Ada kalanya menyaksikan sepakbola tak ubahnya diperlakukan seperti tahanan. Suporter yang ingin menyaksikan pertandingan, diangkut dengan bis polisi, lalu diantar ke stadion. Di stadion pun puluhan aparat keamanan mengawasi para suporter yang datang. Risih? Namanya juga kecanduan sepakbola.
Jurnalis Inggris, Brendan OâNeill, menganalogikannya dengan sangat baik. Bayangkan Anda akan menyaksikan sebuah pertunjukan opera. Lalu, sang penjual tiket memberi tahu Anda cara untuk berangkat ke gedung pertunjukan. Tidak dengan transportasi umum, tidak juga dengan berjalan kaki. Anda mesti menaiki satu bis dengan lisensi khusus, dan dikurung dengan sesama penikmat opera lainnya. Ya, benar. Polisi akan mengantarkan Anda ke opera, mengamati gerak-gerik Anda sepanjang waktu, lalu mengantarkan Anda pulang. Ada masalah?
Ini yang dialami sejumlah suporter di Inggris. Mereka menamai kejadian ini sebagai bubble matches. Istilah ini diambil bagi sebuah pertandingan dengan kategori C, atau sangat berbahaya.
Pihak kepolisian di Inggris membagi tingkat keamanan satu pertandingan dalam tiga kategori. A, B, dan C. Jelas, kategori A dianggap pertandingan yang sangat aman. Sedangkan kategori C dianggap berpotensi menghadirkan kerusuhan.
Jika suporter away ingin menyaksikan bubble matches, mereka harus mengikuti saran kepolisian, dan harus mau diawasi. Salah satunya dengan menaiki bus seperti seorang tahanan.
OâNeill dengan jenaka menyebut hal ini sebagai âCrime against civil liberties, (but) no one wants to talk aboutâ.
Aturan ini membuat suporter lawan dilarang untuk berangkat sendiri-sendiri tanpa koordinasi dengan polisi. Mereka harus berkumpul di tempat yang sudah ditentukan, untuk nantinya menaiki bis yang sudah disiapkan. Sebelum naik bis, pihak kepolisian pun memastikan para suporter ini tidak terlalu mabuk ataupun emosi. Setelah pertandingan, hal yang sama akan dilakukan. Mereka diantar pihak kepolisian ke tempat awal bertemu.
Di sejumlah partai bertajuk bubble matches, fans lawan tidak diperbolehkan mendapatkan tiket secara langsung. Mereka akan diberikan kwitansi untuk nantinya ditukarkan di tempat yang telah ditentukan. Mengapa? Ini sebagai pengecekan ganda untuk memastikan mereka yang memegang tiket adalah suporter yang setuju untuk dikawal dan dijaga polisi.
Terdapat lebih dari 50 bubble matches di seluruh Inggris selama sepuluh tahun terakhir. Pada Maret tahun lalu, polisi memutuskan laga antara Leeds United menghadapi Millwall statusnya ada di kategori C. Ini berarti semua fans Millwall mesti ber-bubble matches untuk dapat bertandang ke Ellan Road yang berjarak 326 kilometer.
Semua fans Millwall mesti berkumpul di Bermondsey, London, pukul 5.30 pagi. Aturan ini juga berlaku bagi suporter Millwall di Manchester, yang secara jarak lebih dekat ke Leeds, ketimbang harus berputar ke London. Hasilnya? Hanya 200 orang suporter yang berangkat. Sisanya memboikot pertandingan tersebut.
Banyak yang menganggap penonton sepakbola di Inggris kerap berbuat kriminal. Jadi, logika mengurung fans lawan dalam pertandingan kategori C adalah hal yang mutlak.
Namun, coba perhatikan fakta berikut. Pada musim 2012/2013 total penonton yang datang ke stadion ada 39 juta orang. Sementara itu, fans yang ditangkap 2.456 di seluruh pertandingan di Inggris dan Wales. Artinya, kurang dari 0,01 persen fans yang melakukan tindakan melanggar hukum!
OâNeill menganggap fans pada masa kini sudah diperlakukan dengan praduga sebagai kriminal. Penggemar sepakbola menjadi tikus percobaan bagi pemerintahan yang otoriter.
Di Indonesia saat ini, polisi malah jauh lebih tegas. Jika berlangsung partai panas antara Persib melawan Persija misalnya, suporter lawan dilarang hadir. Bukan hanya oleh pihak kepolisian, tapi juga oleh PSSI dan pejabat daerah.
Apa yang dilakukan kepolisian Inggris patut mendapat apresiasi. Mereka begitu âperhatianâ pada suporter lawan, sampai diantar jemput untuk pulang dan pergi. Bandingkan dengan kasus pelemparan bus Persib di Jakarta setahun lalu. Ke mana pihak keamanan yang seharusnya mengawal pertandingan?
Selalu ada pelajaran yang bisa diambil dari satu kejadian, dan bubble matches di Inggris bisa menjadi contoh bagus bagi kepolisian di Indonesia dalam mengawal klub ataupun suporter ke kandang lawan.
Sumber gambar: theguardian.co.uk
Komentar