Persebaya, Kota Surabaya, dan Sejarah yang Terukir (Bagian 1)

Cerita

by Redaksi 33 61913

Redaksi 33

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Persebaya, Kota Surabaya, dan Sejarah yang Terukir (Bagian 1)

Kenangan-kenangan dan sejarah yang terukir tentang Persebaya Surabaya

Koesnadi dan rekannya sedang berada di wilayah Tambaksari sore itu. Mereka sedang berada di Stadion Gelora 10 November (dinamai sesuai tanggal bersejarah di Surabaya), yang berdiri dengan tegapnya menghadap ke arah jalanan yang tak henti dilewati oleh kendaraan bermotor, baik itu milik pribadi ataupun kendaraan umum.

Ketika rekannya sedang sibuk mengambil rekaman dan foto tentang Stadion 10 November dari luar, Koesnadi memilih masuk ke dalam stadion. Lorong-lorong yang sudah dicat berwarna jingga (dulu warnanya hijau) tersebut memancarkan sebuah aura-aura kejayaan masa lampau, tentang sebuah kesebelasan Persebaya yang begitu kuat dan tangguh. Kata-kata mantan pemain Persebaya, Reinald Pieters, semakin memperkuat aura yang terpancar dari dinding-dinding stadion tersebut.

“Pengalaman saya dulu ketika main di Tambaksari, Persebaya itu selalu menang, gak pernah draw. Bahkan menangnya dengan skor besar, di atas 5-0. Lawan Persijatim (cikal bakal Sriwijaya FC di masa depan) pada 1997 saja kami bisa menang dengan skor 15-0,” ujar Pieters saat berbincang dengan Koesnadi pada suatu siang di sekitaran Tambaksari.

Koesnadi pun masuk ke dalam stadion. Terpampanglah rumput hijau di depan matanya yang sedang riuh diinjaki oleh pemain-pemain yang tak lelah berlari di atasnya. Tribun-tribun, walau beberapa bagiannya sudah terisi lumut, tampak membisu menyimpan cerita yang sudah berlalu dari masa ke masa. Pohon-pohon besar di sekitaran stadion, seolah berteriak memanggil, “Naiklah, dulu kami biasa menyaksikan pertandingan dari sini, pemandangannya enak, lho.”

Sementara rekannya masih sibuk mengambil rekaman dan foto, Koesnadi sudah terkesima terlebih dahulu oleh megahnya Stadion Gelora 10 November, Tambaksari tersebut. Selain aura kejayaan, ia juga menangkap semacam aura rindu. Aura rindu yang seolah berusaha untuk dipuaskan, dengan cara bertemu dan bertegur sapa lewat kata-kata yang tak perlu mewujud.

Berjalan-jalan di sekitar stadion, ia juga bisa mendengar dengan jelas teriakan-teriakan penonton dari arah tribun di atasnya. Teriakan yang tidak ia mengerti karena mungkin masalah bahasa yang berbeda, tapi bisa ia tangkap makna dan maksudnya. Dukungan dan semangat tanpa henti yang juga berisikan harapan, bahwa masa lalu akan kembali dengan segera. Tapi, kadang masa lalu adalah masa yang sulit untuk diulangi dan terjadi kembali, kecuali berubah bentuk sehingga kerap disebut sebagai reinkarnasi.

Saking terkesimanya Koesnadi dengan aura yang dipancarkan oleh Stadion 10 November, ia sampai tidak sadar bahwa rekannya sudah sejak lama masuk ke dalam stadion, dan menemui orang yang akan mereka wawancarai pada sore itu. Rekannya memanggilnya dari jauh, melambaikan tangan bahwa orang yang akan mereka temui sudah menunggu, dan sedang menyaksikan pertandingan yang sedang terjadi di tengah lapangan.

