Sepakbola Indonesia kembali melakonkan sebuah drama. Babak baru carut marutnya pengelolaan liga. Kabar buruk itu muncul setelah Persidafon Dafonsoro memutuskan mundur dari kompetisi divisi Utama 2014. Sebuah hal yang tak mengenakan, mengingat Persidafon tinggal menyisakan dua pertandingan sisa. Dana keuangan yang seret memaksa Persidafon angkat tangan di menit-menit akhir kompetisi.
Apa yang terjadi di Persidafon sempat pula dialami oleh Persipasi Bekasi, Persenga Nganjuk dan Persitara Jakarta Utara. Hanya Persipasi saja yang batal untuk mengundurkan diri, sedangkan Persenga dan Persitara itikad mereka sudah bulat untuk mengundurkan diri.
Ancaman sanksi dari PSSI nyatanya tak membuat Persidafon, Persenga dan Persitara ciut, alasan mereka juga logis toh untuk apa juga memaksa melanjutkan kompetisi jika harus berdarah-darah berhutang kesana-kesini, lagipula tak ada kepastian yang jelas jika melanjutkan kompetisi pun akan mendapat keuntungan yang banyak. Yang tentunya cukup sekedar untuk menghidup klub yang pas-pasan.
Mayoritas klub-klub di Indonesia memang belum bisa mandiri secara finansial, masih selalu bergantung pada kemampuan finansial individual, entah itu mengandalkan taipan-taipan lokal ataupun mengakali hal-hal korup demi meraup recehan dari APBD.
Jika tidak, klub-klub akan berupaya memakai dukungan penguasa lokal yang masih mencengkram mereka. Masih banyak klub-klub divisi utama yang masih memiliki hubungan erat dengan menjadikan bupati-bupati atau kepala dinas sebagai bagian dari dalam tim, tujuannya jelas memanfaatkan penguasa untuk menggalang dana. Masalah ini memang masalah akut dalam sepakbola negeri ini, tak mudah untuk membangun pondasi klub yang kuat secara finansial dalam sekejap mata.
Namun jika berbicara tentang kasus mundurnya klub-klub divisi utama ini, tentu saja kita tak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada klub. Bukankah PSSI sebelumnya telah melakukan verifikasi? Klub-klub hanya menyodorkan dan memenuhi apa yang PSSI minta. Andaikan syarat-syarat yang diajukan lebih detail dan ketat, darimana dana berasal, siapa sosok yang berada dalam tim dan hal-hal tetek bengek lainnya  mungkin kejadian-kejadian cerita di awal tulisan ini tak akan pernah terjadi.
Bukankah pada tahun lalu, Persidafon memiliki masalah dengan menunggak banyak gaji pemain hingga pemain asing Marcelo Cirelli pun memilih untuk hengkang dan berbicara di media. Bukankah sebelumnya, PSSI telah menyepakati bahwa salah satu syarat verifikasi itu adalah klub harus bebas tunggakan gaji? lantas kenapa Persidafon bisa dinyatakan lolos verifikasi? Macam apa pula verifikasi yang PSSI lakukan?
Verifikasi yang dilakukan PSSI adalah verifikasi berdasarkan negosiasi. Bukan verifikasi yang memantapkan sebuah standarisasi. Yang pada akhirnya berujung pada (kemungkinan) verifikasi demi meneguk keuntungan kantong pribadi. Masih banyak tim-tim yang tidak sehat diloloskan secara paksa karena kedekatan, banyak pula infrastruktur yang ala kadarnya ditulis dalam laporan sebagai kebohongan belaka.
Kompetisi divisi utama yang terlalu gemuk dengan menampung lebih dari 60 klub bagi sepakbola kita mungkin itu adalah masalah. Tak adakah cara lain selain melakukan unifikasi yang terlalu memaksa itu?  Namun yang pasti dengan semakin banyaknya klub yang melakukan tahap verifikasi ditambah proses verifikasi yang cenderung tak transparan wajar saja banyak nada-nada sinis berujar proses ini cenderung penuh kecurangan dan korup. Ya begitulah, sepakbola Indonesia. Carut-marutnya tak akan pernah ada akhir..
Ditulis oleh:
Aqwam Fiazmi Hanifan
Komentar