Representasi Kota Moscow yang Ditunjukkan Ultras Spartak (Bagian 2 - Habis)

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Representasi Kota Moscow yang Ditunjukkan Ultras Spartak (Bagian 2 - Habis)

Kota Moscow menjadi sarang ultras terbesar di Rusia. Wajar karena Moscow adalah kota berpopulasi terbesar di Rusia, kurang lebih 12 juta jiwa. Sejarah, arsitektur dan keindahan kota Moscow sebagai kota terbesar di dunia begitu dibanggakan para ultrasnya. Apalagi kota tersebut memiliki berbagai kejadian Perang Dunia II yang menjadikan Moscow sebagai kota pahlawan di Rusia. Faktor-faktor itulah yang membuat etos kehidupan masyarakat ibu kota yang selalu ingin menjadi terbaik di bidangnya masing-masing, termasuk hooliganisme yang tetap dijaga di level tertinggi pada setiap aksi Ultras Spartak Moscow.


Bagian pertama Representasi Kota Moscow yang Ditunjukan Ultras Spartak bisa dilihat di tautan ini


Pernah terjadi kerusuhan terbesar di dalam sejarah hooliganisme sepakbola Rusia pada 1999. Tribun stadion yang disesaki Ultras Spartak menjadi gila karena sebuah gol pada menit 22. Kemudian polisi memukuli kegilaan suporter Spartak itu tanpa alasan yang jelas. Bentrokan dengan polisi pun terjadi karena Ultras Spartak membalasnya dengan lemparan-lemparan kursi tribun. Pertandingan pun sempat selama 15 menit lebih (untuk pertama kalinya pertandingan sepakbola Rusia dihentikan). Ultras Spartak menunjukkan kekuatan yang sebenarnya pada waktu itu. Mereka menunjukkan perlawanan terhadap ketidakadilan polisi di tribun sepakbola untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Polisi di Rusia memang terkenal kejam. Mereka bisa menghentikan nyanyian di tribun dan mengambil spanduk serta syal milik ultras. Namun hal itu tidak pernah membuat pendukung sepakbola sejati seperti Ultras Spartak untuk berhenti. Soal perampasan spanduk dan syal memang merupakan kode etik dari setiap ultras di Rusia. Jangankan disita polisi, untuk dicuri ultras kelompok lain pun mereka tidak akan sudi. "Jangan pernah kehilangan atau meninggalkan spandukmu, jika lawan mencurinya, itu memalukan!" tegas Pavel, pemimpin Ultras Spartak bernama Fratria seperti dikutip dari These Football Times.

Ultras Spartak pun tidak memiliki sikap khusus dengan pihak klub. Manajemen Spartak acapkali melihat seolah ultras yang mendukung klub itu tidak ada. Jarang ada pernyataan-pernyataan klub yang bisa membantu ultrasnya, apalagi untuk sekadar membuat dialog apapun.

Aksi protes kepada pihak klub pun pernah dilakukan. Salah satunya melakukan aksi diam selama babak pertama karena bentuk protes permainan kesebelasannya yang saat itu begitu lemah. Pernah juga aksi protes melalui nyanyian tiada henti dengan terus menyanyikan "nama kami lebih dari uang" selama terus menerus.

Sikap itu pada umumnya dianggap Ultras bahwa tidak ada politik dan agama di teras tribun sepakbola. Di tribun hanya ada satu agama, itu adalah sepakbola, sehingga ketika mereka datang ke teras mereka lupa tentang semuanya. Pada prinsipnya, Ultras Spartak enggan sepakbola dan fanatisme sering digunakan bagi mereka yang melihatnya sekadar keuntungan dan alat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Bagi Ultras Spartak, kehormatan itu sakral dan harus ditampilkan ke semua yang terlibat dengan klub itu sendiri. "Jika hati tidak terkalahkan, kehormatan tidak dijual," cetus Pavel.

