Jika Anda seorang Juventini, pasti anda akan kaget sekaligus kecewa tentang apa yang terjadi hari kemarin. Bagaimana tidak, Antonio Conte, pelatih yang berhasil membawa Juve kembali ke tempat tertinggi di Italia, secara mengejutkan menyatakan mundur dari kursi kepelatihan Juve dengan alasan personal, sehari setelah ia memimpin latihan perdana pra-musim Juve.
Spekulasi mulai bermunculan tentang kejadian yang terjadi bak petir di siang bolong itu. Dimulai dari kisruh polemik transfer Conte dengan para petinggi Juve, hingga keinginan Conte untuk menjadi pelatih tim nasional Italia.
Jika kita kesampingkan alasan polemik transfer dan menganggap Conte mundur karena ingin melatih timnas Italia, maka akan ada pertanyaan berikutnya yang muncul, âLayakkah Conte menangani tim nasional Italia?â
Banyak pihak menyebutkan pengunduran diri Conte ini dinilai tepat jika melihat kursi kepelatihan tim nasional Italia yang kosong. Pelatih timnas Italia sebelumnya, Cesare Prandelli, menyatakan mundur setelah Italia tampil mengecewakan pada Piala Dunia Brasil, beberapa waktu lalu. Italia secara mengejutkan kalah oleh Kostarika dan Uruguay sehingga harus tersingkir sejak babak fase grup.
Conte tentunya memiliki atribut yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan FIGC, federasi sepakbola tertinggi Italia, Â untuk menjadi pelatih tim nasional Italia. Setidaknya prestasinya sudah terbukti dengan mengantarkan Juve menjuarai Serie A tiga musim berturut-turut. Selain itu, ia pun dua kali membawa Juve menjuarai Supercoppa Italia.
Jika menilik masalah tim nasional Italia pada Piala Dunia lalu, maka Conte adalah orang yang benar-benar tepat untuk mengarsiteki timnas Italia. Karena salah satu isu utama kegagalan Italia di Piala Dunia kemarin adalah terjadinya ketidakharmonisan di tubuh tim. Antonio Cassano dan Mario Balotelli dikabarkan menjadi biang kerok atas kisruh yang terjadi itu. Sedangkan Conte adalah tipikal pelatih yang bisa âmenjinakkanâ pemain yang âliarâ.
Hasilnya bisa dilihat dengan apa yang ditunjukan Carlos Tevez di Juventus saat ini. Sebelum berseragam putih-hitam, Tevez adalah pemain yang bengal dan gemar menentang keputusan pelatih. Selama berseragam Manchester City dan Manchester United, ia tak lepas dari kontroversi-kontroversi baik di dalam lapangan maupun di luar lapangan. Namun ketika ditangani Conte, Tevez mampu meredam egonya dan mampu mengeluarkan seluruh potensinya.
Tevez sendiri menyatakan kekagumannya pada pelatih berusia 44 tahun itu. Pemain asal Argentina ini menyatakan bahwa Conte sudah sejajar dengan manajernya terdahulu, Sir Alex Ferguson.
âSaya pikir dia sudah pada tingkat yang sama (seperti Ferguson). Dia tak memiliki sedikitpun kelemahan. Dia menunjukkan bahwa dalam setiap pertandingan atau kompetisi apapun ia adalah seorang pelatih kelas atas,â ujar Tevez pada ESPNFC.
Hal tersebut diamini rekan setimnya di Juve, Andrea Pirlo. Pirlo memuji Conte dalam otobiografinya âI Think Therefore I Playâ: Â âSaya telah berurusan dengan banyak pelatih dalam karir saya. Conte adalah orang yang paling mengejutkan saya. Dia hanya membutuhkan satu pidato dengan banyak kata-kata sederhana untuk menaklukkan saya dan Juventus. Kami tiba bersama di Planet bernama Juventus.â
âKetika Conte memperkenalkan dirinya kepada kami pada hari pertama latihan pra-musim di Bardonecchia, ia sudah memiliki semangat berapi-api yang terlihat dari pembuluh darahnya yang bergerak seperti akan meledak ketika mengatakan: 'Skuat ini hanya mampu finish ke-7, dua kali berturut-turut. Ini gila dan sangat mengejutkan. Saya di sini bukan untuk melakukan itu, jadi saatnya untuk berhenti menjadi omong kosong.ââ ujar Pirlo mengisahkan pengalaman pertamanya bertemu Conte.
Conte memang dikenal sebagai motivator ulung. Kata-katanya bisa membuat pemain yang berlaga menjadi lebih bersemangat, atau mungkin ketakutan, ketika Conte berteriak-teriak di pinggir lapangan. Conte tak akan berhenti membentak, memaki, atau bahkan memarahi pemainnya hingga permainan yang ditampilkan sesuai yang diharapkannya.
âSuatu hari kami kalah dari Milan dan dia tidak bisa menerima itu: âseharusnya lawan mereka! Saya tidak dapat memahami bagaimana kita tidak bisa mengalahkan mereka! Mereka bahkan bermain buruk!â" Pirlo kembali mengenang kebersamaannya dengan Conte.
Selain dari segi pembentukan mentalitas tim, Conte pun sangat ahli untuk urusan taktik. Ia mampu mengubah Juve yang terpuruk kembali menjadi tim besar dengan taktiknya. Ia cukup fleksibel dalam memilih pola. Meski, saat menangani Juve, ia lebih sering menggunakan 3-5-2, ia pun tak jarang memainkan formasi 4-2-4, 4-3-3, bahkan 3-4-3 selama tiga tahun di Juve. Hal ini pula yang bisa ia lakukan jika benar-benar jadi pelatih timnas nantinya.
Namun FIGC sendiri tak mau terburu-buru untuk menunjuk siapa pelatih Italia berikutnya sebelum tanggal 11 Agustus. Mereka masih ingin mengevaluasi kegagalan Italia di Piala Dunia lalu, kemudian mencari siapa pelatih yang cocok dengan keadaan Italia saat ini. Selain Conte, nama-nama seperti Roberto Mancini, Francesco Guidolin, dan Luciano Spaletti, juga masuk dalam kandidat pelatih timnas Italia berikutnya.
Nah, jika menurut Anda, layakkah Conte menjadi pelatih Italia berikutnya?
[ar]
Komentar