Sepakbola memang medium segala rupa, bisa jadi alat pemersatu bangsa dan menurunkan eskalasi konflik, seperti di Ambon, di akhir 90-an. Sepakbola juga bisa dijadikan alat mendulang suara, seperti yang kita lihat belum lama ini, saat Indonesia hendak melangsungkan pemilu 9 April lalu. Bisa juga dijadikan media untuk mengalihkan isu dan mencairkan perlawanan, seperti yang ada di Thailand, hari ini.
Setelah Perdana Menteri Thailand, Yingluck Shinawatra, diminta untuk turun tahta oleh Mahkamah Konstitusi lantaran dituduh telah menyalahgunakan kekuasaan, mantan menteri perdagangan Niwattumrong Boonsongpaisan pun diangkat menjadi perdana menteri sementara.
Namun, keputusan tersebut kembali menuai protes dari oposisi. Pasalnya, pengganti Yinluck berasal dari partai penguasa, Partai Phue Thai.
Aksi protes pun kembali pecah. Puncaknya, dua orang dari kubu oposisi tewas dan dua puluh orang lainnya mengalami luka-luka terkena tembakan dan juga ledakan saat melakukan aksi di dekat Monumen Demokrasi di kota Bangkok. Dengan tambahan 2 orang tewas itu, berarti total sudah ada 27 korban jiwa yang tewas dalam konflik politik di Thailand, yang mulai pecah sejak November tahun lalu.
Melihat kondisi tersebut, militer Thailand mencoba mengambil alih tampuk kekuasaan Negeri Gajah Putih itu. Dengan tedeng alih-alih menjaga stabiltas nasional, junta militer Thailand kembali berkuasa sejak 20 Mei 2014. Awalnya, pemerintahan darurat militer itu hanya akan berlangsung selama dua pekan. Namun, nyatanya, sampai saat ini mereka masih saja berkuasa.
Atas nama menjaga stabilitas nasional pula, seluruh stasiun televisi yang ada di Thailand diblokir. Hanya militer saja yang boleh mengeluarkan informasi-informasi. Itupun setelah melewati banyak penyaringan yang dilakukan oleh pihak militer.
Kudeta yang dilakukan militer ini pun menuai protes. Rakyat Thailand tak terima jikalau mereka kembali diperintah oleh militer yang kerap bertindak represif. Dan manakala militer kembali berkuasa, sama saja demokrasi yang mereka idam-idamkan selama ini menjadi (kembali) ternoda.
Perlawanan menolak junta militer pun kembali pecah. Tak hanya di Bangkok, di provinsi Chonburi pun begitu. Salam tiga jari pun ada dimana-mana. Sebuah salam anti junta militer yang diambil dari film Hunger Games.
Namun, lagi-lagi, penolakan tersebut dengan mudah dapat direndam militer dengan tindakaakn represif. Meliter menculik dan menangkap aktivis-aktivis tersebut. Yang terbaru adalah penangkapan Sombat Boonngamanong, seorang aktivis yang memimpin kampanye anti junta militer di internet.
Meski terus mendapatkan perlakuan represif, masyarakat Thailand tak pernah mengendurkan semangat perlawanannya. Perlawanan justru semakin meluas. Salam tiga jari yang awalnya hanya ada di Bangkok, lambat laun mulai menjamur ke seluruh penjuru negeri.
Praktis, aksi massa tersebut membuat risih militer. Militer tak ingin pemerintahan yang telah mereka duduki, selalu digoyang oleh rakyat Thailand.
Dan manakala Piala Dunia sudah di depan mata, aparat pun berusaha mencari simpati lewat pesta akbar sepakbola sejagad raya ini. Mereka ingin mencari simpati untuk melanggengkan kuasa dengan membebaskan rakyat Thailand menyaksikan Piala Dunia dari layar kaca.
Mulai hari ini, pemerintah militer menginstruksikan lembaga penyiaran untuk memastikan semua stasiun televisi yang ada dapat menyiarkan siaran langsung Piala Dunia secara cuma-cuma. Menyoal hak siar yang sudah dibeli oleh stasiun televisi swasta, junta militer akan mengganti biaya kompensasi penyiaran tersebut.
Ya, lewat Piala Dunia, junta militer Thailand ingin mencari simpati dan dukungan rakyat Thailand. Lewat Piala Dunia pula, junta militer hendak sedikit meredakan semangat perlawanan rakyat Thailand agar mereka terus bertahta.
Lantas, cairkah semangat perlawanan rakyat Thailand itu karena disuguhi Piala Dunia secara cuma-Cuma? Atau mereka akan menikmati malam dengan menyaksikan Piala Dunia yang �"diberikan�" junta militer, lalu kembali melakukan perlawanan ketika siang tiba? Entahlah. Yang pasti, kemilau Piala Dunia hanya akan menyilaukan mata saja, bukan mata hati rakyat Thailand.
[foto: telegraph]
(mul)
Komentar