Ia yang terkesiap akan hal tersebut akhirnya memutuskan turun dan menghampiri orang yang kelak ia ketahui bernama Pak Totok Risantono tersebut. Pak Totok sedang duduk dengan santai di salah satu sudut stadion, terlindung dari sinar matahari sore yang menerpa lapangan dengan kencang, sembari memerhatikan para pemain yang berlari lincah di atas lapangan.

Tak begitu lama, Koesnadi dan rekannya pun langsung berbincang dengan Pak Totok, yang kebetulan pada sore itu mengenakan sebuah topi, kacamata, jaket putih, dan celana panjang berwarna coklat muram. Pak Totok menyapa Koesnadi dan rekannya dengan ramah, dan dalam waktu yang tidak sebegitu lama, percakapan pun terjadi. Percakapan yang tampak seperti sebuah mesin waktu bagi Koesnadi dan rekannya tersebut.

“Bedanya sekarang dengan yang dulu, orang-orang dulu itu kekeluargaannya tinggi. Saling ngobrol-ngobrol, saling ngasih masukan, sampai dikenalkan istrinya. Antar pemain masih sangat dekat, kumpul, guyub. Kadang sekarang tiap Minggu pagi masih sering kumpul. Gak sombong, dan bersaing dengan sehat dan sportivitas tinggi.”

"Dulu juga bahkan sering kejadian pemain menambah porsi latihan sendiri. Saya juga pernah mengalami ketika seleksi, saya diajak
oleh seorang pemain senior untuk menambah porsi latihan, menambah fisik sendiri. Semangatnya masih ada, latihan nambah sendiri, karena dilatih pelatih hanya tiga jam, oleh karena itu pemain kerap menambah porsi sendiri. Banyak latihan, supaya feeling
terasah, dan feeling itu dibentuk dengan banyak latihan," kenang Pak Totok.

Perbincangan dengan Pak Totok mengingatkan Koesnadi dan rekannya akan perbincangan yang mereka lakukan bersama wartawan senior Jawa Pos, yang sudah mulai jadi wartawan sejak 1974 dan sempat menjadi redaktur olahraga Jawa Pos dari tahun 1980-an sampai 2006, Slamet Oerip Prihadi.

Perbincangan yang berlangsung pada suatu senja di sekitaran Sidoarjo itu juga punya efek yang sama seperti yang dimunculkan ketika berbincang dengan Pak Totok. Berbincang dengan Pak Slamet, seolah Koesnadi dan rekannya kembali ke tahun 1970 sampai 1980-an. Ada nilai-nilai yang dijunjung sejak dulu, dan belum menunjukkan tanda-tanda akan muncul kembali di masa sekarang.

"Persebaya sekarang jauh, jauh berbeda dengan dulu. Sekarang kualitasnya gak sebagus dulu. Dulu itu mereka punya karakter. Sikap dan perilaku juga mereka profesional, dulu para pemain banyak menambah porsi latihan sendiri. Jam 12 siang pemain dulu bahkan sampai latihan sendiri di Stadion Persebaya. Profesionalitas dan karakter inilah yang bikin kita disegani sama lawan."

"Persebaya sekarang banyak pemain muda, jam terbangnya kurang. Pelatihnya top (Iwan Setiawan), tapi dia gak kenal kultur Surabaya. Banyak kesalahan elementer sering saya lihat di tim Persebaya sekarang. Kayak ada beban mental yang meliputi Persebaya sekarang. Harusnya ditopang pemain senior mereka," ujar Pak Slamet.

Dari segala ujaran di atas, Koesnadi mulai paham bahwa dahulu, ada budaya yang masih dipegang erat teguh. Kekeluargaan, serta etos kerja yang baik menjadi nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Semangat seperti inilah, yang akhirnya membawa tim yang berjuluk "Bajul Ijo" itu mampu beberapa kali menjadi juara, baik itu di zaman Perserikatan maupun di zaman era Liga Indonesia.

