Sepakbola telah memberikan citra berbeda bagi Marlon King. Memulai karirnya pada 1998 bersama klub divisi empat, Barnet, King selalu dihadapkan pada dua penilaian yang dialamatkan pada dirinya. Pertama, orang-orang yang menganggap kehadirannya memiliki efek negatif bagi tim. Kedua, mereka yang secara terbuka menerima dan mengharapkan kemampuannya bermain sepakbola dapat mengkatrol prestasi tim.
Ketika ia membela Wigan pada 2009, ia telah melakukan kekerasan seksual pada seorang wanita di sebuah klub malam. Wigan pun kemudian memecatnya karena banyak pihak, khususnya para pendukung Wigan, mengecam kelakuannya tersebut karena bisa memberikan dampak negatif bagi tim.
Tapi catatan negatif tersebut tak membuat King sepi peminat. Setelah dipecat Wigan, Coventry City, Birmingham City, dan Sheffield United bergiliran menggunakan jasanya. Dan King pun menjawab kepercayaan yang diberikannya dengan mencetak 42 gol dari 103 penampilannya bersama tiga tim tersebut.
Hal tersebut sempat menjadi perdebatan di Inggris karena banyak pihak yang menyayangkan seorang kriminal, khususnya kejahatan seksual, dibiarkan untuk bermain di sebuah klub profesional. Apalagi kasus kriminal pertama yang dilakukanKing.
Ketika ia bermain untuk Gillingham pada 2002, ia terlibat dalam aksi pencurian mobil. Atas perbuatannya itu ia harus mendekam di penjara selama 5 bulan. Namun, pihak Gillingham tak memperlakukannya seperti yang Wigan lakukan. Malahan Gillingham mendapatkan keuntungan ketika King keluar dari penjara. Pasalnya,  Nottingham Forest  rela mengeluarkan dana 2 juta poundsterling untuk memboyong King ke City Ground Stadium.
Hal yang serupa juga dialami oleh Ched Evans. Mantan penyerang Sheffields United dan timnas Wales ini dijebloskan ke penjara setelah terbukti melakukan pemerkosaan pada tahun 2012. Namun sempat tersiar kabar bahwa Evans akan kembali dikontrak pada musim panas kali ini.
Tentunya ini mengundang respons negatif dari para fans. 60.000 penggemar telah mengirim petisi pada pemilik klub, Kevin McCabe, atas penolakan keputusan tersebut. Menurut mereka, perekrutan kembali Evans bisa memberikan pesan negatif pada pemuda dan fans wanita. Atas permintaan fans itulah, akhirnya klub mengurungkan niat merekrut Evans.
Selain King dan Evans, pemain yang merupakan mantan narapidana di Inggris adalah Lee Hughes. Hughes pernah menjalani hukuman tiga tahun penjara atas dakwaan mengemudi dengan sembarangan dan dapat  mengancam nyawa orang lain. Setelah selesai menjalani hukumannya, ia kembali melanjutkan karir sepakbolanya sebagai pemain Notts County.
Lalu mengapa publik Inggris menentang gagasan âmempekerjakanâ mantan narapidana untuk bermain untuk klub mereka?
Menurut Callum Farrell, kolumnis blog backpagefootball, sistem pidana di Inggris baru memperbolehkan seorang mantan narapidana kembali memiliki pekerjaan setelah masa di mana ia menjalani kehidupan sehari-hari sama dengan masa tahanan. Misalnya Lee Hughes yang dipenjara selama tiga tahun, jika mengacu pada peraturan di atas, seharusnya Hughes baru boleh kembali menjadi sepakbola profesional setelah tiga tahun ia keluar dari tahanan.
Karenanya, masalah-masalah seperti ini, sampai sekarang, masalah ini masih terus diperdebatkan. Di satu sisi masyarakat Inggris tentunya tidak mau ambil resiko jika mantan narapidana tersebut kembali melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, mereka mengganggap seorang mantan tahanan perlu direhabilitasi, sampai benar-benar bisa âkembaliâ hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya.
Tapi di sisi lain, sisi manusiawi beberapa pihak membuat para exÂ-pelaku kejahatan ini perlu diberi kesempatan kedua untuk kembali menyambung hidupnya. Seperti misalnya Marlon King. Meski ia pernah melakukan tindakan kriminal, tak dapat dipungkiri bahwa King adalah seorang pesepakbola berbakat, buktinya ia pernah 23 kali membela timnas Jamaika dan mencetak 12 gol.
Ya, bagaimana pun juga, kriminal adalah kriminal. Masyrakat tentunya memiliki trauma tersendiri dan memiliki pandangan negatif terhadap mantan pelaku kejahatan ini.  Jadi wajar apabila King, Hughes dan Evans diperlakukan seperti itu. Bukankah setiap manusia menuai apa yang ia tanam?
foto: birminghammail.co.uk
[ar]
Komentar