Mario Balotelli nampak begitu kesulitan beradaptasi di Liverpool. Harapan besar yang dibebankan kepadanya belum mampu ia Penuhi. Salah Balotelli semata? Tidak juga. Liverpool juga memainkan peran besar dalam penampilan tidak maksimal yang terus menerus ditunjukkan oleh sang pemain. Padahal penyelesaian masalah ini begitu sederhana: cintai Balotelli dan biarkan ia mengeksekusi penalti.
Pada tanggal 11 Juli tahun ini, FC Barcelona mengumumkan bahwa mereka telah menjalin kesepakatan dengan pihak Liverpool FC perihal transfer penyerang asal Uruguay, Luis Suárez. Kepergian Suárez jelas merupakan sebuah kehilangan besar untuk Liverpool. Pasalnya Suárez adalah tumpuan utama Liverpool untuk urusan mencetak gol.
Sepanjang musim 2013/14, Liverpool berhasil mencetak 101 gol di Liga Primer Inggris. Sebanyak 62 di antaranya adalah sumbangan langsung dari Suárez, dengan rincian 31 gol dan 21 assist. Liverpool tidak hanya harus mencari seorang pengganti. Mereka juga harus menemukan seorang pengganti yang tepat.
Pilihan kemudian jatuh kepada Mario Balotelli, seorang penyerang muda dengan potensi luar biasa. Balotelli baru berusia 24 tahun namun ia sudah berhasil meraih tiga gelar juara Serie A, satu Coppa Italia, satu Supercoppa Italiana, dan satu gelar juara Liga Champions.
Fakta bahwa ia juga pernah menghabiskan waktu selama dua setengah musim di Inggris bersama Manchester City (dan berhasil meraih gelar juara Liga Inggris, Piala FA, dan Community Shield selama itu) membuatnya semakin tampak pantas saja mengisi pos yang ditinggalkan oleh Suárez. Ia sudah paham kultur sepakbola Inggris dan tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Setidaknya begitulah teori yang ada.
Kenyataan yang terlihat di lapangan ternyata berbeda dengan anggapan semula. Sebelas kali bermain, Balotelli baru mampu mencetak satu gol dan tidak sekalipun berhasil menyuguhkan assist. Jumlah koleksi kartu kuning (juga potongan rambut baru) yang dimiliki oleh pemain berkebangsaan Italia tersebut bahkan sudah melebihi jumlah golnya untuk Liverpool.
Dua setengah tahun yang ia habiskan di Manchester tak serta merta membuat usaha adaptasi Balotelli di Liverpool berjalan lancar. Walaupun sama-sama berlokasi di Inggris, Liverpool dan Manchester tetap merupakan dua kota yang berbeda. Yang satu berkiblat kepada The Beatles, satu lainnya mendewakan Oasis.
Kesulitan yang dihadapi oleh Balotelli mengingatkan saya kepada kasus yang pernah menimpa Nicolas Anelka di Real Madrid. Juga kepada sebuah lagu milik Oasis yang berjudul âPart of the Queueâ. Lagu tersebut adalah pengiring yang sangat pas untuk kisah sulit yang pernah dialami oleh Anelka dan sedang dialami oleh Balotelli.
Anelka, saat diboyong dari Arsenal pada musim panas tahun 1999 adalah seorang pemain yang dipercaya mampu menjadi mesin gol untuk Madrid. Jika Madrid tidak percaya bahwa Anelka mampu melakukan hal tersebut, mereka pastinya tidak akan rela mengeluarkan biaya transfer sebesar 30,8 juta pound sterling untuk seorang pemain yang baru berusia 20 tahun. Arsenal saja hanya mengeluarkan dana sebesar 669 ribu pound sterling saat membawa Anelka keluar dari Perancis di tahun 1997.
Nyatanya Anelka kesulitan memenuhi harapan Madrid. Sepanjang musim ia hanya mampu mencetak tujuh gol. Kegagalan untuk tampil apik di atas lapangan ternyata tidak lepas dari kesulitan untuk membaur di lingkungan baru.
âSaya sendirian melawan semua orang di tim,â ujar Anelka kepada France Football saat musim sudah setengah jalan. Anelka mengklaim bahwa kesulitan mencetak gol dapat terjadi karena para pemain Madrid memang tidak menyukainya. Salah satu pemain berkulit hitam yang juga dapat berbicara bahasa Perancis (satu-satunya bahasa yang dikuasai olehnya saat itu) berkata bahwa para pemain lain tidak mau mengoper bola kepada Anelka.
Anelka juga mengaku bahwa ia memiliki bukti video yang menunjukkan bahwa para pemain Madrid tidak terlihat bahagia ketika ia mencetak gol pertamanya untuk Madrid. Ia berusaha untuk menunjukkan bukti tersebut kepada pelatih, namun pelatih tak mau meluangkan waktunya untuk melihat video yang ingin ditunjukkan oleh Anelka.
Bukan tanpa alasan jika Anelka lebih memilih untuk berbicara kepada media ketimbang orang-orang di klub. Tak satupun orang di klub yang memiliki kepedulian terhadap masalah yang sedang dihadapi olehnya. Madrid malah menjatuhkan skors selama empat puluh lima hari kepada Anelka karena ia dianggap gagal menyesuaikan diri.
Jika Liverpool tidak mampu menangani Balotelli dengan baik, bukan tak mungkin nasib sang pemain akan sama dengan Anelka. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Balotelli dan media Inggris memiliki hubungan yang istimewa. Sehingga pembelaan Liverpool, jika mereka ingin agar sang pemain merasa nyaman dan mulai mencetak gol secara rutin, harus lebih istimewa lagi.
Andrea Pirlo mengatakan bahwa Balotelli hanya butuh dicintai. âIa butuh dicintai. Ia membutuhkan arahan. Namun yang paling penting adalah ia perlu tahu bahwa pelatih memiliki kepercayaan terhadapnya. Jika ia menghabiskan waktu dengan Mario, saya yakin Mario masih dapat tumbuh dan menjadi pemain yang sangat hebat untuk Liverpool,â kata Pirlo.
Ada satu bukti yang yang menunjukkan bahwa Liverpool tidak memberikan cukup cinta kepada Balotelli: Liverpool tidak memberi hak menjadi eksekutor tendangan penalti kepada Balotelli. Padahal Balotelli adalah (salah satu) nama terbaik untuk urusan ini. Sepanjang karirnya ia sudah mengeksekusi 26 tendangan penalti dan baru satu kali gagal.
Hanya karena eksekutor penalti Liverpool saat ini adalah Steven Gerrard tak menjadi alasan untuk tidak menyerahkan pekerjaan itu kepada Balotelli. Jika memang ada pemain yang lebih kompeten untuk sebuah urusan, mengapa harus membebankan semuanya kepada Gerrard? Mencabut hak Gerrard untuk mengeksekusi tendangan penalti toh tidak sama dengan menurunkan pangkat Gerrard dengan mempercayakan posisi kapten kepada pemain lain.
Komentar