Cerita Kapuscinski tentang Berdarahnya Laga El-Salvador vs Honduras

Football Culture

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Cerita Kapuscinski tentang Berdarahnya Laga El-Salvador vs Honduras

Di beberapa negara bagian Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin dan lainnya pernah terjadi sekitar 27 peristiwa revolusi. Itu semua berlangsung selama tahun 1960-an dan awal 1970-an. Peristiwa-peristiwa itu diikuti oleh seorang jurnalis dari Polandia bernama Ryszard Kapuscinski dan disaksikan langsung olehnya.

Kemudian cerita dari pengalaman-pengalaman daerah konflik tersebut dirangkum dalam buku bernama The Soccer War. Ada beberapa hubungan konflik dan sepakbola dalam buku terbitan Vintage International itu.

Salah satunya menceritakan laga sepakbola di kualifikasi Piala Dunia 1970. Terjadi perang antara Honduras dan El Salvador akibat kompetisi bergengsi dunia yang kala itu digelar di Meksiko.

Situasi antara Honduras dengan El Savador tengah memanas karena isu pengambilan tanah secara paksa. Waktu itu begitu banyak imigran El Savador yang tinggal di Honduras. Mereka banyak mendiami tanah-tanah milik penduduk asli Honduras. Itulah yang mendorong pemerintah Honduras ingin merebut kembali tanah-tanah itu dikembalikan kepada yang punya.

Permasalahan tersebut menjalar ke pertandingan sepakbola. Kebetulan memang terjadi laga antara Honduras dan El-Salvador di kualifikasi Piala Dunia 1970. Laga tersebut menjadi sangat krusial karena memperebutkan tiket untuk melenggang ke Meksiko.

Kapuscinski sendiri memiliki teman sesama jurnalis di Meksiko bernama Luis Suarez. Dia memberikan banyak cerita tentang Amerika Latin kepada Kapuscinski. Terutama soal politik Amerika Latin terkait jatuhnya pemerintahan atau kembalinya pemerintahan lama.

Maka Suarez pun memiliki perkiraan yang kuat mengenai situasi yang akan datang di masa berikutnya. Seperti kejatuhan Goulard di Brazil, diktator Bosch di Republik Dominika dan rezim Jimenez di Venezuela. Termasuk kembalinya Peron sebagai Presiden Argentina dan masa kritis diktator Haiti, Francois Duvalier.

Suarez percaya jika perang akan meletus di antara keduanya. Meletus atas dasar yang terjadi secara alami dan bukan karena sepakbola. Diceritakan Luiz jika politik dengan sepakbola itu samar dan ketegangan memang sudah tinggi di luar itu. Jika sepakbola muncul, itu tak bisa dilepaskan dari posisi sepakbola sebagai bagian tak terpisahkan, atau saling tumpang tindih, dengan politik, juga sentimen nasional yang menjadi kebencian.

Ternyata benar adanya. Ketegangan antara keduanya sudah terjadi sebelum pertandingan. El savador dan Honduras mendapatkan teror dari siapa saja yang menjadi tuan rumah (laga berlangsung dua leg). Saat El Savador harus bertandang ke Honduras, hotel tempat menginap para pemain dipenuhi kerumunan suporter tuan rumah yang meneror, begitu juga sebaliknya. Hujan batu dan telur busuk mesti diterima kaca-kaca hotel yang disinggahi. Diramaikan juga oleh teriakan, cacian, siulan dan ledakan petasan yang sulit membuat kesebelasan tamu terlelap guna beristirahat.

Teror semacam itu dilakukan dengan asumsi untuk menghadirkan kelelahan bagi kesebelasan lawan. Dampak yang disasar adalah para pemain tidak bisa bermain maksimal karena tidak cukup mendapatkan istirahat di malam harinya.

Itulah yang dialami El Salvador di laga pertama di Tegucigalpa, ibu kota Honduras. Mereka bermain begitu sulit dan lelah. Gol pada menit-menit akhir dari Roberto Cardona, penyerang tuan rumah, memulangkan El Savador dengan nihil poin.

Kekalahan itu tidak bisa diterima oleh Amelia Bolanos, seorang gadis El Salvador. Ia mengambil pistol milik ayahnya dan menembakkan pelurunya ke jantungnya sendiri. Seluruh negeri dipenuhi pemberitaan mengenai kejadian itu. "Gadis Muda Tidak Tahan Melihat Tanah Airnya Bertekuk Lutut," tulis EL Nacional harian di El Salvador.

Presiden dan para menterinya pun juga turut hadir ketika pemakaman Amelia dan melibatkan para tentara. Hari perkabungan pun dinyatakan berlaku di seluruh wilayah El Salvador.

Dalam situasi panas itulah laga kedua antara dua negara itu harus dilangsungkan. Dan tuan rumah akhirnya menang dengan skor 3-0. Tapi laga berlangsung dengan dipenuhi insiden. Dua pendukung Honduras tewas. Kerusuhan pecah di perbatasan kedua negara. 150 mobil dibakar dan beberapa saat kemudian perbatasan pun ditutup.

Di Tegucigalpa, ibukota Honduras, bermunculan grafiti yang menyerukan pembalasan dendam terhadap kekalahan telak itu. Kapuscinski kebetulan sedang berada di Tegucigalpa.

Perang pun akhirnya meledak. Pertempuran antara kedua negara itu berlangsung sekitar 100 jam lamanya.

Sepakbola dan peperangan kadang saling terkait. Simak cerita tentang kaitan sepakbola dan peperangan:

Ketika Para Pemain Sepakbola yang Bertempur di Perang Dunia
Selingan Indah Sepakbola di Hari Natal & Perang Dunia
Suriah, Sepakbola, dan Perang Saudara
Salah Paham Analogi Perang à la Rinus Michels
Tolstoy Cup dan Sepakbola Antara Perang dan Damai
Pemain Brasil Hentikan Perang Saudara Nigeria



Cerita itu merupakan potret informasi yang diceritakan Kapuscinski. Bagaimana konflik sepakbola bukan sekadar 90 menit saja, melainkan bisa meledak menjadi hal-hal tak terduga.

Di sisi lain peristiwa yang diolah menjadi buku The Soccer War ini menonjolkan sisi unik Kapuscinski. Penulis lulusan Universitas Warsawa ini disebut-sebut membangun genre baru penulisan yaitu magic journalism, tapi Kapuscinski lebih suka menyebutnya literary reportage atau liputan sastrawi. Istilah itu kini lebih populer disebut dengan literary journalism atau jurnalisme sastrawi.

Genre ini tidak mencoba menghadirkan kata-kata indah yang mendayu-dayu. Sama sekali bukan. Jurnalisme sastrawi tidak berindah-indah dengan kata dan kalimat, melainkan membangun penulisan dengan menghidupkan elemen-elemen yang biasanya muncul dalam karya sastra. Elemen-elemen seperti penggambaran suasana yang hidup, penokohan dan karakterisasi, konflik, percakapan dan plot yang dirancang dengan rapi merupakan watak sastra yang dipraktikkan dalam genre jurnalisme ini. Hanya saja, dasarnya tetap fakta, tetap sesuatu yang nyata terjadi, bukan hasil khayalan dan karangan sembari melamun di bawah pohon yang rindang.

Itulah yang membuat pembaca lebih gampang membayangkan peristiwa demi peristiwa dalam buku setebal 234 halaman ini.

30488766_0_Img2

Judul Buku: The Soccer War
Penulis: Ryszard Kapuscinski
Penerbit: Vintage International
Tahun: 1992
Tebal: 234


Komentar