Bertepatan hari ini, tanggal 29 Juli. Dihadapan 60.000 penonton di Stadion Utama Gelora Bung Karno,Irak secara mengejutkan berhasil menjuarai Piala Asia untuk pertama kalinya setelah mengalahkan Arab Saudi dengan skor tipis 1-0 lewat gol yang dicetak Younis Mahmoud pada menit 72. Apa yang dilakukan tim berjuluk Lions of Mesopotamia sungguh mengejutkan banyak pihak, mengingat perjalanan mereka untuk lolos ke babak final tidaklah mudah.
Pada babak kualifikasi grup, Irak tergabung di Grup A bersama Autralia, Oman dan tuan tumah Thailand. Pada fase grup tersebut, Iraq tampil buruk hanya bisa menang satu kali dan seri dua kali, kendati begitu mereka mampu lolos ke babak perempatfinal.
Di delapan besar itu, Irak sudah ditunggu tuan rumah lainnya yakni Vietnam, tak tanggung-tanggung Vietnam digebuk dengan skor 2-0. Selanjutnya, kemampuan Irak diuji oleh raksasa Asia Korea Selatan di babak semifinal. Siapa sangka, Irak mampu menekuk tim berjuluk negara gingseng itu lewat adu penalti dengan skor 4-3 hingga akhirnya lolos ke final Piala Asia dan menekuk Arab Saudi di laga final.
Kiprah Iraq di Piala Asia yang digelar di empat negara yakni, Thailand, Malaysia, Vietnam dan Indonesia ini amatlah mirip sebuah seperti kisah seribu satu malam yang syarat dengan khayal dan harapan dunia mimpi yang selalu identik dengan forklore masyarakat timur tengah itu. Irak datang ke Piala Asia dengan kondisi terpincang-pincang, negara mereka hancur lebur akibat konflik perang yang berkepanjangan.
Tak ada kompetisi lokal yang bergulir, para pemain mesti merantau ke negeri orang untuk terus bisa bermain bola. Para pemain Irak ini sangat kesulitan untuk melakukan latihan karena dibayang-bayangi oleh kekhawatiran mengenai keselamatan dirinya dan juga keluarganya di rumah. Bahkan seluruh pertandingan kualifikasi mesti dilakukan di luar negeri, mengingat faktor keamanan dan tak adanya sarana stadion yang memadai untuk menggelar pertandingan.
Bagaimanapun juga seperti menurut John Pye jurnalis Associated Press, sepakbola adalah salah satu hal yang mampu menyatukan kelompok Syiah, Sunni dan Kurdi di Irak yang tak henti untuk saling menggerus membunuh menentukan siapa yang paling benar.
Melihat kondisi seperti itu, sejak awal pelatih Irak, Jorde Vieira menegaskan pada para pemainnya agar melakukan yang terbaik bagi negara mereka, membawa kegembiraan pada rakyat Irak dan melupakan segala perbedaan politik."Syukurlah, para pemain tak pernah mencampuradukkan urusan politik dengan sepak bola. Saya punya pemain Syiah dan Sunni, dan tak ada masalah. Mereka bahkan sangat dekat satu sama lain," kata Vieira.
Di tengah kekacauan perang, sepak bola memang jadi kebanggaan baru Irak. Dengan spirit mewujudkan mimpi 1001 malam, mereka bisa melupakan segala konflik dan masalah yang ada untuk fokus membenahi prestasi sepakbola. Perang tak menghalangi mereka untuk berjaya lewat sepakbola, Irak masuk semifinal di Olimpiade Athena 2004, lolos ke final Asian Games 2006, jadi semifinalis Piala Teluk 2007 dan menjuarai Piala Asia 2007.
Di Senayan, Irak pernah mengajari Indonesia bagaimana cara mengelola sepakbola yang benar. Alasan-alasan yang sering dilontarkan para pengurus federasi di negeri ini, entah itu terkait sarana dan pra sarana yang minim serta kurangnya dukungan dana dari pemerintah nyatanya bukan jaminan negeri ini bisa terus mengalir prestasi. Tanpa ada itikad baik dan niat tulus untuk mengelola sepakbola, Indonesia tak akan pernah bisa menyalip negara-negara Eropa dan Amerika Selatan, Jepang dan Korea atau bahkan Irak sekalipun.
Komentar