Pesawat Malaysian Airlines dengan nomor penerbangan MH 17 terjatuh di perbatasan Ukraina â Rusia. Penyebabnya jelas: ditembak rudal. Tapi belum ada yang tahu pasti siapa yang bertanggung jawab atas penembakkan roket tersebut.
Memang sempat terjadi perdebatan mengapa pesawat komersial harus melalui wilayah udara negara yang tengah berkonflik. Mengapa misalnya, Malaysian Airlines tak mengikuti cara Garuda Indonesia dengan memutar jalan ke tenggara dengan melewati Turki, ketimbang terbang lurus melewati Ukraina.
Apapun yang telah terjadi memang tak mungkin untuk terulang kembali. Konflik yang terjadi bermula kala Presiden Viktor Yanukovych digulingkan oleh masa pro Barat. Rusia yang merupakan penyokong Yanukovych tidak tinggal diam. Mereka mengirimkan pasukan dalam jumlah besar untuk melindungi pusat militer Ukraina di Kiev.
Siring berjalannya waktu, konflik ini lebih mirip seperti memperebutkan sebuah wilayah. Rusia dianggap ingin mencaplok Crimea dengan membuat sebuah referendum. Crimea sendiri merupakan sebuah wilayah di selatan Ukraina. Terdapat 2,3 juta penduduk di Crimea yang sebagian besar di antaranya berasal dari etnis Rusia dan berbahasa Rusia.
Berdasarkan memorandum pada 1994, Crimea adalah sebuah republik otonom. Pemerintah Ukraina bahkan menunjuk seorang perdana menteri khusus dari Crimea. Kini suasana di wilayah tersebut kembali memanas. Sejumlah pihak yang pro Rusia akhirnya memberontak pada Kiev.
Pihak Ukraina merilis percakapan telepon yang diklaim sebagai pemberontak atau pro Rusia. Dari percakapan tersebut disimpulkan bahwa pemberontak tersebut mengira pesawat MH 17 sebagai pesawat militer.
Jika ingin menarik simpulan, hal ini tidak akan terjadi seandainya konflik di Ukraina tak terjadi. Intervensi dari Rusia maupun Amerika Serikat membuat Ukraina seolah menjadi negara boneka. Ditarik ke barat, dan digiring ke timur. Yang jadi korban tentu masyarakat di sana.
Menjatuhkan Viktor Yanukovych
Awal permasalahan Crimea dan konflik di Ukraina adalah partai oposisi yang pro barat menginginkan Yanukovych segera turun dari jabatannya. Mereka pun ingin agar Ukraina lebih bersahabat dengan negara Uni Eropa. Tapi hal ini tidka disanggupi Yanukovych karena âtidak enakâ pada Rusia.
Partai oposisi pun berdemonstrasi. Sementara itu para Ultras masih menahan diri.
Aksi demonstrasi pun dibubarkan secara represif oleh pemerintah. Ini yang kemudian membuat kemarahan para ultras begejolak. Mereka ikut turun ke jalan untuk menghentikan rezim Yanukovych. Sementara itu, pemerintah menurunkan âTithuskyâ. Tithusky adalah sejenis preman bayaran yang digunakan pemerintah Ukraina untuk menghajar warga sipil.
Ultras Ukraina lantas bersatu dan melupakan kompleksitas geografis dan rivalitas. Mereka menentang kekerasan yang dilakukan pemerintah kepada para demonstran.
Ultras Methalist Kharkiv turut menghadang 400 Titushky yang hendak diberangkatkan ke Kiev. Baku hantam pun sesama saudara sekota pun terjadi. Alhasil polisi harus mencari bibit-bibit titushky lainnya di kota-kota lain. Apa yang dilakukan Ultras Methalist dilakukan juga oleh-oleh ultras lainnya.
Yanukovych semakin terdesak setelah ultras Shaktar Donetsk turut menentang sang presiden. Padahal, Donetsk adalah kota di mana ia berasal. Selain itu, pemilik klub Shaktar Donetsk adalah orang terkaya di Ukraina yang juga penyokong pendanaan partai yang berkuasa.
Politik ultras di Ukraina, setidaknya dalam kasus terbaru ini, adalah politik keberpihakan pada mereka yang ditindas oleh kekuasaan.
Ultras Ukraina Bersatulah
Sebenarnya, tidak banyak warga Ukraina yang pro terhadap Rusia, kecuali Crimea. Rusia mengeluarkan propaganda bahwa sebenarnya dengan mengirimkan tentara ke Crimea, berarti melindungi hak warga Ukraina. Pemain Shaktar Donetsk, Yaroslav Rakitskiy, menanggapi propaganda tersebut lewat kicauannya di twitter.
Ia menulis: â(Kehadiran) Tentara Rusia di Crimea adalah sebagai upaya untuk melindungi hak kami? Lantas, di mana mereka ketika gol kami dianulir di Euro (Piala Eropa 2012)?â
Wartawan The Ukrayinska Pravda, Mariya Dragina, pernah mewawancarai sejumlah Ultras Crimea di Simferopol dalam rangka peringatan 200 tahun Taras Shevcenko.
Para ultras ini mengakui mereka berdiri karena ingin mempertahankan Crimea. Mereka menyatakan bahwa Crimea masih tetaplah Ukraina, dan akan selamanya menjadi bagian dari Ukraina. âJika (nanti) kami bukan bagian dari Ukraina lagi, Ukraina akan selalu tetap berada dalam hati kami,â ujar mereka.
Pada 16 Maret 2014, Pemerintah Rusia memberikan otonomi pada Crimea dengan 96,77% warga mendukung referendum tersebut. Tapi masalah belum juga berakhir. Masalah kini meruncing karena milisi Ukraina pro Rusia dipersenjatai dengan alat berat. Bahkan rudal anti pesawat pun tersedia di gudang penyimpanan mereka.
Sejumlah milisi pro Rusia kini berkeliaran di sekitar perbatasan. Hal itu pula yang membuat milisi menembak pesawat komersial. Di Kota Lugansk dua kali pesawat militer Ukraina ditembak jatuh oleh pemberontak. Pesawat MH 17 adalah korban kesalahpahaman tersebut.
Lalu bagaimana sepakbola dapat menghentikan konflik di Ukraina?
Sejak 2012 pemerintahan Ukraina yang pro Rusia digoyang oleh demonstrasi pihak oposisi. Setelah seluruh ultras bergabung, Yanakovich pun kabur dan meninggalkan tahta kekuasaannya tak terisi. Parlemen Ukraina secara resmi mengumumkan Presiden Petro Poroshenko sebagai penggantinya.
Jika pendukung sepakbola bisa bersatu melawan ketidakadilan, bukan tidak mungkin konflik dapat diredam sehingga jumlah korban jiwa pun bisa ditekan sekecil mungkin. Memang, pengaruh Amerika Serikat maupun Rusia berpengaruh besar pada stabilitas negara tersebut.
Tapi warga Ukraina mesti memahami terjemahan Al-Quran Surat Al Raâd ayat 11 berikut ini:
âSesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.â
Ukraina masih akan terus menjadi boneka asing, jika masyarakat mereka tak melakukan apa-apa. Warga Ukraina mesti bersatu untuk bersatu dan bertindak melawan ketidakadilan.
Sumber gambar: qz.com
[fva]
Komentar