Antonio Conte telah pergi. Conte pergi dengan sebuah peninggalan yang penuh kejayaan. Bersama dengan Antonio Conte, Juventus kembali mengulang masa kejayaan mereka seperti di dekade 30an yang menjadi scudeto secara 5 kali beruntun 1930-1935. Pada era modern torehan tiga kali Scudeto secara beruntun yang dilakukan Conte tentu adalah prestasi yang membanggakan. Terlebih pada musim ini perolehan 102 poin yang diraih Juve adalah raihan terbaik sepanjang sejarah Serie A.
Boleh dikata, pada musim lalu Juventus telat panas ketimbang dua musim sebelumnya. Sebuah hal yang aneh mengingat pesaing-pesaing mereka AC Milan dan Inter Milan pun mengalami hal yang sama. Pesaing mereka musim lalu jelas AS Roma dan Napoli, kehadiran dua klub ini menguasai klasemen pada awal musim membuat sinisme orang akan kedigdayaan Juve di musim ini menjadi sirna.
Bagaimana tidak, baru Giornata 13 Juventus bisa menggeser AS Roma dari puncak klasemen. Itupun terjadi berkat Roma yang kepeleset akibat dua penggawa mereka Gervinho dan Fransesco Totti cedera selama beberapa pekan. Â Menarik mencermati pergolakan awal yang menimpa Juventus di awal musim ini.
Pembenahan di Lini Depan yang Membuahkan Hasil
Pelan tapi pasti, Conte membangun dinasti di Juventus step by step setiap musimnya. Pada musim 2011/2012 dia mulai membangun lini belakang dengan mengembalikan trah permainan Italia dalam tubuh Juve dengan bermain 3 bek, lewat trio Barzagli â Bonucci â Chiellini. Musim 2012/2013, dia memantapkan lini tengah lewat dua winger Lichsteiner â Asamoah, dan trio gelandang di tengah Pirlo â Vidal â Marchisio.
Dan pada musim ini dia mulai memantapkan barisan gedor lewat Tevez dan Llorente. Sebuah hal yang menarik mengingat baru pada musim ini saja Conte amatlah jarang merotasi starting line up di lini depan.
Kedatangan Tevez dan Llorente di awal musim bukan tanpa sebab yang jelas, Selama dua musim sebelumnya kontribusi gol dari barisan depan Si Nyonya Tua terbilang cukup minim. Â Wajar saja jika Conte kerap gonta-ganti striker di tiap pertandingan. Pada musim 2011/2012 dari lima striker yang ada: Marco Borrielo, Fabio Quagriella, Allesandro Matri, Del Piero dan Vucinic, mereka hanya bisa mencetak 28 gol.
Musim 2012/2013 dari empat striker: Matri, Vucinic, Quagriella dan Giovinco hanya mampu mencetak 34 gol, jumlah itu sama dengan apa yang dicetak oleh Tevez dan Vucinic di musim ini.[Tevez 19 gol dan Llorente 15 Gol]
Rataan mengisi posisi starting line up para striker-striker sebelumnya permusim tak lebih dari 12 kali, coba bandingkan dengan hadiah spesial Conte kepada Llorente dan Tevez yang diberi kesempatan bermain dari menit awal selama 29 pertandingan di musim ini, hal ini menjadi penegas bahwa Conte telah mencapai tujuannya untuk mendapatkan penyerang inti bagi Juve.
Masalah Taktik di Awal Musim Lalu
Kejenuhan muncul saat pola pakem 3-5-2 terus dia gunakan pada musim 2012/2013, kedatangan Llorente tentu bagi Conte adalah anugerah, mengingat striker ini adalah tipikal target man dan akrab diplot sebagai satu striker sendirian di depan ketika membela Atletic Bilbao.
Dengan Tevez yang bisa dimainkan di sayap kanan, dan Vucinic di sayap kiri, maka Juve dapat memainkan 3 penyerang sekaligus dengan backup trio gelandang Pirlo â Vidal â Pogba. Pada lini belakang pola ini mengorbankan Asamoah yang posisinya digantikan oleh Chiellini yang dijadikan fullback kiri.
