Untuk mengartikan kata "kotor", Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa kotor adalah tidak bersih, kena noda, banyak sampah, jorok, menjijikkan, melanggar kesusilaan, keji, tidak mengikuti aturan, hingga penggunaan kata pada hal yang berhubungan dengan berat, isi dan sejenisnya (seperti bruto misalnya). Lalu, bagaimana dengan makna sepakbola kotor?
Pada era modern seperti sekarang ini, sepakbola kotor identik dengan melakukan aksi diving, memprovokasi wasit, bahkan bermain dengan strategi bertahan dengan menggunakan seluruh pemainnya (terkenal dengan istilah parkir bus). Tapi di sisi lain, hal-hal itu disebut juga sebagai bagian dari strategi.
Namun jauh sebelum sepakbola kotor versi di atas, kotor pada sepakbola adalah sepakbola yang dimainkan dengan makna keji, tak mengikuti aturan dan jauh dari azas fair play. Seperti apakah itu? Sepakbola kotor pada zaman dahulu adalah memainkan sepakbola dengan tekel yang kasar, kaki melayang bak seorang kungfu dan menghujam anggota tubuh lawan, intimidasi, dan cara-cara lain yang mendekati dengan kekerasan.
Sepakbola kotor seperti itu tercermin pada Estudiantes musim 1968-1969. Klub asal Argentina ini tak mengikuti apa yang dilakukan kebanyakan tim sepakbola Eropa di mana saat itu mulai memperdalam dari segi taktik dan teknik.
Skuat Manchester United menjadi korban pertama keganasan strategi yang diterapkan Estudiantes pada laga final Piala Intercontinental yang digelar 16 Oktober 1968. Saking kotornya permainan Estudiantes, harian Guardian menulis dalam headline-nya dengan judul "Cara Estudiantes Meraih Kesuksesan: Intimidasi dan Menghancurkan".
Sebelum pertandingan dimulai, setibanya George Best cs di stadion, mereka disambut hangat oleh para pemain dan manajemen Estudiantes. Laga ini memang bertujuan untuk mempererat hubungan antara Argentina-Inggris, pasca kekalahan Argentina dari Inggris pada Piala Dunia 1966.
Usut punya usut, sambutan hangat saat kedatangan mereka ke Argentina pun hanya sebuah siasat belaka. Suasana berubah mencekam ketika menjelang kick-off. Sebuah bom asap diledakkan para suporter sambil menyerukan suara-suara untuk meneror sang tamu dari Inggris tersebut. Dengan suasana itu, United mulai diliputi kepanikan.
Ternyata keadaan semakin menyeramkan bagi kubu United di lapangan. Sejak pertandingan dimulai, strategi bertahan Estudiantes sangat mengandalkan kekerasan. Aksi tekel dan usaha-usaha untuk merebut bola lainnya diperlihatkan dengan cara-cara kasar.
Pelatih United saat itu, Sir Matt Busby, mengatakan pemain Estudiantes, Carlos Bilardo, merupakan pemain terkasar. Pasca pertandingan Busby mengatakan bahwa jika para pemain United menguasai bola lebih lama, maka pemain tersebut berada dalam situasi berbahaya.
Target utama permainan kasar Estudiantes adalah Nobby Stiles, pemain United yang juga merupakan bagian dari timnas Inggris yang menjuarai Piala Dunia 1966, di mana pada Piala Dunia itu Argentina dikalahkan Inggris. Stiles mendapatkan pukulan, tendangan kungfu, benturan kepala dan segala cara kasar lainnya dilakukan para pemain Estudiantes untuk mencederai Stiles.
Tak hanya Stiles, pemain andalan United yang kemudian menjadi legenda Inggris, Bobby Charlton, pun menjadi sasaran taktik kotor Estudiantes. Pada laga yang berkesudahan dengan kemenangan 1-0 untuk kubu tuan rumah ini, Charlton mengalami luka di kepalanya.
