Alkisah, seorang anak belasan tahun tengah menggocek bola. Ia mengenakan seragam Barcelona bertuliskan âNeymarâ. Mirip memang, tiga orang pemain lawan telah berhasil ia lewati. Langkahnya terhenti sebelum ia berhadapan dengan kiper. Maklum, di depannya ada sapi yang tengah asyik memakan rumput.
Dengan satu gerakan, ia pun berhasil mengelabui sang sapi dengan menempatkan bola di antara kedua kaki sapi. Tapi tak lama berselang, langkahnya terhenti, dan ia berteriak sembali berlari menuju selokan di belakang gawang. Rekan-rekannya yang lain hanya tertawa. Rupanya, ia baru saja menginjak kotoran sapi yang bertebaran di area kotak penalti.
Ini adalah kisah nyata yang penulis saksikan sembari menikmati kemacetan arus balik yang mengular di wilayah Purwokerto, Jawa Tengah. Meski beberapa gedung futsal telah berdiri, tapi bermain sepakbola di âlapang besarâ memang jauh lebih mengasyikkan. Sinar matahari yang menyengat, desiran angin, serta tantangan lain macam bola yang masuk ke perkebunan warga, menjadi keunikan tersendiri.
Di sepanjang perjalanan menuju Bandung, dari Yogyakarta, setidaknya ada belasan lapangan sepakbola yang terletak di pinggir jalan. Meski tidak sesuai dengan standar FIFA, tapi keberadaan lapangan ini sungguh menyejukkan mata. Bagaimana tidak, hampir semua lapangan tertutupi rumput, meski kontur tanahnya tidak terlalu rata. Lalu, terdapat pohon-pohon besar dan sawah atau perkebunan warga yang mengelilingi lapangan. Hal yang sulit penulis temukan di kota besar, khususnya Bandung.
Secara logika, jika lapangan sepakbola abal-abal saja sudah sulit untuk ditemukan, apalagi stadion sepakbola. Sebuah lokasi bisa disebut sebagai stadion jika memiliki tempat bagi penonton, lazimnya berbentuk teras berundak atau tribun. Sayangnya, jarang ada stadion yang dibuka atau dipergunakan untuk umum. Kalaupun ada, biaya sewanya pastilah selangit.
Hal ini pula yang menimpa Stadion Menteng dan Stadion Lebak Bulus di Provinsi DKI Jakarta. Kedua stadion tersebut digusur demi efektivitas kota.
Kabar terakhir, Stadion Lebak Bulus, yang memiliki sejarah yang begitu lekat dengan Persija dan Jakmania akan digusur untuk dijadikan depo atau stasiun MRT. Walikota Jakarta Selatan, Syahrul Effendi, dirilis situs Dewan Transportasi Kota Jakarta menyatakan tengah mencari lahan pengganti Stadion Lebak Bulus. Dalam rilis tahun 2012 tersebut, rencananya akhir 2013 stadion baru telah siap dibangun.
Penggusuran Stadion Lebak Bulus sempat mengalami hambatan karena Kementrian Pemuda dan Olahraga enggan memberi izin, lantaran syarat yang diberikan Pemprov DKI Jakarta, masih ada yang kurang. Tapi, Menpora Roy Suryo, agaknya tidak senang dengan penggusuran ini. Sepakat dengan Ketua Jak Mania, Lariko Rangga Mone, keduanya ingin stadion baru harus sudah ada sebagai pengganti Stadion Lebak Bulus, sebelum stadion bersejarah tersebut digusur.
Lariko sendiri, tak ingin bangunan tersebut bermasalah seperti Stadion BMW yang rencananya akan dibangun di Jakarta Utara.
Ini seperti menjadi permasalahan klasik di Indonesia. Toh biasanya, bangunan yang dijanjikan tak pernah terealisasi. Janji tinggalah janji. Dengan kawasan padat penduduk seperti di Jakarta, lantas di mana warganya akan berolahraga, seperti bermain bola misalnya. Ketiadaan lahan dan lapangan representatif hanya akan membuat warga DKI Jakarta kehilangan peluang untuk bermain bola. Mereka yang mengisi skuat Persija nantinya adalah pemain dari daerah lain, yang meskipun memiliki kualitas baik, tapi belum tentu memiliki semangat kedaerahan setinggi warga asli Jakarta.
Ilustrasi di bagian pembuka tulisan ini, tampaknya tidak akan pernah terlihat di Jakarta. Jangankan bermain bola, mengurus hidup saja kadang sudah terlampau sulit. Ketika masyarakat dihadapkan pada situasi pelik yang penuh keseriusan, mereka membutuhkan sarana untuk merenggangkan urat-urat tegang yang melelahkan.
Dalam pemikiran liar penulis, ketika bisnis lebih penting dari olahraga, Stadion Gelora Bung Karno pun tak akan lepas dalam penggusuran atas nama efektivitas kota. Jika ini terus terjadi, warga DKI akan kehilangan tempat untuk berekreasi dan berolahraga. Maka, jangan salahkan jika nantinya warga Jakarta menjadi kurang piknik.
Sumber gambar: kampoengbamboe.com
[fva]
Komentar