Performa yang ditunjukkan oleh Tottenham Hotspur di White Hart Lane sejauh ini tidak terlalu baik. Sepanjang musim, di ajang Liga Primer Inggris, Tottenham telah menjalani lima pertandingan kandang dan hanya mampu meraup enam angka saja; buah dari dua kemenangan. Tiga dari lima pertandingan kandang lain yang tekah mereka jalani berakhir dengan kekalahan. Menurut Mauricio Pochettino, ada satu faktor yang membuat timnya tampil begitu buruk di kandang: dimensi lapangan White Hart Lane. Pernyataan sang manajer begitu mudah diterima sekaligus sulit dicerna.
Pochettino menyatakan bahwa lapangan White Hart Lane yang hanya memiliki panjang 100 meter dan lebar 67 meter tersebut terlalu sempit untuk timnya. Sebagai catatan, lapangan White Hart Lane bukanlah yang paling sempit di Liga Inggris. Britannia Stadium, kandang Stoke City, memiliki dimensi lapangan 100 meter x 66 meter. Sementara itu lapang pertandingan di Loftus Road, kandang Queens Park Rangers, malah lebih kecil lagi: 100 meter x 65,85 meter.
âGaya bermain kami membuat kami membutuhkan ruang gerak yang lebih besar, karena kami mengedepankan penempatan posisi. Benar adanya bahwa White Hart Lane agak sempit dan hal tersebut menguntungkan lawan ketika mereka bermain dalam. Pada hari Minggu Newcastle mendapatkan dua tembakan â kami sangat tidak beruntung saat itu,â ujar Pochettino sebagaimana diwartakan oleh the Guardian.
Tiga tim yang berhasil mengalahkan Tottenham di White Hart Lane memiliki satu kesamaan: memainkan garis pertahanan rendah. Liverpool, West Bromwich Albion, dan Newcastle United membuat pasukan Pochettino kerepotan dengan cara yang sama, dan hal tersebut memang diakui sendiri olehnya.
âDan mereka bermain dalam,â lanjutnya. âWest Bromwich bermain dalam. Liverpool juga sama. Mereka bermain sangat dalam dan hal tersebut menyulitkan kami. Kami membutuhkan waktu untuk beradaptasi terhadap susunan baru kami. Juga untuk lebih baik memahami penempatan posisi kami di lapangan.â
Keluhan Pochettino dapat diterima karena apa yang dikatakan olehnya bukanlah sebuah alasan untuk membela diri, menjauh dari ancaman pemecatan (Pochettino diberi tugas besar untuk membawa Tottenham lolos ke Liga Champions; namun setelah sembilan pertandingan belum juga menemukan konsistensi permainan yang, tentunya, menjadi modal utama untuk finish di empat besar). Performa buruk memang hanya ditunjukkan oleh the Lilywhites di White Hart Lane. Di luar kandang, mereka baik-baik saja.
Spurs telah menjalani empat pertandingan tandang dan hanya satu kali menderita kekalahan: 4-1 melawan Manchester City di Etihad Stadium pada pekan kedelapan. Tiga pertandingan lainnya berakhir dengan satu kemenangan (1-0 melawan West Ham United di Boleyn Ground) dan dua hasil imbang; 2-2 melawan Sunderland di Stadium of Light dan 1-1 di Emirates Stadium melawan Arsenal.
Bagaimanapun keluhan manajer berkebangsaan Argentina tersebut tetap terdengar kekanak-kanakkan. Tanpa perlu meminta komentar Arsène Wenger dan Marcelo Bielsa, saya berani menjamin bahwa keduanya tidak akan pernah menganggap dimensi lapangan sebagai penghambat prestasi.
Wenger tahu betul bahwa lapangan yang sempit adalah sebuah keuntungan tersendiri, bukan sesuatu yang seharusnya membuat seorang manajer merasa kesulitan di kandang sendiri. Memanfaatkan dimensi lapangan Highbury (kandang lama Arsenal) yang lebih kecil dibanding lapangan milik tim-tim lain, Wenger pernah membawa Arsenal berjaya.
Canggung dan tidak nyaman adalah apa yang dirasakan oleh tim-tim yang berkunjung ke Highbury, bukan Arsenal. Puncaknya, the Gunners pernah menjalani satu musim Liga Inggris tanpa sekalipun menderita kekalahan. Saat tim asuhannya masih bermarkas di Highbury pula Wenger berhasil membawa Arsenal mencapai final Liga Champions Eropa.
Dimensi lapangan adalah bagian dari strategi permainan. Dan manajer memiliki kuasa penuh untuk menentukan panjang dan lebar lapangan di kandang tim yang ia tangani. Bahkan para penggila permainan Football Manager saja mengetahui hal itu. Pochettino memiliki tiga pilihan: mengubah dimensi lapangan White Hart Lane (menjadi 105 meter x 68 meter seperti di St. Maryâs Stadium, mungkin?), mengubah strategi permainan Tottenham, atau keduanya.
Pochettino memiliki banyak pilihan namun ia tak mengambil satupun di antaranya. Ia seharusnya malu kepada sosok jenius yang telah berjasa membuatnya menjadi seperti sekarang ini: Si Gila, Marcelo Bielsa.
Pochettino sudah menjadi murid Bielsa sejak ia berusia 20 tahun, tapi eks manajer Southampton tersebut masih saja melupakan salah satu ajaran paling penting dari Bielsa. Pochettino masih saja melewatkan rincian kecil yang terlihat remeh namun pada nyatanya memiliki pengaruh besar.
Begitu ditunjuk menjadi manajer Olympique de Marseille, Bielsa langsung memberi perintah kepada groundsmen tim agar setiap lapangan di markas latihan memiliki dimensi yang sama dengan lapangan Stade Vélodrome, kandang Marseille.
Bielsa juga masih memelihara kebiasaan lama, mengukur dimensi lapangan pertandingan berdasarkan langkah kakinya sebelum ia mengambil keputusan final tentang formasi dan strategi apa yang akan ia mainkan di pertandingan.
Perhatian besar terhadap hal-hal kecil itulah (bersama dengan disiplin tingkat tinggi dan pengamatan mendalam terhadap lawan) yang menjadi kunci keberhasilan Bielsa membawa Marseille duduk manis di puncak klasemen Ligue 1, aman dari kejaran Paris Saint-Germain, Olympique Lyonnais, dan AS Monaco. Tak ada rahasia. Itu saja. Bukan keluhan tanpa aksi mengenai bagian inti dari rumah sendiri.
Komentar