Tim nasional Belanda berhasil mengalahkan Meksiko pada laga babak 16 besar Piala Dunia 2014, senin dini hari (30/6). Sempat tertinggal lebih dulu lewat gol Giovanni dos Santos, Belanda berhasil menang lewat gol yag diciptakan Wesley Sneijder dan Klaas Jan Huntelaar di menit-menit akhir babak dua.
Kemenangan Belanda tersebut ternyata disambut meriah oleh warga Ambon. Tak sedikit pemuda yang turun ke jalan sambil menggunakan kostum Oranye. Bahkan mereka melanjutkan aksi dengan melakukan pawai menggunakan kendaraan bermotor sambil membawa bendera Belanda.
Warga Ambon, Maluku umumnya, memang sangat fanatik dengan tim nasional Belanda. Jika Belanda menjalani sebuah pertandingan yang disiarkan di layar kaca, orang-orang yang menggunakan kostum oranye tim nasional Belanda sangat mudah dijumpai di jalanan kota Ambon. Bendera Belanda bisa berkibar di mana-mana; Jumlahnya bahkan bisa lebih banyak dari bendera merah putih.
Maluku memang identik dengan fanatisme-nya terhadap tim nasional Belanda. Seperti yang kita ketahui, banyak sekali orang Maluku yang berada dan menjadi warga negara Belanda. Bahkan beberapa dari mereka ada yang menjadi pesepakbola nasional Belanda.
Ya, hampir setiap edisi Piala Dunia, pemain Belanda berketurunan Maluku selalu menyelip dari 23 nama skuat lengkap Singa Oranye. Dari era Izaak Pattiwael, Hans Taihitu, Frans Hukom, Simon Tahamatta, Sony Silooy, Piere van Hooijdonk dan yang paling cukup dikenal, Giovanni Van Bronchorst, bintang tim nasional Belanda yang berlaga pada Piala Dunia 2010.
Generasi keturunan Maluku di tim nasional Belanda pun berlanjut hingga Piala Dunia 2014. Adalah Michel Vorm, kiper Belanda yang kini bermain untuk klub Inggris, Swansea City. Pemain ini dikabarkan masih memiliki darah Maluku dari ibunya yang bermarga Manupassa, sebuah klan di Piru, ibu kota Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku.
Rasa memiliki dan juga hegemoni sukuisme itu tersimpul dalam frase âAle Rasa Beta Rasaâ (anda dan saya turut merasakan) atau âKatong Satu Darahâ (Kita satu darah; merujuk pada ikatan geneologis) yang secara tidak langsung mencerminkan kultur ke-Maluku-an yang terbangun saat Piala Dunia berlangsung.
Namun kecintaan warga Maluku tehadap tim nasional Belanda ini  sebenarnya memiliki dua makna, makna positif dan makna negatif. Di satu sisi fanatisme ini diharapkan bisa menambah optimisme untuk generasi Maluku agar mampu menciptakan sejarah sebagai pemain sepakbola asala Maluku di masa yang akan datang. Di sisi lain, fanatisme ini juga sering dikaitkan dengan hubungan politik antara Belanda dengan Republik Maluku Selatan, gerakan separatisme pada tahun 1950.
Republik Maluku Selatan (RMS) kala itu merupakan gerakan kemerdekaan daerah yang di dukung oleh pihak Belanda. Kisah RMS ini kemudian berhasil dikubur oleh pemerintah Orde Baru dan menjadikan RMS sebagai hal yang tabu dan terlarang untuk diceritakan sejarahnya secara ilmiah.
Meskipun begitu, menurut Eli Johan, Sip, MA, seorang penulis laman republikmalukuselatan.nl, mengatakan bahwa masyarakat Maluku sekarang masih terikat secara ideologis dan terpengaruh dengan gerakan RMS tahun 1950. Dalam sejarahnya, RMS memiliki beberapa kecenderungan yang berpengaruh terhadap masyarakat Maluku.
Oleh sebagian masyarakat, RMS dianggap sebagai sebuah negara yang sah menurut Hukum Internasional jika bertolak pada perjanjian-perjanjian yang dulu pernah disepakatai antara RI, Kerajaan Belanda, dan perwakilan dari daerah-daerah bekas pendudukan Belanda. Meskipun atas dasar kepentingan lain, isu RMS ini juga digunakan sebagai bentuk gerakan perlawanan ataupun alat tawar dari masyarakat di daerah terhadap pusat.
Namun pada akhirnya Maluku adalah Maluku, bagian dari Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI). Fanatisme yang rakyat Maluku berikan pada tim nasional Belanda muncul karena adanya unsur kedekatan historis, tak lebih dari itu. Dan jika suatu saat Indonesia berlaga di kancah internasional, mereka pun pastinya akan mendukung tim nasional Indonesia.  Betul tidak, sa?
foto: beritadaerah.com
[ar]
Komentar