Soal Flare dan Hooliganisme Suporter Inggris Menuju Arah yang Salah

Keamanan di setiap pertandingan kandang Spartak selalu ketat secara menyeluruh. Di setiap pintu masuk selalu ada pos pemeriksaan, namun red flare (suar) masih bisa masuk ke dalam tribun. Kembang api dan red flare dilarang di seluruh pertandingan dunia, sehingga kemana pun Ultras Spartak pergi, keamanan di setiap stadion selalu menyulitkan mereka. Benda-benda terlarang di tribun itu mengkhawatirkan banyak orang dalam hal apapun dan menganggapnya sebagai ancaman. Tapi Ultras Spartak selalu mencari jalan dan tidak akan menyembunyikan rahasia itu.

Mereka tetap akan mendukung kesebelasannya dalam segala hal. Red flare dianggap sebagai perlengkapan pendukung sepakbola. Walau tidak pernah bosan berbagai tempat pertandingan selalu membuat rilisan larangan penggunaan red flare. "Kami mengatakan bahwa api bukanlah sebuah tindak kejahatan. Kami memiliki dukungan visual dalam banyaknya banner kami, misalnya `Polisi brengsek`. Itu adalah salah satu dukungan pribadi kepada tim yang merupakan perasaan ekspresi Anda kepada spanduk besar yang termasuk segala hal, termasuk sisi humor dan simbol-simbol klub," jelas Pavel.

Ia jelas mengetahui bahwa red flare dan spanduk-spanduk sarkasme itu ilegal di mana-mana termasuk di Rusia. Mereka tahu bahwa pelakunya bisa mendapatkan larangan masuk ke stadion minimal selama enam bulan. Tapi lagi-lagi Pavel menegaskan bahwa tidak ada siapa pun yang bisa menghentikan mereka. Di Rusia pun sama dilarang menyalakan red flare, tapi jarang menjadi masalah. Apalagi sistem sepakbola di Rusia tidak seperti di Inggris. Pavel pun menilai kondisi hooliganisme tidak rasional sejak langkah-langkah hukuman yang dicanangkan Margaret Thatcher, Mantan Perdana Menteri Inggris, pada 1980-an menciptakan kabinet perang kepada kekerasan sepakbola.

Pavel pun menilai karena kabinet itu cenderung mengontrol pendukung sepakbola, bahkan di seluruh dunia. Maka dari itu ia menyayangkan mengapa para pendukung sepakbola di Inggris tidak menciptakan dukungan visual seperti di Rusia. Padahal stadion-stadion di Inggris dianggap sangat ideal untuk melakukan koreografi. Di sana mereka berdiri di posisi yang mudah untuk melakukan kreasi. Setidaknya memberikan dukungan yang sederhana dan kompleks. Bisa dilakukan dengan berbagai jenis pertunjukan koreografi dari berbagai model desain di spanduk.

Para pendukung Inggris dianggap tidak bisa menggunakan setiap jenis struktur di tribun, apalagi untuk menyalakan red flare, "Saya lihat sekarang di beberapa bagian Inggris mencoba untuk meniru hal semacam ini (koreografi) di liga yang lebih rendah. Tetapi di Inggris mereka tidak mendapatkan konsep. Sepakbola Inggris dikembangkan ke arah yang salah dalam hooliganisme," kata Pavel.

Ketika ditanya tentang cara-cara ultras yang disukainya, Pavel lebih tertarik dengan situasi buatan Ultras Italia, Polandia, Prancis dan Serbia. Sebab katanya, gaya seperti ultras-ultras dari berbagai negara itulah yang dicita-citakan. Baginya begitu menyenangkan bahwa ultras belum dicampuri urusan partai dan negara. Mungkin anggapan-anggapan itulah yang membuat para ultras di Rusia begitu rajin mengusik suporter dari Inggris. Apalagi Ultras Rostov pernah mengatakan bahwa Inggris adalah nenek moyang dari hooliganisme. Dan di Kota Moscow inilah hooliganisme harus dibawa ke level yang setinggi mungkin. Bahkan lebih tinggi daripada nenek moyangnya.

Sumber: These Football Times, European Ultras, The Sun.

Komentar