Strategi ini kembali digunakan pada pertandingan leg kedua yang berlangsung di Inggris. Bahkan yang tersaji di Inggris lebih brutal dari laga di Argentina. Beberapa pemain Estudiantes terlihat membenturkan kepala mereka, menggigit, hingga meludahi para pemain United.
Para pemain United pun terpancing emosi oleh ulah para tamu dari Argentina tersebut. Bahkan pada menit ke-75, legenda United, George Best sampai melayangkan tinjunya pada wajah pemain Estudiantes, Medina, dan mendorong Nestor Togneri hingga terjatuh.
Atas kejadian ini, Best dan Medina dikartumerah oleh wasit, di mana Best pun sempat memberikan kenang-kenangan pada Medina dengan meludahinya. Tak hanya ludah sebenarnya, karena ketika Medina menuju ruang ganti pun ia dilempari koin oleh para pendukung United.
Pelemparan koin pun kembali terjadi saat Estudiantes merayakan gelar juara Intercontinental itu. Ya, mereka bersukacita atas trofi tersebut meski dikelilingi wajah-wajah penuh amarah dari suporter United. Estudiantes berhasil menahan imbang United dengan skor 1-1 di leg kedua (agregat 2-1).
Strategi brutal yang diterapkan oleh pelatih Osvaldo Zubeldia pada 1965 (memimpin tim hingga 1970) ini kembali diterapkan pada musim berikutnya. Puncak pertempuran mereka terjadi ketika pada laga final Estudiantes bertemu dengan klub Italia, AC Milan, yang terkenal dengan catenaccio-nya.
Estudiantes tampaknya takut menghadapi Rossoneri yang dihuni oleh Gianni Rivera. Pada leg pertama di Milan, mereka tak menampilkan strategi andalannya. Pertandingan pun berakhir dengan kemenangan telak 3-0 untuk kubu tuan rumah.
Barulah pada leg kedua taktik tersebut dijalankan. Bahkan strategi kotornya sudah dijalankan saat AC Milan menjalani latihan. Sebelum pertandingan, bola untuk latihan Milan dirusak. Para suporter pun mendukung sepakbola kotor ini dengan cara menuangkan minyak panas pada bola tersebut.
Saat pertandingan, apa yang dilakukan para pemain Estudiantes lebih brutal dengan apa yang dilakukannya terhadap United setahun sebelumnya. Pertandingan baru berjalan 18 menit, penyerang Milan, Pierino Prati tak sadarkan diri setelah dijegal oleh dua pemain Estudiantes.
Nestor Combin, penyerang Milan berkewarganegaraan Prancis berdarah Argentina, menjadi korban berikutnya. Nestor mendapat sikut pada kepalanya hingga berlumuran darah. Para pemain Estudiantes menyebut Nestor sebagai pengkhianat.
Gianni Rivera yang merupakan bintang Milan pada masa itu pun tak luput dari sasaran. "Golden Boy" publik Italia ini mendapat pukulan keras dari kiper Estudiantes, Alberto Polletti. Namun kejadian ini tertangkap oleh media di mana kemudian Polletti mendapatkan hukuman larangan bermain seumur hidup.
Jika Guardian melabeli Estudiantes sebagai tim yang menang dengan cara "mengintimidasi dan menghancurkan", harian Gazzetta dello Sport melabeli pertandingan Estudiantes-Milan yang pada akhirnya dimenangkan Milan karena unggul agregat itu sebagai "Sembilan Puluh Menit bersama Para Pemburu Manusia".
Media Argentina pun tak menutup-nutupi kejadian memalukan ini. Sebuah headline Argentina saat itu menuliskan "Ternyata Inggris Benar", menanggapi komentar Sir Alf Ramsey yang pernah diminta mendeskripsikan tentang sepakbola Argentina, khususnya Estudiantes.
Sejak saat itu (hukuman berat bagi Polletti), Estudiantes tak lagi bermain kasar. Namun Estudiantes musim 1968-1969 ini disebut-sebut sebagai tim yang memainkan strategi terkotor dalam sejarah sepakbola dunia.
foto:�diariodelfutbol.com.ar
Komentar