Roses Derby, "Derby" yang Melibatkan Sejarah Panjang bagi Manchester United

Cerita

by redaksi

Roses Derby,

Laga "Derby Manchester" yang mempertemukan Manchester United dengan Manchester City pada akhir pekan lalu tiba-tiba mengingatkan saya kepada laga derby yang sebenarnya lebih panas bagi Manchester United. Benarkah penggemar United menaruh "Manchester Derby" sebagai derby sesungguhnya? Siapa yang sebenarnya yang menjadi rival Manchester sesungguhnya? Manchester City-kah? Ataukah seteru mereka dari Inggris bagian selatan seperti Arsenal atau Chelsea?

Dari banyak rivalitas Manchester United dengan klub-klub lainnya, persaingan mereka dengan tim dari Yorkshire, Leeds United, menjadi salah satu rivalitas terpanas yang pernah mereka jalani di ranah persepakbolaan Inggris. Rivalitas ini disebut "Rivalry of Rose" atau juga "Roses Derby". Rivalitas tim berjuluk Red Devils dengan Leeds menjadi salah satu laga yang dinantikan selain laga melawan rival bebuyutan mereka, Liverpool.

Sejarah Peperangan, Revolusi Industri, Hingga Persaingan dari Dunia Seni

Persaingan ini berawal dari tradisi dan sejarah peperangan antara dua wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam peperangan di tanah Inggris, yaitu Lancashire dan Yorkshire. Menurut sejarah persaingan ini memicu perang yang disebut "Battle of Rose", perang saudara di abad ke-15 yang memperebutkan tahta kerajaan Inggris.

Dalam perang ini, pasukan Lancaster mengibarkan bendera kebesaran mereka yaitu mawar merah, sedangkan pasukan York mengibarkan bendera dengan lambang mawar putih. Itulah mengapa perang ini kemudian dijuluki Perang Mawar (Wars of Roses). Perang dimulai ketika para bangsawan York berhasil merontokkan kekuasaan Raja Henry VI yang berasal dari keluarga Lancaster, dan mengangkat Richard dari York sebagai penggantinya.

Sejumlah pemain terlibat perkelahian di laga semifinal Piala FA 1965
Sejumlah pemain terlibat perkelahian di laga semifinal Piala FA 1965

Selama kekuasaan Richard, orang-orang Lancashire tetap menyimpan dendam atas kekalahan mereka, dan berniat merebut kembali tahta Inggris. Terjadilah "Pertempuran Blore Heath" di Staffordshire pada 1459, dan tahta kekuasaan berhasil direbut kembali oleh Lancaster.

Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung, seiring dengan beberapa kali pergantian pemimpin kerajaan oleh Lancaster dan York. Singkat cerita, terjadi berbagai pemberontakan dan pergantian kekuasaan dari dua kubu dan menewaskan ratusan ribu orang dari peperangan yang memperebutkan kekuasaan ini.

Sampai akhirnya, Henry VII yang berasal dari Lancashire menikahi Elizabeth, putri dari Edward IV yang berasal dari Yorkshire. Hal ini menyatukan keluarga York dan Lancaster. Raja Henry VII menyatukan symbol mawar merah milik Lancaster dan mawar putih milik York, menjadi lambang mawar merah putih dalam bendera resmi kerajaan Inggris di bawah pemerintahannya.

Manchester merupakan bagian sejarah dari Lanchashire, sementara Leeds yang merupakan bagian dari Yorkshire, menjadi bagian dari rivalitas orang-orang yang berasal dari kedua wilayah geografis tersebut. Orang Inggris yang menggemari sepakbola kemudian mengadaptasi budaya perseteruan antara masyarakat di dua wilayah tersebut ke dalam sepakbola, sejak kedua klub berdiri di akhir 1800-an.

Masa revolusi industri di akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-19 juga menjadi salah satu faktor persaingan Leeds dan Manchester. Leeds yang kala itu maju oleh industri wol, harus tersaingi oleh industri kapas di kota Manchester yang sedang berkembang. Murahnya kapas serta transportasi kereta api batu bara yang murah melewati kanal Bridgewater menjadi biang keladi industri wol Leeds yang terkikis oleh industri kapas Manchester. Manchester mendapat gelar ‘Raja Katun’ karena pesatnya industri katun mereka, sehingga menimbulkan kecemburuan kulturan masyarakat Leeds terhadap masyarakat Manchester.

Dari bidang seni pun lahir kecemburuan serupa. Produk dari Yorkshire seperti novel-novel karya Keith Waterhouse, buku dan karya seni dari David Storey yang dianggap sebagai masterpiece modern oleh kalangan di Inggris, harus kalah oleh produk dari Manchester seperti musik dari band Oasis atau opera sabun Coronation Street. Orang-orang Yorkshire berpendapat kalau Manchester selalu menjadi "media darling" dan perlakuan tidak adil diperoleh orang-orang Yorkshire.

Namun versi lain menyebutkan bahwa rivalitas sesunggguhnya kedua klub baru berawal sejak 1965. Kala itu, baik Manchester United dan Leeds United sedang berburu gelar double di kompetisi domestik. Mereka kemudian bertemu di babak semifinal Piala FA 1965. Pertemuan kedua tim ini menghasilkan laga yang berjalan keras. Kerasnya laga tersebut dipicu oleh pemain Manchester United, Nobby Stiles, yang melancarkan tekel keras kepada pemain sayap Leeds, Albert Johanneson. Sejumlah pemain dari kedua tim terlibat perkelahian dan duel keras, yakni Jack Charlton dengan Dennis Law dan juga Billy Bremner dengan Paddy Crerand.

Laga replay yang dilangsungkan di Sheffield empat hari kemudian, dan dimenangkan Leeds melalui gol Billy Bremner di penghujung laga. Walaupun takluk di Piala FA, akhirnya Manchester United berhasil menjadi juara liga karena unggul jumlah gol. Sementara Leeds kala itu hanya menjadi runner-up serta kalah 1-2 di partai final Piala FA melawan Liverpool. Sejak itulah dendam lahir dan pertemuan kedua tim selalu menjadi laga yang dinantikan, bukan hanya oleh kedua pendukung namun seluruh penikmat sepakbola Inggris.

Budaya hooliganisme yang mencapi puncaknya pada 1970-an juga ikut memberi andil dalam rivalitas kedua klub. Dua firm dari masing-masing klub yang terkenal disegani, Leeds United Service Crew dan Red Army, kerap berseteru di dalam maupun di luar tribun stadion.

Rivalitas kedua klub sebenarnya sempat reda saat Manchester United terdegradasi ke Division Two pada 1974. Leeds kala itu yang sedang mengalami masa jaya, hanya kalah empat kali dari 25 pertemuan atas Manchester merah. Tampaknya, itu tidak berlaku bagi fans. Berbeda divisi malah lebih menyulut rivalitas antara kedua penggemar menjadi lebih dalam.

[tr]

ed: fva

Komentar