Rubrik olahraga Jawa Pos, Desember 2004 saat Persebaya juara

Koesnadi paham ada sebuah sejarah yang sudah terukir manis di benak orang-orang yang terlibat di sepakbola Surabaya. Sudah ada kesan yang terbentuk, dan tak bisa diubah dalam waktu yang dekat. Soal Persebaya yang menjadi tulang punggung sepakbola Jawa Timur di masa lampau. Soal Persebaya yang punya akar sejarah yang kuat tentang kerja keras dan tidak mau kalah.

***

Hari mulai beranjak malam. Tempat-tempat makan yang menyajikan beragam aneka kuliner khas Surabaya sudah mulai buka satu per satu. Ada tahu tek, lontong balap, penyetan, serta krengsengan. Koesnadi dan rekannya pun memilih untuk mampir ke sebuah tempat makan penyetan. Harum wangi penyetan tampaknya mampu membuat Koesnadi dan rekannya tergiur dan akhirnya mampir ke warung penyetan tersebut.

Memasuki warung penyetan yang ramai orang tersebut, Koesnadi sedikit terkesiap, ketika melihat sang pedagang penyetan ternyata mengenakan kaos legendaris bermotifkan wajah orang yang sedang membuka lebar-lebar mulutnya, dihiasi dengan tulisan We Are Back. Koesnadi tersenyum simpul, sembari bergumam dalam hati "ternyata Persebaya lebih dari sekadar kesebelasan di sini".

Sembari menyantap penyetan yang sudah tersaji, Koesnadi memikirkan sebuah masa depan. Kelak akan ada masa bahwa Persebaya kehilangan arah, di tengah-tengah modernisasi dan sepakbola industri yang mau tidak mau menyeret hampir semua kesebelasan di Indonesia, termasuk Persebaya untuk terjun berkecimpung di dalamnya.

Kelak mereka juga akan lupa akan identitas dari Persebaya itu sendiri, karena memikirkan hal-hal lain semisal keuntungan finansial yang tidak dipungkiri menjadi sesuatu yang penting untuk kelangsungan hidup kesebelasan ini.

Sejarah adalah masa lalu, dan ia sulit untuk terulang kembali di masa kini. Namun ia bisa berubah bentuk, juga bisa dijadikan bahan rujukan untuk membuat masa depan menjadi lebih baik. Persebaya sudah mengukir sejarahnya sendiri di Kota Surabaya, dan akan tetap menjadi bagian dari masyarakat Surabaya. Saat kehilangan arah, sejarah yang sudah terukir ini akan mengingatkan, bahwa Persebaya adalah salah satu kesebelasan besar di Indonesia yang sudah punya tradisi dan budaya yang kuat.

"Bring it back, bring it back. Don`t take it away from me because, you don`t know, what it means to me"

Bersambung . .


Tulisan ini adalah bagian pertama dari kumpulan hasil liputan khusus kami ke Surabaya untuk mendalami Persebaya Surabaya dan Bonek.

Kumpulan tulisan mengenai Persebaya bisa dibaca pada tautan di bawah ini:
Tulisan 1: Persebaya, Kota Surabaya, dan Sejarah yang Terukir
Tulisan 2: Proses Pembentukan Budaya Itu Bernama Pembinaan Usia Muda
Tulisan 3: Menuju Era Baru Persebaya dan Tantangan yang Harus Dijawab Manajemen

Sementara kumpulan mengenai Bonek bisa dibaca pada tautan di bawah ini:
Tulisan 4: Fenomena Tret Tet Tet yang Melahirkan Persepsi Bonek
Tulisan 5: Identitas Bonek Melalui Aksi Estafetan
Tulisan 6: Upaya-upaya Bonek untuk Mengubah Stigma Negatif di Media dan Masyarakat
Tulisan 7: Gelora Bung Tomo Belum Bersahabat dengan Bonek
Tulisan 8: Lebih Dekat dengan Perjuangan Andie Peci

Komentar