Untuk menjadi raja sepakbola di Asia, Jepang melakukan itu dengan sebuah perencanaan yang matang. Di dekade 50-70an, Â prestasi Jepang sangatlah memprihatinkan. Pencapaian terbaik mereka hanya meraih perunggu pada Olimpiade 1938. Bahkan mereka baru tampil di Piala Asia pada 1975. Prestasi tersebut tentunya masih kalah jauh dengan Iran dan Korea Selatan yang bergantian merajai Asia.
Pada tahun 1989, Jalan pintas diambil dengan menaturalisasi Ruy Ramos asal Brasil. Dan benar saja, adanya pemain naturalisasi ini berhasil membawa Jepang menjuarai Piala Asia untuk pertama kalinya pada 1992. Namun kehadiran âpemain asingâ nyatanya masih belum mampu mewujudkan mimpi mereka yang lebih tinggi dari sekedar juara Asia, yaitu tampil di Piala Dunia.
Jepang akhirnya menyadari bahwa adanya pemain asing bukan solusi yang tepat untuk meraih prestasi yang lebih tinggi. Mereka menyadari tak selamanya mereka bergantung pada âorang asingâ. Oleh karena itu, pemain naturalisasi hanyalah untuk target jangka pendek. Selagi mereka berharap peranan pemain asing bisa mewujudkan mimpi mereka bermain di Piala Dunia dalam waktu dekat, mereka pun mulai merevolusi sistem sepakbola lokal untuk mimpi yang jauh lebih besar di masa yang akan datang.
Ketika liga profesional, J-League, dibentuk pada tahun 1993, pembinaan sepakbola usia muda pun dimulai. Federasi sepakbola Jepang mewajibkan tim peserta J-League membentuk tim juniornya masing-masing. Sayangnya tim junior klub saat itu sepi peminat. Ini tak lepas dari pemikiran awal masyarakat Jepang yang sangat mementingkan akademis.
Menurut Hiroki Kobayashi, seorang kolumnis Harvard University, akademis adalah perihal yang paling penting bagi masyarakat Jepang. Hal ini yang membuat para pesepakbola setingkat SMP sering menghadapi dilema. Mereka ingin menjadi pemain sepakbola, namun mereka tidak bisa meninggalkan akademis yang harus mereka jalani.
Di Jepang, nilai akademis semasa sekolah adalah hal yang sangat penting ketika memasuki dunia pekerjaan. Inilah yang membuat para orang tua sering memaksa anak-anaknya untuk lebih memilih pendidikan daripada hal lain. Akibatnya, banyak anak usia SMP yang berhenti bermain sepakbola karena dinilai tak memiliki prospek yang cerah.
Tapi tak sedikit pula dari mereka yang rela berkorban untuk mewujudkan impiannya menjadi pesepakbola profesional. Biasanya mereka akan berlatih mandiri sebelum dan sesudah jam sekolah. Tentunya ini terasa berat karena menghabiskan tenaga dua kali lipat dalam seharinya. Hanya saja warisan sifat pekerja keras yang datang dari leluhur membuat mereka sanggup menjalaninya.
Pemerintah Jepang tentu saja tak tinggal diam melihat harapan masa depannya mengalami kesulitan. Pemerintah Jepang kemudian bekerja sama dengan Japan Football Association (JFA) untuk membuat sebuah sistem yang paling cocok untuk anak-anak di Jepang. Sistem yang kemudian menjadi solusi untuk menjawab dilema akademis dan impian anak-anak untuk menjadi pemain sepakbola.
Membenahi kejuaraan sepakbola antar SMA menjadi solusi untuk menjawab permasalahan yang terjadi saat itu. Kejuaraan nasional yang sejatinya sudah diberlakukan sejak tahun 1917 ini mulai digarap lebih serius melalui sebuah visi bernama The One Hundred Year Vision. Dalam 100 tahun, Jepang diharapkan bisa menjadi sebuah negara maju lewat sepakbola. Untuk menilik bagaimana sistem pembinaan itu bekerja anda bisa melihatnya di link iniÂ
Perjalanan panjang Jepang ini patut kita contoh. Mereka bisa mengubah nasib bangsa dengan perencanaan yang matang sejak dua puluh tahun silam. Jepang tahu, untuk meraih keberhasilan tak bisa diraih secara instan. Dengan kompetisi nasional antar sekolah, setidaknya telah membuat bakat-bakat usia muda terasah dan memiliki tujuan jelas.
Komentar