Terima Kasih, Opa Riedl!

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Terima Kasih, Opa Riedl!

Artikel #AyoIndonesia karya Exvip Panca Kusuma

Pada hari itu, 10 Juni 2016, digelar konferensi pers di kantor PSSI, yang di hadiri Acting President PSSI, Hinca Panjaitan, dan Sekjen PSSI, Azwan Karim, mengapit satu sosok yang tidak asing di persepakbolaan Tanah Air; Alfred Riedl. Ya, hari itu secara resmi PSSI menunjuk Alfred Riedl sebagai pelatih kepala timnas senior Indonesia.

Banyak yang kaget, heran, bingung, dan banyak ekspresi-ekspresi lainnya yang mengiringi penunjukan Alfred Riedl sebagai pelatih timnas Indonesia. Tak sedikit yang mencibir, ragu, hingga memaki-maki PSSI di sosial media dan di forum-forum suporter tentang penunjukan Alfred Riedl ini, saya salah satunya dan saya yakin sebagian dari kalian pun melakukannya.

Banyak yang beranggapan apa yang telah terjadi setahun belakangan tidak membawa perubahan sama sekali di tubuh PSSI. Setelah dibekukan oleh FIFA selama satu tahun, dan terjadi tarik-ulur antara PSSI-Pemerintah dan juga FIFA yang menyita perhatian dan energi masyarakat bola indonesia, ternyata kondisi persepakbolaan di Indonesia tidak kemana-mana. Masih jalan di tempat, atau bahkan mundur. Toh, ternyata yang ditunjuk sebagai pelatih timnas juga Riedl lagi, Riedl lagi, ‘Lu lagi Lu Lagi’.

Dengan pencapaian Riedl dan timnas Indonesia sejauh ini, tak sedikit yang pesimistis dengan masa depan timnas Indonesia. Indonesia sendiri saat itu dipersiapkan untuk mengikuti Piala AFF 2016, dan menyeleksi beberapa calon pelatih Indonesia, yang uniknya Riedl tak ada dalam daftar tersebut.

Sebelumnya memang tersiar kabar bahwa PSSI sedang menyeleksi beberapa nama pelatih lokal untuk ditunjuk menjadi pelatih timnas, dengan nama Nil Maizar, Rahmad Darmawan, dan Indra Sjafrie sebagai favoritnya. Namun belakangan nama yang disebut terakhir menyatakan mundur dari pencalonan dengan berbagai alasan yang salah satunya menyangkut kondisi persepakbolaan di Indonesia yang belum kondusif. Dan tiba-tiba saja PSSI mengumumkan Alfred Riedl yang terpilih menjadi pelatih timnas.

Memang setelah dibekukan selama satu tahun dan langsung dibebankan mengikuti turnamen dalam waktu yang sangat mepet bukanlah tanggung jawab yang mudah. Tetapi Alfred Riedl menerima tanggung jawab itu. Tidak mendengarkan kritik, dia langsung bekerja. Dengan didampingi oleh Wolfgang Pikal dan asisten barunya, Hans-Pieter Schaller, Riedl keliling indonesia menyaksikan berbagai pertandingan untuk menyeleksi dan memilih komposisi pemain. “PSSI tak akan kasih saya nama (pemain). Saya yang akan cari sendiri,” begitu cetus Riedl.

Begitu berlikunya jalan yang harus ditempuh Riedl untuk dapat mengumpulkan pemain-pemainnya. Pemusatan latihan dan seleksi dijadwalkan beberapa kali, dan beberapa kali pula Riedl mendapati kenyataan beberapa pemainnya tidak dilepas klub karena masih menjalani liga tak resmi.

Sampai menjelang dimulainya Piala AFF, Riedl kembali menghadapi kenyataan bahwa operator kompetisi lokal (you know who?!) dan PSSI sepakat bahwa setiap klub hanya mengizinkan dua pemainnya untuk membela timnas. Ini bagaikan pukulan telak yang harus diterima Riedl. Dia yang sejak awal yakin bisa membawa timnas ke final, harus menjilat ludahnya sendiri.

“Kami ubah target karena situasi berubah bagi saya, kami tak bisa membentuk tim yang paling kuat karena ada beberapa pemain yang tak bisa kami ajak,” demikian kata Riedl.

Pukulan tidak sampai di situ saja, beberapa hari jelang berangkat di Filipina untuk menjalani penyisihan grup, Irfan Bachdim mengalami cedera dan tak bisa ikut serta di turnamen. Lengkap sudah. Semakin pesimis saja masyarakat Indonesia.

Tetapi Riedl tak patah semangat. Dia jalan terus. Timnas jalan terus. Thailand dihadapi di partai pertama babak panyisihan grup. Hasilnya? Kalah 4-2. Makin pesimis? Partai kedua dijalani. Hasilnya? Berimbang 2-2 lawan tuan rumah Filipina. Di sini asa kembali muncul. Poin pertama yang krusial.

Dan partai terakhir pun dijalani. Indonesia yang awalnya tertinggal 0-1 oleh Singapura berjuang tak kenal lelah dan berbalik unggul 2-1 sampai akhir pertandingan dan berhak lolos ke semifinal. Luar Biasa. Hasil ini disambut dengan penuh sukacita oleh masyarakat indonesia. Semangat kembali berkobar. Tiket semi final lawan Vietnam pun diburu.