Nyatanya formasi ini gagal saat dicoba pada turnamen pre-season di Amerika, pola backfour di belakang tampak tak begitu menghasilkan. Â Maka Conte memutuskan kembali memakai back-three saat melawan Los Angeles Galaxy dan Everton, dia sempat memodifikasi formasi 4-3-3 menjadi 3-3-4, hal ini otomatis mengorbankan dua pemain sayap Lichsteiner dan Asamoah. Dengan pakem ini, Conte memaikan Marchisio di belakang 3 striker [Tevez â Vucinic â Llorente]
Namun rencana di awal musim itu nyatanya tak diterapkan saat kompetisi berjalan, Conte ternyata lebih memilih memakai 3-5-2 yang selalu identik dengan dirinya.  Variasi taktik Conte di musim ini bahkan boleh dibilang cenderung membosankan, Hampir seluruh pertandingan yang dijalani Juve musim ini selalu memakai formasi 3-5-2. Hanya dua kali Conte memakai formasi 4-3-3. Yaitu ketika dua kali melawan Real Madrid.
Namun dibandingkan dengan musim sebelumnya, pola 3-5-2 yang Conte lakukan tentu saja mengalami banyak perubahan. Terutama dari sisi gelandang dan lini depan.
Evolusi Llorente Bersama Juventus
Seperti dijelaskan di awal, dengan memakai 4-3-3 Juve sebenarnya bisa mengoptimalkan kemampuan Llorente sebagai goal getter sendirian di lini depan, terlebih pemain ini memiliki keunggulan lewat sundulan kepalanya.
Dengan formasi 4-3-3 Juve mesti mengorbankan rapuhnya barisan belakang Juve akibat kehilangan Chiellini/Asamoah. Karena itu di awal musim Conte tak berani bertaruh dan lebih memilih pola lamanya 3-5-2 serta mengorbankan Llorente.
Saat dicoba dalam skema 3-5-2 Llorente mengakui dirinya tak biasa dengan sistem itu, karena sebelumnya ketika bermain di Bilbao, Llorente tak pernah memiliki partner di lini depan, formasi yang dipakai Bilbao biasa 4-2-3-1, 4-3-2-1 atau 4-3-3.
Tak hanya itu saat bermain dalam skema 3-5-2, mau tak mau memakas Llorente mesti bekerja lebih ekstra mengingat perannya sebagai target man kadang mesti mundur menjadi second striker atau bergantian dengan Tevez menjadi false nine.
Dia juga mesti mundur ke tengah, mengisi kekosongan ruang yang ditinggalkan Pogba dan Vidal saat mundur ke belakang, atau menarik bek lawan agar Lichsteiner dan Vidal dapat menerobos masuk ke lini pertahanan lawan ketika menyerang.  Total disposisi Llorente adalah yang terbanyak di Juve dengan 75 kali, atau 2,2 jika dihitung disposisi rataan per pertandingan. Jumlah ini lebih besar daripada Tevez yang mencapai 65 disposisi.
Dan butuh waktu 2 bulan bagi Llorente hingga akhirnya dia mampu beradaptasi dan mengemban tugas ini dengan baik. Peran ini sebenarnya tak begitu asing bagi Llorente, mengingat saat ditangani Marcelo Bielsa di Atletico Bilbao, dalam pola 4-3-3 dia menjalani peran serupa. Llorente memang butuh adaptasi sat sistem ini dipakai di 3-5-2 yang bermain melebar, keberhasilan adaptasi inilah yang membuat dia terus mendapat posisi inti.
Pembenahan Striker Pada Musim Terakhir Conte
Kolumnis, Mina Rzouki dalam tulisannya di ESPN memaparkan sudah jadi kebiasaan sebagai tim yang selalu memulai serangan dari lini belakang, Juve selalu ditekan oleh lawan-lawannya dengan memaikan pressing dan garis pertahanan yang didorong tinggi.
