Sebagai negara adidaya, sebuah kewajaran rasanya jika Amerika Serikat menginginkan segala sendi kehidupan yang ada menjadi yang terbaik di dunia. Tentu kita tak perlu meragukan bagaimana Amerika begitu berjaya dan mendominasi dalam segala aspek kehidupan.
Namun, hingga saat ini Amerika Serikat masih belum bisa membuktikan diri sebagai yang terbaik dalam hal sepakbola, baik dalam kualitas dan prestasi tim nasional, maupun dalam pengelolaan liga.
Dengan segala kekuatan yang dimilikinya, MLS sejatinya mengungkap sistem yang terbilang baru dalam pengelolaan liga. Hanya saja, ini bertentangan dengan ideologi liberal yang diusung tinggi negeri Paman Sam tersebut: Operator Liga turut campur dalam pengelolaan.
Tidak adanya degradasi-promosi, pembatasan gaji, dan kini sebuah logo berbentuk tameng, malah akan menjadi bumerang bagi mimpi indah tersebut.
Bagaimana sebuah liga akan kompetitif jika hanya dihuni oleh 21 tim (pada 2015) yang mewakili 318 juta penduduk Amerika? Memang, pengelolaan liga di Amerika masih berkembang, dan tengah menuju ke arah yang positif. Mungkin, saat ini para pemikir masih berbenah untuk menetapkan sistem seperti apa yang cocok untuk diterapkan.
Sistem liga ini menjadi sangat penting karena dapat menentukan nasib Liga Amerika (MLS) itu sendiri. Anda pasti bosan dengan ungkapan klise: sepakbola bukan menjadi olahraga favorit di Amerika. Namun, rasanya Anda mesti menyesuaikan diri dengan ungkapan tersebut, karena sulit bagi sepakbola untuk menyaingi sejarah serta prestasi yang diraih american football, basket, dan baseball.
Dengan sistem yang ada saat ini, para pemikir pastilah telah mengantisipasi hal-hal terburuk seperti stadion yang sepi, dan lainnya. Maka, pemilihan 21 tim tanpa promosi-degradasi ini diharapkan mampu mengubah sepakbola tak lagi sebagai tontonan belaka. Sepakbola mestinya ada di jalur yang sama dengan tiga olahraga favorit Amerika tersebut sebagai sebuah olahraga yang menghibur.
Banyak dari kita yang saat menonton di stadion lebih banyak melompat dari kursi dan memaki ke arah lapangan. Ada pula yang sepanjang 90 menit pertandingan termenung dan memerhatikan dengan seksama, seolah tak ingin melewati setiap detik yang terlalui.
Ini adalah hal yang akan berubah pada sistem sepakbola di Amerika. Bagaimana caranya agar para pebisnis bisa nyaman duduk di tribun atau boks VIP sembari membicarakan urusan bisnis laksana di lapangan golf. Bagaimana pula satu keluarga bisa asyik piknik dan bercengkrama di stadion tanpa harus takut gas air mata meluncur ke arah mereka.
Namun, perkembangan tersebut sepertinya tak langsung berjalan dengan mulus. Pengubahan logo pada awal bulan ini, dicerca banyak pihak. Tidak sedikit yang menganggapnya sebagai inovasi terburuk yang bisa dilakukan oleh MLS.
Sebagai sebuah negara yang inovatif, nyatanya logo MLS ini seperti sebuah pandangan ke belakang. Bagaimana mungkin dengan puluhan ribu desainer grafis dengan kualitas terbaik, MLS hanya mampu mendesain sebuah logo yang mirip dengan logo atau lambang kota dan kabupaten di Indonesia?
Lebih âunikâ-nya lagi, logo tersebut lengkap dengan penjelasannya, yang terdengar terlalu retoris. Jika MLS beralasan ingin masuk lebih dalam dan menggali pasar, rasa-rasanya dengan logo seperti ini, itu semua tak akan berhasil.
Selain logo, para pemikir MLS tampaknya benar-benar yakin dengan sistem yang mereka buat. Mereka tahu sepakbola tak berasal dari Amerika, lantas mengapa untuk membuat sebuah âThe Amazing Soccceeeer Leagueâ mesti mengikuti Bundesliga atau Premier League?
Tanpa promosi dan degradasi, agaknya sulit untuk memupuk keinginan bagi tim dengan prestasi buruk, untuk terus berbenah dengan mendatangkan pemain baru, misalnya. Aroma kompetisi tampaknya tak akan sesengit Premier League. Setiap tahun, tim terbawah tak akan terlalu ngotot dengan bermain laksana hidup dan mati. Toh, musim depan mereka masih akan berada di âThe Amazing Socer Leagueâ.
Semoga sukses MLS, setidaknya berilah hiburan yang amat menyenangkan bagi Presiden Obama serta kawan-kawan pecinta bola di Amerika. Cepatlah terbangun, agar impian menjadi yang terbaik, bukanlah mimpi belaka.
Sumber gambar: dcunited.com
Komentar