Bertempat di stadion Pakansari - Bogor, para pemain timnas berjuang tak kenal lelah menghadapi Vietnam dalam pertandingan semifinal leg pertama. Dukungan 30 ribu suporter yang menjejali setiap sudut stadion seolah menjadi pemain ke-12 buat timnas Indonesia.

Semua bersorak saat peluit akhir dibunyikan dan timnas secara mengejutkan menang dengan skor 2-1. Tetapi Riedl tetaplah Riedl. Dia tetap tenang, tak terlalu larut dalam euforia kemenangan. Namun dalam kata-katanya sudah terselip optimisme untuk bisa melaju ke final.

“Kemenangan di laga pertama bagus untuk membuka pintu lebih lebar ke final. Kebobolan satu gol memang tak bagus, tapi kami yakin bisa mencetak gol di sana,” kata riedl.

Benar saja, bertempat di Stadion My Dinh Hanoi, di hadapan puluhan ribu pendukung Vietnam yang terus mengintimidasi, sebuah umpan mistis Boaz Solossa secara ajaib di belokkan oleh bek vietnam dan disontek dengan cepat oleh Stefano Lilipaly di mulut gawang, 1-0 untuk Indonesia.

Drama tidak berhenti sampai di situ. Kiper Vietnam sempat dikartu merah karena menendang Bayu Pradana, Vietnam malah berbalik unggul 2-1. Namun penalti Manahati Lestusen di masa perpanjangan waktu memaksakan hasil imbang 2-2. Di laga itu para pemain timnas berjuang tak kenal lelah untuk menahan gempuran para pemain Vietnam untuk dapat lolos sampai ke final.

Selepas pertandingan, Riedl tidak bisa lagi menyembunyikan kegembiraannya. Dia yang biasanya terkesan tenang dan cenderung dingin terlihat sangat bahagia. Senyuman yang selama ini nyaris tak pernah terlihat, malam itu mulai muncul di sudut bibirnya.

“Kalian bisa menanyakan apapun tentang Thailand setelah besok, malam ini biarkan kami menikmati dulu kemenangan ini,” ujar Riedl ketika ditanya kemungkinan bertemu Thailand di Final.

Tibalah saatnya timnas bertanding di final. Masih bertempat di stadion Pakansari, timnas berjibaku menghadapi Thailand. Sempat tertinggal 0-1 oleh sundulan Teerasil Dangda, timnas sekali lagi berjuang dengan luar biasa untuk dapat membalikkan keadaan melalui gol Rizky Pora dan Hansamu Yama. 2-1 untuk indonesia. Asa Juara membuncah di benak seluruh rakyat Indonesia. Thailand bisa kita kalahkan.

Tetapi seperti empat Final yang sudah-sudah, saat harus menghadapi Thailand di Stadion Rajamangala – Bangkok, timnas tak kuasa menghadang kesempurnaan Thailand. Gawang Kurnia Meiga dibobol dua gol tanpa balas. Thailand menang dengan agregat Gol 3-2. Thailand juara, Indonesia peringkat dua.

Tak sedikit yang kecewa dengan hasilnya, tetapi mayoritas publik sepakbola Indonesia tetap bangga dengan perjuangan Timnas. Bagaimana Timnas bermain secara kolektif, bekerjasama, bermain penuh semangat tanpa kenal lelah di tengah keterbatasan dan masalah bahkan sejak tim mulai dibentuk, telah mendapatkan tempat di hati rakyat Indonesia.

Tapi marilah kita menengok sejenak sosok yang duduk di sudut sana; seorang tua yang berasal jauh dari negeri seberang benua, sosok yang di awal penunjukannya sempat kita sangsikan, kita ragukan, kita hujat karena kegagalannya dalam turnamen sebelumnya.

Atau marilah kita merenung sejenak, benarkah kegagalan timnas di Piala AFF 2010, 2014, dan 2016 ini (saat di latih Riedl), adalah murni kesalahan Riedl yang membuat kita begitu meragukannya di awal-awal penunjukannya? Ataukah ada sebab-sebab lain yang sebenarnya di luar kuasa seorang Riedl?

Apapun itu, dalam kesempatan ini marilah kita sejenak berbesar hati untuk dapat setidaknya berterima kasih atas apa yang telah dia lakukan untuk timnas Indonesia selama ini. Dia yang dapat membakar semangat pemain-pemain Garuda sehingga mampu berjuang sebegitu-luar-biasanya di tengah keterbatasan yang dimiliki hingga akhirnya dapat melangkah hingga ke final.

Dia yang dengan mantap menerima tanggung jawab sebagai pelatih timnas di saat para pelatih lokal masih diliputi keragu-raguan. Dan marilah kita dengan hati yang tulus mengucapkan permohonan maaf karena sempat meragukannya, bahkan menghujatnya, di awal penunjukannya sebagai pelatih timnas Indonesia. Karena, seperti kata Stefano Lilipaly, piala hanyalah sebuah simbol, yang terpenting adalah cara kita berjuang, kita semua bekerjasama demi negeri kita tercinta Indonesia. Itu semua sedikit banyak berkat jasa seorang Riedl. Terima kasih, Opa Riedl.

Penulis berakun Twitter @brana_zk. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.

Komentar