuah permainan, melainkan penampilan [performance] yang ditayangkan lewat medium televisi [juga streaming internet].

Frase "tayangan sepakbola" ini juga untuk menegaskan watak yang berbeda dengan sepakbola yang disaksikan langsung di stadion. Di stadion, sepakbola hadir sebagai realitas-tak-terpermanai: anda bisa menonton penonton yang lain, anda bisa menyimak pemain yang sedang menggiring bola, dan anda juga masih bisa mengamati gerak-gerik kiper atau bek tengah saat rekan-rekan penyerangnya sedang bertarung di kotak penalti lawan yang jauhnya bisa berjarak 50 sampai 80 meter.

Sebagai sebuah tayangan, sepakbola hadir sepotong-sepotong karena "pemirsa" [ini untuk membedakan dengan "penonton" yang merujuk mereka yang hadir di stadion] tak pernah bisa menikmati sepakbola sebagai pengalaman-tak-terpermanai. Yang bisa dinikmati pemirsa adalah sepakbola yang disodorkan oleh kamera dan umumnya kamera selalu menyorot mereka-mereka yang ada di dekat bola. Apa yang dilakukan Philipp Lahm saat Arjen Robben mengambil tendangan pojok biasanya tak tampil di televisi.

Tapi, di situlah juga kelebihan tayangan sepakbola. Tayangan sepakbola mengalihkan kelemahannya itu menjadi kelebihan dengan cara memblejeti detail. Maka jangan heran jika kini tv getol menayangkan bagaimana kiper berteriak-teriak dalam gerak lambat sampai-sampai urat-urat lehernya terlihat jelas. Menakjubkan rasanya saat melihat rumput yang tercabut saat Thiago Silva melakukan tekel.

Belum lagi penetrasi informasi yang serupa banjir bandang, dipermudah oleh media sosial, yang membuat Si Asep di Ciwidey atau Si Bowo di Turi bisa tahu banyak sekali hal mengenai Rooney atau Falcao, dari makan malam di mana sampai berapa umpannya.

Detail dan rincian ini pula yang ditawarkan oleh tayangan sepakbola. Yang dirinci bukan hanya gestur dan mimik muka pemain, tapi bahkan merinci nyaris semua hal: berapa km jarak yang ditempuh Xavi selama 90 menit, berapa umpan Xavi, berapa persen akurasi tekel Chiellini, berapa duel udara yang dimenangkan Ibrahimovic, dll., dsb., dkk.

Sialnya, karena risiko mengejar detail dan rincian, bujuk-rayu detail ini membuat banyak orang merasa mengerti sepakbola hanya karena punya data statistik pemain – seakan-akan sepakbola tak lebih dari angka-angka dan seakan angka-angka bisa dibaca tanpa sekali pun peduli dengan konteks (permainannya).

Juga pertanyaan sederhana: saat rataan pemain menyentuh bola hanya 3-5 menit dalam 90 menit, bagaimana kita memahami sepakbola saat kita tak jarang peduli dengan apa yang dilakukan pemain dalam 85-87 menit saat tak memegang bola? Sementara tayangan sepakbola cenderung mengikuti bola dan pemain-pemain yang menyentuh bola atau di dekat bola.

Situasi semakin menakjubkan ketika "sepakbola sebagai tayangan" ini pun "diacak-acak" lagi oleh berbagai permainan dengan tingkat kemiripan yang makin lama makin menyerupai aslinya: dari playstation, football manager hingga fantasy premier league. Di sini, sepakbola di-hack sedemikian rupa sehingga ukuran cinta-benci pun bisa tumpang tindih dengan ajaib: fans Liverpool ingin Rooney membuat hattrick tapi Mignolet maunya tetap cleansheet.

Inilah yang membuat jarak geografis antara Ciwidey dan Turi dengan Milan dan London dilipat-pangkas sedemikian rupa sehingga sedekat mata dengan layar monitor atau layar smart-phone.

Kampanye "support your local club" kadang tak bergema di relung jiwa, bukan semata karena tak semua orang lahir dan besar di kota yang punya klub sepakbola, tapi juga karena batas antara yang lokal dan global itu gampang memiuh sedemikian rupa.

Apa artinya lokal dan global jika Si Asep di Ciwidey atau Bowo di Turi lebih gampang mencari data berapa akurasi umpan Xabi Alonso dibanding jumlah gol yang pernah dicetak Ferdinand Sinaga (Persib) atau Anang Hadi (PSS) selama karirnya.

Inilah simulasi dalam sepakbola itu. Inilah saat ketika tayangan sepakbola lebih sporty (dan lebih riil) ketimbang bermain bola atau menonton langsung di stadion.

Komentar