Setelah kesuksesan di Eropa dan di dunia selama hampir satu dekade ini, tanda-tanda keruntuhan ini telah muncul. Berawal dari kekalahan 3-0 dari Brasil di final Piala Konfederasi 2013, skuat La Furia Roja sudah menunjukan tanda-tanda keletihan mereka.
Pemain-pemain yang telah termakan usia, rasa lapar yang telah berkurang, keraguan atas performa Iker Casillas, Xavi yang sudah mulai lelah, dan tanda-tanda lainnya, seolah membuat tim ini enggan untuk melakukan peremajaan generasi emas mereka. Dengan masih dituntut untuk bermain tikitaka, apakah tidak ada cara yang lebih ortodoks bagi Spanyol untuk mencetak gol?
Ada banyak alasan yang beragam, tetapi dalam kasus Spanyol ini tampaknya mereka memang telah lupa bagaimana cara untuk mengatasi masalah untuk mengendalikan permainan. Atau mungkin juga ada perasaan bahwa hasrat mereka untuk sukses telah sirna, seperti FC Barcelona musim ini.
Rasanya masalah Spanyol lebih berkaitan dengan penurunan generasi pemain dibandingkan dengan pendekatan taktis yang sudah mulai kadaluarsa.
Bagaimana Tikitaka Dihancurkan?
Nyatanya Spanyol masih memiliki penguasaan bola yang lebih besar daripada Chili pagi ini, seperti mereka juga yang menguasai lebih banyak penguasaan bola daripada Belanda pada pertandingan pembuka. Namun kedua lawan mereka, yang menggunakan 3-4-1-2 atau 3-4-3, mampu membanjiri daerah-daerah dimana Spanyol hobi melakukan operan-operan segitiga.
Lalu dengan menekan tinggi, lawan-lawan mereka mampu mengambil keuntungan dari kecepatan penyerang mereka. Bukan kebetulan bahwa Chili membuat gelisah Spanyol lebih daripada tim lain di Afrika Selatan empat tahun lalu, tapi ketika itu tim Spanyol adalah tim Spanyol yang lebih berenergi dalam merespon itu semua.
Spanyol yang Mandul
Spanyol tidak bisa mencetak gol dari open-play sepanjang turnamen ini. Pasukan del Bosque terlihat frustrasi pada penyelesaian akhir, mereka tidak dapat mencetak gol ke gawang Claudio Bravo meskipun berhasil melepaskan 16 tembakan.
Australia menunjukkan Spanyol bahwa pertahanan Chili lemah menghadapi umpan lambung. Dengan Diego Costa yang bertipikal pemain yang unggul duel bola udara, Spanyol seperti sudah siap untuk mengekspos pertahanan Chili.
Namun, yang terjadi di atas lapangan malah nihilisme. Sampai menit ke-64, sebelum Costa ditarik keluar, Spanyol berusaha melepas 28 umpan-umpan panjang dan mengirim 12 crossing untuk mencari Costa. Sayangnya jumlah percobaan tersebut tidak direfleksikan dengan jumlah tingkat kesuksesannya.
Costa, yang belum bisa mencetak satupun tendangan ke gawang dalam 126 menitnya di atas lapangan, kemudian digantikan oleh Fernando Torres. Torres terlihat lebih efektif di final third setelah masuk pada menit ke-64. Penyerang Chelsea ini berhasil memenangkan 5 dari 6 duel udara ketika Costa tidak bisa memenangkan satupun dari 3 duel udara. El Nino juga berhasil menyelesaikan 7 dari 9 operannya di final third.
Chili Berhasil Menciptakan Momok yang Sempurna untuk Tikitaka
Chili mempertahankan work-rate dan tempo yang luar sebagai modal yang membawa mereka ke babak 16 besar, mereka berhasil membuat 62 ball recovery. Setengah lusin pemain mereka membuat 6 atau lebih ball recovery untuk membantu pasukan Sampaoli mendapatkan kembali penguasaan bola, dengan Marcelo Diaz yang paling banyak, yaitu dengan 9 ball recovery.
Sementara pemain sayap Eugenio Mena dan Mauricio Isla adalah dua bintang pada pertandingan ini. Terutama Isla yang sering menunjukan energi dinamonya untuk naik dan turun untuk membantu Sanchez di depan.
Dengan formasi 3-4-1-2, Sampaoli menugaskan Mena dan Isla untuk menjadi dua pemain yang paling lelah dan berkeringat pada pertandingan ini. Sebagai satu-satunya pemain di kedua dimensi sayap, kedua pemain ini menunjukan kinerja sempurna mereka.
Sebuah Akhir dari Tikitaka
Sebuah akhir dari tikitaka? Spanyol mendapatkan akurasi operan terendah mereka dalam pertandingan Piala Dunia (81,7%) sejak kekalahan mereka di perempat final melawan Korea Selatan pada Juni 2002 (78,7%). Selain itu, pemain andalannya, Andres Iniesta juga malam ini melakukan operan yang juga paling sedikit (52 operan) di 8 pertandingan terakhirnya di Piala Dunia, padahal ia selalu bermain selama 90 menit penuh.
Namun, pertanyaan pamungkas âApakah rezim tikitaka Spanyol sudah berakhir?â memang belum bisa dijawab sekarang. Tanpa menunjuk kambing hitam, bisa jadi masalah Spanyol bukanlah pada cara bermain mereka, tapi pada pemain-pemain mereka atau bahkan mental mereka.
(dex)
Komentar