Pada setiap laga El Clasico, baik Real Madrid maupun Barcelona, selalu ingin menunjukkan siapa di antara mereka yang lebih baik. Karena tim mana pun yang meraih kemenangan pada laga El Clasico ini, seolah telah membuktikan bahwa mereka adalah tim terbaik di Liga Spanyol. Bahwa pemenang belum tentu jadi juara di akhir kompetisi, rasanya tak terlalu dipikirkan, setidaknya tidak dipikirkan dulu, yang penting menang saja dulu di el clasico terdekat.
Ya, Real Madrid dan Barcelona adalah dua tim yang terus mendominasi persepakbolaan Spanyol. Hingga saat ini, raihan gelar La Liga keduanya merupakan yang terbanyak di antara klub-klub Spanyol lainnya.
Selain persaingan gelar, persaingan siapa klub dengan akademi terbaik pun menjadi cerita tersendiri di antara keduanya. Real Madrid dengan akademi La Fabrica dan Barcelona dengan akademi La Masia. Kedua akademi ini sama-sama pencetak pemain berbakat dari negeri Spanyol.
Yang membedakan adalah perlakuan masing-masing tim terhadap para pemain binaannya. Para pemain akademi La Fabrica cukup kesulitan untuk bermain di skuat utama Real Madrid. Sedangkan para pemain akademi La Masia, selama mereka memiliki kemampuan mengolah si kulit bundar di atas rata-rata, bermain di skuat utama Blaugrana di usia muda bukanlah hal mustahil.
Pemain Bintang buat Pemain La Fabrica Tertendang
Sejak Madrid dikuasai oleh Florentino Perez pada awal 2000-an, Los Merengues telah mengubah jati dirinya. Klub yang bermarkas di stadion Santiago Bernabeu ini telah memiliki hobi baru: membeli banyak pemain bintang dengan dana yang tak terbatas. Luis Figo, Zinedine Zidane, Ronaldo da Lima, hingga mega bintang David Beckham pernah bermain dalam seragam yang sama, yaitu seragam Real Madrid.
Tentunya hal ini membuat Perez dihujani kritik. Anggaran pengeluaran membengkak setiap musimnya. Dan yang lebih penting, para pemain La Fabrica pun semakin sulit bersaing dengan nama-nama tenar yang kualitasnya tak perlu dipertanyakan lagi.
Meskipun begitu, Perez tetap tak mengubah prinsipnya. Karena pada kenyataannya, pemasukan klub terus mengalir deras dari iklan, sponsor, hak siar dan merchandise. Keuntungan Madrid pun selalu menjadi yang teratas dalam satu dekade terakhir.
Perez sendiri sadar, bahwa pemain binaan pun perlu dikembangkan. Ia pun tak menutup kemungkinan para pemain La Fabrica untuk bermain di skuat utama Madrid. Namun hanya mereka yang benar-benar telah matang yang bisa bermain bersama para Galacticos di skuat utama.
Guti Hernandez, Raul Gonzalez, Iker Casillas, Ruben De La Red, Francisco Pavon, dan Alvaro Mejia adalah sedikit nama La Fabrica yang mampu menembus skuat utama Madrid tanpa terlebih dahulu berpindah klub. Sisanya, mereka perlu membuktikan diri bersama tim lain sebelum Madrid memulangkan mereka ke Santiago Bernabeu di kemudian hari.
Ya, banyak dari pemain La Fabrica yang harus membuktikan diri bahwa mereka layak bermain di skuat utama Madrid. Dani Carvajal, Alvaro Arbeloa, Diego Lopez, dan Jose Callejon adalah sedikit nama yang kembali direkrut setelah bermain mengesankan bersama tim lain.
Tapi kebanyakan dari para pemain La Fabrica adalah talenta yang terbuang. Selain Callejon dan Lopez yang akhirnya kembali terdepak karena tak mampu bersaing dengan tim utama, masih banyak nama lain yang justru bersinar di luar Madrid.
Ya, jika Perez tak memiliki konsep menjadikan Madrid klub nomor satu di dunia, ia bisa memiliki skuat yang cukup berkualitas untuk mengarungi liga. Grafis di bawah adalah mantan pemain La Fabrica yang saat ini menjadi pemain andalan di tim lain.
Nama-nama seperti Samuel Etoâo, Esteban Cambiasso, dan Juanfran mungkin telah melewati puncak karirnya. Namun mereka meraih nama besar bukan bersama Real Madrid. Tak terpakai di Madrid, mereka hijrah ke tim lain dan berhasil menjadi pemain inti (bahkan trofi) di timnya tersebut.
