Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri baik itu saat menjadi wakil presiden, ataupun presiden, sepakbola di Indonesia kembali menggeliat. Pasca krisis moneter, berbagai sendi kehidupan mulai berdenyut, termasuk penyelenggaraan event olahraga antar negara. Salah satu event tersebut adalah Piala Tiger yang digelar dua tahun sekali sejak 1996.
Megawati menjabat sebagai wakil presiden mulai 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001. Perempuan kelahiran 1947 tersebut menggantikan Abdurrahman Wahid yang mandatnya dicabut MPR. Mega mulai menjabat sebagai presiden sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.
Dalam rentang Oktober 1999 hingga Oktober 2004, tercatat Indonesia dua kali melaju ke partai final Piala Tiger 2000 dan 2002. Penyelenggaraan Piala Tiger 2000 merupakan final pertama Indonesia di ajang tersebut setelah dua penyelenggaraan sebelumnya hanya menduduki peringkat empat dan tiga.
Piala Tiger 2000 digelar di Thailand mulai 5 November hingga 18 November. Di babak grup, Indonesia tergabung bersama tuan rumah Thailand, Myanmar, dan Filipina. Indonesia berhak lolos ke babak selanjutnya mengumpulkan poin enam hasil dua kali menang dan sekali kalah atas Thailand.
Di partai semifinal, Indonesia mesti bersusah payah dengan mengalahkan Vietnam lewat babak perpanjangan waktu. Keberhasilan Indonesia ke partai final merupakan prestasi tertinggi âGarudaâ di ajang yang melibatkan sembilan negara anggota ASEAN tersebut.
Sayangnya, lawan Indonesia di final, Thailand masih terlalu tangguh. Indonesia dihajar 4-1. Gelaran tersebut mengorbitkan dua pemain muda yakni Gendut Doni Christiawan dan Uston Nawawi yang saat itu masih berusia 22 tahun. Bersama dengan pemain Thailand, Worrawoot Srimaka, Gendut dianugerahi gelar pencetak gol terbanyak dengan lima gol.
Indonesia akhirnya mendapat kesempatan untuk menyelenggarakn Piala Tiger di negeri sendiri. Kali ini, untuk pertama kalinya dua negara ditunjuk sebagai tempat penyelenggaraan. Grup A dimainkan di Jakarta, dan grup B di Singapura.
Penampilan Indonesia sempat tak meyakinkan setelah hanya bermain imbang tanpa gol dengan Myanmar di pertandingan pertama. Setelah pertandingan pertama, Indonesia tancap gas. Tim asuhan Ivan Venkov Kolev tersebut mengalahkan Kamboja 4-2 dan Filipina 13-1.
Partai semifinal digelar di Stadion Gelora Bung Karno. Menghadapi rival abadi, Malaysia, Indonesia menang 1-0 lewat gol Bambang Pamungkas. Di partai final, Indonesia lagi-lagi bertemu Thailand. Kali ini permainan berlangsung imbang. Kedua tim silih berganti menyerang.
Thailand yang dilatih Peter White mencetak dua gol terlebih dahulu pada menit ke-26 dan ke-38. Indonesia tak menyerah begitu saja. Ivan mengubah strategi dengan memasukan Aples Tecuari dan Imran Nahumarury untuk menggantikan Isnan Ali dan Budi Sudarsono.
Hasilnya positif. Indonesia mencetak dua gol lewat Yaris Riadi dan Gendut Doni. Hasil tersebut berakhir di waktu normal dan tambahan. Pemenang mesti ditentukan lewat adu penalti. Harapan menjadi juara pun kandas setelah tendangan Sugiyantoro menabrak tiang dan Firmanysah meleset.
Final kedua di ajang Piala Tiger pun tak membuahkan hasil. Indonesia kembali menjadi runner-up karena lagi-lagi kalah dengan Thailand. Pada Piala Tiger 2002, Bambang Pamungkas yang berusia 22 tahun, dan Zaenal Arif yang setahun lebih muda, mencuri perhatian. Bambang Pamungkas menjadi topskor dengan delapan gol, disusul Zaenal Arif dengan enam gol.
Dua tempat di partai final pada era pemerintahan Megawati, tak lepas dari upaya peningkatan kedisiplinan yang diterapkan PSSI. Saat itu, ketua PSSI dijabat oleh Agum Gumelar yang pernah menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopasssus. Agum menjabat sejak 1999 hingga 2003. Ia melepaskan jabatannya sebagai Ketua PSSI karena dicalonkan menjadi ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Sepakbola Indonesia sempat disorot dunia karena memainkan âsepakbola gajahâ di Piala Tiger 1998. Kala itu, Indonesia memilih untuk mengalah dari Thailand demi menghindari Vietnam di partai semifinal. Mursyid Effendie kala itu mencetak gol bunuh diri. FIFA bertindak tegas dengan melarang pemain tersebut berkelana di kancah internasional seumur hidup.
Krisis ekonomi berdampak pada penyelenggaraan Liga Indonesia itu sendiri. Penyelenggaraan tahun 1997-1999 tidak didukung oleh sponsor. Ketika pemerintahan mulai stabil, sponsor kembali masuk sebagai penopang keuangan liga. Selain itu, Liga Indonesia pun mulai disiarkan televisi swasta sejak 1999.
Di era pemerintahan Megawati, sepakbola Indonesia kembali menggeliat dan unjuk gigi lagi di level Asia Tenggara.
Salah satu episode menarik dari sepakbola Indonesia pada periode Megawati terjadi dalam Kongres PSSI pada 2003 yang mengagendakan pemilihan Ketua Umum PSSI yang baru. Kepemimpinan Agum Gumelar harus berakhir pada tahun itu juga.
Salah satu kandidat Ketua Umum paling serius adalah "orangnya" Megawati yaitu Jacob Nuwa Wea. Politikus PDIP kelahiran Flores ini sebelumnya terpilih sebagai angota DPR-RI periode 1999-2004. Setelah Gus Dur dilengserkan, yang berujungnya pada naiknya Mega sebagai Presiden, Jacob diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dari 10 Agustus 2001 hingga 20 Oktober 2004.
Jacob sempat hendak dijegal dengan diubahnya syarat pencalonan. Mulanya syarat pencalonan adalah mendapatkan dukunan minimal 108 suara dari klub atau pemilik suara lainnya. Lalu muncul wacana agar persyaratannya diperlunak, sehingga muncul nama lain yang dukungannya kurang dari angka minimal itu yaitu EE Mangindaan yang hanya menerima dukungan sekitar 20% suara saja. Jacob menganggap hal itu sebagai upaya penjegalan terhadapnya.
Pada hari-H pemilihan, 22 Oktober 2003, ada tiga kandidat yang bertarung yaitu Nurdin Halid, Jacob Nuwa Wea dan Sumaryoto. Dalam putaran pertama pemilihan, Jacob unggul dengan 134 suara, Nurdin 131 suara, dan Sumaryoto hanya 88 suara. Tapi Jacob gagal menarik dukunan dari suara yan diberikan pada Sumaryoto di putaran kedua. Hasilnya, Nurdin unggul dengan 183 suara, sementara Jacob hanya meraih 167 suara.
Sejak itulah, rezim Nurdin Halid pun menguasai PSSI. Bahkan walau pun Nurdin sempat masuk penjara karena kasus korupsi, kepemimpinannya di PSSI sama sekali tak bisa digoyahkan.
Baca juga cerita lainnya:Â Presiden dan Sepakbola
Komentar