Penyelenggaraan event olahraga yang terpusat di sebuah negara, atau kota, biasanya melewati proses bidding yang ketat.
Pada Olimpiade 2012 silam, terdapat sembilan kota yang bersaing. Havana, Istambul, Leipzig, London, Madrid, Moscow, New York City, Paris, dan Rio de Janiero berlimba-lomba menawarkan yang terbaik agar bisa terpilih. Padahal, penyelenggaraan tersebut membutuhkan biaya yang besar.
Begitu pula di sepakbola. Piala Dunia 2014 yang dihelat di Brasil, nyatanya menghabiskan 200 triliun rupiah untuk pembangunan stadion dan infrastruktur. Jumlah yang teramat besar bagi penyelenggaraan yang dihelat selama satu bulan. Lalu, mengapa banyak negara yang begitu bernafsu untuk menjadi penyelenggara?
Bagi sejumlah negara maju, menjadi penyelenggara event olahraga dapat meningkatkan pemasukan dari sektor pariwisata. Setidaknya, infrastrukur yang telah dibangun, bisa menjadi investasi di masa mendatang. Semangat inilah yang membuat negara maju tersebut menganggap bahwa harga 200 triliun tidak akan ada artinya, dengan pemasukan pariwisata mereka, di masa mendatang.
Lain halnya dengan Indonesia yang ingin menjadi tuan rumah Piala Dunia. Bukan semangat investasi tapi semangat agar Indonesia mencicipi Piala Dunia. Padahal, menyelenggarakan Piala Dunia adalah salah satu cara mengenalkan negara tersebut ke dunia.
Hal ini sudah dirasakan oleh Kanada sebagai penyelenggara Piala Dunia Perempuan U-20. Salah satu kota penyelenggara, Moncton, mendapatkan kesempatan menyelenggarakan delapan pertandingan. Aliansi Olahraga dan Turisme Kanada, The Canadian Sport Tourism Aliiance (TSTA), memperkirakan tujuh juta dolar mengalir ke Moncton dalam delapan pertandingan tersebut.
Sementara itu, Kamar Dagang Moncton (Great Moncton Chambers of Commerce) , mengatakan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 tidak ternilai harganya. Meskipun begitu, Ketua GMCC, Carol OâReilly, belum dapat memastikan berapa nilai yang didapat Moncton dari penyelenggaraan tersebut.
âKami tidak bisa secara finansial, mengukur dampak ekonomi dalam penyelenggaraan yang sukses itu.â
Penyelenggaraan terakhir Moncton berakhir pada partai semifinal, antara Nigeria menghadapi Korea Utara. Partai tersebut dimenangkan Nigeria dengan skor 6-2.
âKamu tahu, semua orang datang, pelatih dan pemain tinggal di sini. Mereka makan di restoran kami, dan mereka belanja di toko-toko di Moncton,â kata OâReilly. âAku berbicara dengan penjual di Mall Champlain. Mereka berkata, bisnis berjalan lancar, dan sangat ramai. Aku pikir, hal serupa juga terjadi di sejumlah komunitas bisnis lainnya.â
Moncton akan kembali menjadi kota penyelenggara, tapi kali ini tingkatannya naik: Piala Dunia Perempuan 2015. Mereka akan menyelenggarakan tujuh pertandingan pada Juni mendatang.
Ya, Moncton memang tengah berbenah untuk menyelenggarakan Piala Dunia Perempuan tahun mendatang. Penyelenggaraan ini bagaikan durian runtuh bagi kota yang berpopulasi 69 ribu jiwa ini. Ini sekaligus meningkatkan pemasukan dari sektor pariwisata karena turis dari mancanegara akan datang ke kota tersebut dan membelanjakan uangnya.
Semangat ini yang tidak tercermin dari pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia. Apa keuntungan yang sebenarnya disasar dari pemerintah, selain menempatkan Indonesia sebagai salah satu kontestan Piala Dunia? Apakah sudah terpikirkan bagaimana mengalokasikan dana untuk pembangunan infrastruktur, dan pembenahan di bidang lain? Apakah tidak ada sektor yang terganggu karena pengalihan alokasi pajak tersebut?
Ya, semangat penyelenggaraan Piala Dunia mestinya menyasar dampak jangka panjang. Partai final Piala Dunia tidak seharusnya diselenggarakan di Jakarta, tapi di daerah-daerah dengan potensi wisata yang jauh lebih baik. Karena penyelenggaraan Piala Dunia bukan sekadar âkeinginanâ tapi harus memiliki dampak pada ragam sektor di masyarakat.
Sumber gambar: google.com
Komentar