Selepas rezim Soeharto yang berkuasa 32 tahun, ada satu hal yang dulu dikekang, tapi kini dianggap kebablasan: kebebasan berpendapat.
Kebebasan ini dijamin oleh UUD 1945 terutama di pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia. Siapapun bebas berpendapat, berserikat, dan membela negara. Politik bisa diartikan sebagai kegiatan bela negara yang sah bahkan diwajibkan oleh undang-undang.
Ini pula yang dilakukan para penggawa timnas U-19. Sebagai pemilih pemula, beberapa dari mereka sudah memiliki pandangan politik yang jelas. Ini patut diapresiasi karena sebagai anak muda, mereka mau menggunakan hak pilihnya dalam menentukan kelangsungan negara ini.
Di masa orde baru, banyak yang menganggap dengan tidak menjadi golongan kuning, merah, ataupun hijau sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim yang tengah berkuasa.
Tapi, di masa kini, menjadi golongan putih, dan tidak menentukan dukungan, dianggap sebagai golongan yang tidak memiliki sikap untuk membenahi negara ini. Saat ini, jamak ditemui anak muda yang ramai-ramai mengkaji politik dan sejarah, sebelum mereka menentukan pilihannya.
Para pemuda inilah yang pada dua puluh tahun mendatang akan memimpin Indonesia. Dengan mengerti peta politik dan memiliki pandangan politik yang jelas, diharapkan mereka melakukan tindakan yang benar demi kemajuan negeri ini.
Sejumlah pemain timnas U-19 menyatakan dukungan tersebut lewat akun twitter mereka. Tercatat, ada enam pemain dan dua staf yang terang-terangan berkicau terkait pilihan mereka di Pemilihan Presiden Indonesia, Juli mendatang.
Pemain yang mendapat sorotan adalah sang kapten, Evan Dimas Darmono. Ia berkicau dua kali dengan tagar #prabowohattano1. Kicauan yang sama juga dituliskan sang pelatih, Indra Sjafri yang menganggap Prabowo dan Hatta dapat membawa bangsa ini sebagai bangsa yang berdaulat.
Pemain lainnya seperti Muhamad Sahrul berkicau serupa: âIndonesia Bangkit yesss#PrabowoHattaNo1â.
Dukungan terhadap pasangan Prabowo-Hatta pun ditunjukkan oleh Fatchu Roman, Hansamu Yama, Muhammad Hargianto, dan staf pelatih, Randy Nindito. Tapi, hal berbeda diperlihatkan Dimas Drajad yang ternyata mendukung pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla.
Ada hal yang menarik dari dukungan ini. SEMUA kicauan dilakukan pada 22 Juni! Ini merupakan hari di mana kedua pasangan akan melakukan debat capres jilid ke dua.
Tidak ada yang salah, dan bukan menjadi hal yang penting diurusi sebenarnya. Memilih siapapun tentulah hak setiap orang di Indonesia, asalkan ia memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti umur, misalnya.
Toh, ketika masuk ke bilik suara, tidak akan ada yang tahu siapa memilih siapa, dan benarkah ia memilih orang yang ia kicaukan saban hari.
Masalahnya adalah para pemain timnas ini bisa dianggap sebagai panutan. Apa yang mereka lakukan bisa mendapat sorotan media dan masyarakat. Dengan mendeklarasikan dukungannya untuk salah satu capres, mereka seolah menggiring opini masyarakat untuk ikut mendukung pasangan tersebut.
Jika mereka benar-benar mendukung atas dasar hati nurani, ini tidak salah. Yang menjadi persoalan adalah mereka dikhawatirkan menjadi komoditas politik bagi pasangan-pasangan tertentu.
Seperti lambang âOne Nation One Teamâ PSSI yang menyerupai lambang salah satu calon pasangan politik. Organisasi yang dibiayai dari APBN dan dipercaya oleh masyarakat, ternyata mendukung calon tertentu. Mungkin saja, saat ini, PSSI meminta jajaran pelatih dan pemain untuk ikut berafiliasi dengan calon presiden tertentu. Pasalnya seperti diketahui, bahwa orang-orang dalam PSSI kini berhubungan dekat dan secara terang-terangan mendukung salah satu calon Presiden. Tak hanya itu beberapa pemain timnas senior seperti Firman Utina dan Ponaryo Astaman pun melakukan hal yang serupa. Tak salah memang toh itu hak politik mereka.
Tapi akan sangat menyedihkan bukan, ketika hak seseorang untuk memilih, ternyata diserobot sekelompok orang yang haus akan kekuasaan.
Ini merupakan dampak di mana sebuah organisasi keolahragaan yang dibiayai pajak masyarakat, nyatanya diisi oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Mereka akan berafiliasi dengan kelompok tertentu guna memenuhi hasrat tersebut. Korbannya? Ya para pemuda yang menjadi komoditas itu.
Sumber gambar: mediasepakbola.co
[fva]
Komentar