Meskipun begitu, saat ini di dalam skuat Real Madrid terdapat beberapa nama mantan pemain La Fabrica yang disandingkan dengan para pemain bintang seperti Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, Luka Modric, James Rodriguez, dan Toni Kroos. Mereka adalah Jese Rodriguez, Nacho Hernandez, Jesus Fernandez dan tiga nama yang lebih senior: Dani Carvajal, Alvaro Arbeloa, serta Iker Casillas. Hal ini tentunya menjadi sinyal positif dari Perez bahwa selama pemain akademi Madrid bermain diatas rata-rata, bermain di tim utama Madrid bukanlah hanya impian semata.
Barcelona Percaya La Masia
Apa yang terjadi di Real Madrid sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di tubuh rivalnya, Barcelona. Jika para pemain La Fabrica ragu bisa bermain di skuat utama Madrid, para pemain La Masia cukup berpeluang besar masuk skuat utama Barcelona.
Setiap musim (kecuali musim 2005-2006 dan 2006-2007), klub yang bermarkas di stadion Nou Camp ini selalu mempromosikan pemain muda ke skuat utama mereka. Hampir 70% skuat mereka dihuni oleh pemain-pemain yang dibesarkan dan dikembangkan oleh akademi La Masia.
Jika Barcelona dianalogikan sebagai sebuah negara, Barcelona adalah sebuah negara yang cinta akan produk dalam negeri. Mereka percaya akan kualitas âbarangâ yang mereka hasilkan. Tak seperti ânegaraâ Madrid yang gemar mengekspor âbarangâ.
Tak ada lulusan akademi La Masia yang kemudian menjadi pemain legenda di tim lain. Di Madrid, Santiago Canizares adalah produk didikan La Fabrica yang menjadi legenda tim tetangga, yaitu Valencia.
Ya, jika ikon Madrid dalam 20 tahun terakhir baru beralih dari Raul Gonzales ke Iker Casillas, Barcelona memiliki pemain yang menjadi ikon klub. Setelah era Pep Guardiola pada 1990-an, Xavi Hernandez pemain yang ikonik dengan Barcelona pada era 2000an.
Lionel Messi  dan Andres Iniesta lantas menjadi ikon baru publik Catalan di era sekarang ini. Kita hanya tinggal menunggu saja diantara Munir El Haddadi atau pun Sergi Roberto untuk menjadi ikon baru FC Barcelona.
Kultur masyarakat Barcelona (atau Catalunya) yang cenderung tertutup pada orang asing pun sedikit banyak mempengaruhi FC Barcelona. Fans Barca pun tak begitu menyukai jika timnya terlalu dipenuhi pemain-pemain asing. Mereka lebih senang melihat putra daerah (Katalunya) yang mengenakan seragam kombinasi merah biru tersebut.
Manajemen pun sejalan dan mengerti konsep Barcelona. Mereka hanya membeli pemain âasingâ yang benar-benar mereka butuhkan. Mereka terus berpegang teguh pada moto mereka: âMas Que Un Clubâ yang memiliki arti âLebih dari sekedar klubâ.
Itulah kenapa ketika Barcelona menjalani musim buruk pada musim lalu, mereka tetap mendapat dukungan penuh dari masyarakat dan para pendukung Barcelona. Karena musim lalu skuat Barcelona dihuni oleh banyak pemain lulusan akademi La Masia.
Berbeda dengan apa yang terjadi ketika era Louis van Gaal pada akhir 1990-an Meski Van Gaal berhasil memberikan dua gelar, juara liga dan Copa del Rey, van Gaal selalu mendapatkan protes keras dari para fans Barcelona. Pasalnya, tim Barcelona saat itu terlalu banyak dihuni oleh pemain Belanda.
Jadi Siapa yang Lebih Baik?
Berdasarkan hal di atas, tak aneh jika pada akhirnya puja-puji pada La Masia lebih banyak didengungkan oleh seluruh dunia. La Fabrica yang jarang melahirkan ikon baru bagi Real Madrid pun akhirnya hanya dipandang sebelah mata.
Tak salah memang, tapi jika kita melihat kesuksesan binaan pemain muda dari kacamata banyaknya pemain bintang yang lahir, La Fabrica pun nyatanya telah banyak âmenghadiahiâ tim lain dengan talenta-talenta berbakat.
Tapi meski menurut salah satu artikel pandit sharing beberapa bulan lalu bahwa La Fabrica lebih baik, menurut kami, baik Real Madrid La Fabrica maupun Barcelona La Masia, keduanya merupakan akademi terbaik dunia. Keduanya mencetak generasi penerus bagi sepakbola dunia, khususnya Spanyol. Yang membedakan hanya di klub mana para pemain muda berbakat itu akhirnya akan membesarkan namanya.
foto: itv.com
Komentar