Untuk menyiasatinya Conte biasa memakai Tevez dan Llorentedipasang setinggi mungkin hingga mendorong garis pertahanan lawan mundur ke area final third lawan sendiri. Dengan taktik ini otomatis saat menerima bola, penyerang Juve akan rentan terjebak offside. Dan benar saja, sebuah data menarik menyatakan bahwa di musim ini Juventus meraih offside terbanyak kedua di Serie A, berjumlah 101 offside, raihan ini di bawah Torino yang mengoleksi 130 offside.
Akibat skema ini, distribusi bola-bola long balls tak hanya diemban oleh Pirlo dan Barzagli saja seperti musim lalu, Chiellini pun turut ambil serta. 215 long balls yang dia lakukan di musim tentu lebih baik ketimbang musim lalu yang mengoleksi 174 long balls tapi dengan caps yang lebih banyak.
Tevez yang mengacak dengan bergerak horizontal, dan Llorente yang bergerak vertikal Peran ini akan membuat bek lawan akan merenggang dengan gelandang mereka, ruang kosong inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh lini kedua Juve baik itu Pogba ataupun Vidal dikonversi menjadi gol â entah itu lewat shooting jarak jauh ataupun troughball yang dibalikan lagi kepada Tevez/Llorente.
Conte memaksa Llorente lebih agak mundur saat bertahan karena pada musim ini Conte memilih dua gelandang bertipikal box to box midfielder di lini tengah lewat Vidal dan Pogba untuk melindung Pirlo. Marchisio yang bertipikal attacking midfielder dengan gaya stylish jarang dipakai Conte, kecuali saat Pirlo cedera.
Poros penyerangan dan pertahanan Juve terletak pada Vidal dan Pogba, torehan gol kedua pemain ini mencapai 19 gol dan 12 assist. Dalam soal bertahan, kedua pemain adalah pemain dengan tekel terbanyak: Â Pogba 84 tekel dan Vidal 130 tekel.
Dengan ketidakhadiran Marchisio otomatis, peran itu mesti diambil oleh Tevez. Pemain berdarah Argentina ini cenderung  mundur ke belakang saat Juve menyerang, dan kemudian menusuk tiba-tiba ke dalam, bersamaan dengan Pogba atau Vidal, serangan secara serempak ini yang kadang membingungkan lawan melakukan penjagaan.
Menyerang dari Sayap Kanan dan Lemah di Sayap Kiri
Dibandingkan dengan musim lalu, peran Lichsteiner lebih terasa bagi Juve di musim ini. Bagaimana tidak,dia pengoleksi assist terbanyak di Juve dengan 8 assist.
Pergerakan pemain ini pun lebih cenderung cutting inside ketimbang bermain melebar seperti musim sebelumnya. Lich lah yang biasanya memanfaatkan ruang kosong saat Llorente/Tevez menarik bek di sayap kanan. Ketika hendak memberikan crossing ke depan kotak pinalti, Lich cenderung mendorong bola sampai garis tepi lalu memberikan cutback ke tenga yang biasanya disambar oleh Pogba-Vidal-Pirlo atau Tevez.
Jika menilik skuat Juve di musim ini dari posisi per posisi tim ini hampir mendekati kesempurnaan apa yang Conte inginkan. Hanya saja ada satu titik lemah dalam menyerang, yaitu di sayap kiri di mana ada Kwadwo Asamoah.
Sejatinya pemain ini bukanlah pemain sayap melainkan gelandang bertahan. Seringkali untuk membantu Asamoah menyerang, Conte menggeser Chiellini agak lebih tinggi. Dibandingkan dengan tiga bek lainnya Barzagli-Bonucci-Ogbonna, Chiellini adalah bek yang sering melakukan dispossessed, musim ini dia 9 kali melakukan hal itu. Masalah muncul ketika lawan mengeksploitasi disposisi untuk menyerang balik. Dan rataan gol kebobolan Juve berasal dari sayap kiri.
Masalah-masalah ini tentunya akan segera dibenahi oleh sosok yang akan menggantikan Conte nanti. Pondasi yang ditinggalkan Conte hampir mendekati kesempurnaan, masalah muncul jika yang akan menggantikan Conte malah merombak semuanya. Maka siap-siap saja Juve merana di musim depan.
Komentar